SUDAH berminggu-minggu sampan Sabar Nrimo ditelantarkan nasib. Lumpuh, kandas, termangu-mangu karena tak ada lagi ombak yang dapat diarungi perahu tersebut. Bahkan, bendera merah-putih, yang biasa berkibar dari tiangnya diterpa angin waduk, kini tertunduk lesu. Maka, penduduk Mlangi, Genengsari, Klewor, Kemusu, dan desa-desa lainnya di Kedungombo berduyun-duyun kembali ke tanah leluhur. Untuk sementara waktu, menyusutnya Waduk Kedungombo akibat kemarau membawa berkah bagi mereka yang dahulu tergusur. Di kawasan yang beberapa bulan silam masih terendam air, kini ada yang bersawah. Ada yang menanam jagung di antara retak-retak bumi dan batang pohon yang mati. Sebagian lagi tak membawa apa-apa, kecuali segenggam bunga untuk makam nenek moyang yang tertinggal ketika air waduk menerjang. Di bawah terik matahari mereka duduk, berdoa. Mungkin karena mereka sadar bahwa keberuntungan mudah menguap. Bila hujan turun, benih-benih kegembiraan itu tinggal seonggok lumpur di dasar air. Sementara itu, nasib mereka yang terus menuntut haknya atas tanah dan sawah yang ditelan proyek Kedungombo masih terombang-ambing. Ibarat perahu, takdir petani adalah memetik lautan padi. Namun, seperti Sabar Nrimo, nasib membiarkan mereka duduk termangu sambil menatap cakrawala yang kosong. Seperti Bumi Seusai Perang KETIKA mulai digarap tahun 1984, Waduk Kedungombo direncanakan sebagai sumber air irigasi bagi 10 ribu ha sawah di Kabupaten Boyolali, Grobogan, dan Sragen. Penduduk di desa-desa yang tergusur proyek, kata Pemerintah, juga akan menikmati hasilnya karena waduk ini menjadi sumber tenaga listrik. Namun, kemarau sejak bulan Mei menampilkan pemandangan yang lain. Ketinggian air, yang sekitar 92 meter pada bulan April, sekarang tinggal 73 meter. Kabupaten lain tertolong oleh persedian air waduk, sedangkan penduduk di Kedungombo sendiri kesulitan air. Bahkan, di permukiman baru, seperti di Kedungmulyo, yang disediakan Pemerintah untuk penduduk yang rela digusur, air hasil sedotan generator penuh lumpur endapan. Tanaman satu per satu mati. Dengan atau tanpa air, Kedungombo telah menjadi gurun tempat suara manusia bak setetes embun: menguap lantas mati. Foto: Rully Kesuma Teks: Yudhi Soeryoatmodjo, Kastoyo Ramelan, dan Rully Kesuma
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini