Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pakaian toga itu dibuang ke pepohonan. Ia lalu mencarinya kembali, lalu dipasangkan ke tubuh mahasiswanya yang kedua tangannya terjulur ke depan sambil dibebani buku tebal. Setelah itu, ia melucuti pantalon hitam, jas, dasi, dan kemeja putih secara paksa. Pada ujung lengan bajunya tertinggal noda darah segar yang mengucur dari telapak tangan kiri. Tubuhnya hanya menyisakan celana dalam hitam dan bebatan kain di lutut kanan, paha kiri, perut, siku kiri, dan telapak kanan. Ia berlari ke susunan rak besi, lalu naik ke atas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia membuang isi rak besi itu dengan serampangan ke belakangnya. Buku-buku yang terlontar ke udara berhamburan di lantai tanpa mengenai penonton yang duduk mengitari di Amphitheatre Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Aktor itu, Tony Broer, kemudian menghadapi serangan udara. Kapal-kapal kertas beterbangan ke arahnya diiringi bunyi dengung. Ia mencoba berlari ke sisi arena pertunjukan, tapi gagal. Kakinya terhadang dan tersangkut pagar kawat berduri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arena pertunjukan itu terbangun seperti medan perang. Suasana semakin riuh ketika Tony menemukan bom waktu berbahan dinamit di tasnya. Benda itu sempat ditawarkan ke penonton hingga akhirnya diletakkan di pinggir. Langkah berikutnya, ia mengumpulkan beberapa buku yang berceceran, menyiramkan cairan, lalu membakarnya. Tubuhnya lantas berdiri mematung. Seorang pemain lainnya yang bertelanjang dada memukuli tubuhnya dengan telapak tangan. Setelah itu, sabetan sapu lidi menderanya ke punggung berkali-kali.
Lakon berjudul Universitas Kaspar itu dimainkan Tony Broer dari Teater Payung Hitam di Selasar Sunaryo, Minggu malam lalu. Kisahnya menggambarkan kegelisahan dan pertarungan dosen di dalam kampus, khususnya institusi pendidikan seni. Penulis naskah sekaligus sutradara Teater Payung Hitam, Rachman Sabur alias Babe, mengatakan sistem dan aturan di kampus telah lama rusak. Tokoh Kaspar dalam drama itu ditindas oleh kekuasaan, birokrasi, dan sistem pendidikan seni yang absurd. "Dia terjebak dan berusaha memahami persoalan itu," ujar Babe.
Nama Kaspar berasal dari tokoh lakon berjudul Kaspar garapan Babe sejak 1994 dari naskah karangan Peter Handke asal Jerman. Adaptasinya dipentaskan Teater Payung Hitam menanggapi penutupan majalah Tempo, Editor, dan tabloid Detik oleh rezim Soeharto kala itu. Kaspar dalam lakon terbarunya itu berperang di institusi kampus. Tapi beberapa adegan dan gerak tubuhnya masih ada yang mengingatkan lakon Kaspar.
Universitas Kaspar pada menjadi penutup pergelaran Festival Teater Tubuh 2019. Teater Payung Hitam menggelar festival itu pada 23-28 Juli 2019 untuk memperingati hari jadi kelompok yang lahir di Bandung pada 37 tahun silam ini. Mengundang sepuluh penampil, setiap malam ada dua pertunjukan teater tubuh. Dari Bandung ada kelompok Teater Payung Hitam dan Lab Teater Tubuh. Kemudian ada Teater Api Indonesia (Surabaya), Refrain (Maumere), Komunitas Seni Hitam Putih (Padang Panjang), Yayasan Lanjong Indonesia (Kutai Kartanegara), dan kelompok teater Madura.
foto-foto: TEMPO/Prima mulia
Dalam Universitas Kaspar, ketegangan bercampur kelucuan mengalir sejak Tony Broer muncul dari tembok berundak. Berpakaian toga sambil menenteng koper merah, perlawanannya tertuju pada sumber suara alunan tembang Gaudeamus igitur. Pelantang suara berwarna merah ia copot. Kemudian dia membantingnya ke lantai. Hingga dipukulkan dengan kursi berduri beberapa kali, lagu akademis itu masih berbunyi. Setelah berhasil dimatikan dengan cara halus, ia menjelajah ke bangku penonton sambal berinteraksi tanpa dialog. Dua di antaranya dipilih untuk memegang buku-buku tebal hingga akhir pertunjukan.
Tubuh menjadi alat utama untuk bercerita non-verbal. "Tubuh lebih leluasa menjadi bahasa yang subtil dan universal," kata Babeh. Menurut sutradara teater yang juga pengajar di Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Fathul A. Husein, setelah Kaspar, kelompok Teater Payung Hitam lebih mengembangkan teater tubuh. Karya lainnya, seperti Merah Bolong Putih Doblong Hitam, semakin menguatkan roh kelompok itu. Gagasan fundamentalnya tidak harus memakai kata-kata dalam pementasan. "Mereka teater beyond aesthetics yang menitikberatkan pada gerak tubuh ketimbang dialog."
Selama lima tahun di awal pendiriannya, Teater Payung Hitam sama seperti kelompok teater kebanyakan yang memainkan drama teks. Selama ini mereka telah membuat 41 pertunjukan. Sebagian di antaranya dipentaskan di luar negeri, seperti Jerman, Belanda, Australia, Taiwan, dan Amerika Serikat. Pada 16-18 Agustus 2019, mereka akan tampil di Solo dengan lakon Ziarah Kebun Binatang. Selanjutnya, November, mereka akan membawa Mantra Tubuh di acara Borobudur Writer and Culture Festival. ANWAR SISWADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo