Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepasang kakek-nenek itu menghadapi sebuah ujian. Ketika sedang bercakap-cakap di meja dapur, Anne mendadak "kosong". Georges mengguncang-guncang tubuhnya, Anne hanya melongo. Georges beringsut mencari bantuan dan tanpa sadar meninggalkan keran di tempat cuci piring di dapur menggelontorkan air.
Tatkala Georges kembali, suara gelontoran air dari keran berhenti. Dia melihat Anne sedang duduk santai sambil mengoleskan selai ke sepotong roti. "Apa yang kamu lakukan? Kau membiarkan air ngocor," kata Anne.
"Apa? Apa kau sudah gila? "
"Maksudmu?"
"Apa kamu cuma main-main?"
"Main-main apaan? Aku enggak ngerti."
Adegan mengesankan ini terjadi di film Amour (Cinta) karya sutradara Michael Haneke. Film yang dibintangi dua bintang Prancis, Jean-Louis Trintignant dan Emmanuelle Riva, itu dianugerahi Palme d'Or atau Palem Emas, penghargaan tertinggi Festival Film Cannes 2012, dua pekan lalu. Ini Palem Emas kedua bagi Haneke setelah mendapatkan hadiah serupa pada 2009 lewat Das Weiße Band (Pita Putih).
Garapan sutradara Austria ini memang sebuah karya brilian. Kritikus paling nyinyir sekalipun harus berjuang keras untuk menemukan kekurangan film ini. Kisah Amour berpusat pada Georges dan Anne, dua orang tua di usia 80-an tahun. Bagaimana keduanya merawat cinta hingga, khususnya pada hari-hari paling pelik dan paling menuntut: menjelang hidup mereka berakhir?
Hampir seluruh adegan berlangsung di dalam apartemen di Paris. Amour digulirkan dengan perlahan, dalam, dan intens. Konflik pun dimunculkan nyaris secara datar dan bersahaja. Tanpa letupan emosi dari para tokohnya, bahkan dalam situasi yang sebetulnya luar biasa. Misalnya tatkala Eva (Isabelle Huppert), putri mereka, datang berkunjung dan Georges menghalanginya untuk menemui Anne. Eva dan Georges bersitegang, tapi layar tenang: tak ada teriakan dan tiada lengkingan. Kemarahan dan kekesalan muncul lewat dialog yang sangat bernas serta ekspresi dan laku tubuh yang subtil.
Kisah ini, kata Haneke kepada wartawan seusai penganugerahan Palem Emas, didasarkan pada janji dia dan istrinya untuk tak pernah berpisah, kendati menghadapi situasi seperti itu suatu hari kelak. "Kami menyaksikan situasi seperti itu setiap waktu," kata Haneke.
Meski Amour menjadi film terbaik, Haneke tidak memperoleh penghargaan sebagai sutradara terbaik. Kontroversi terbesar Cannes tahun ini tampaknya adalah dipilihnya Carlos Reygadas sebagai sutradara terbaik. Post Tenebras Lux bertumpu pada pasangan suami-istri muda yang mengalami masalah seksual, yang bersilang sengkarut dengan persoalan masyarakat desa miskin, kekerasan rumah tangga, ritual ganjil, dan latihan rugbi anak-anak muda beraksen Britania Raya.
Post Tenebras Lux memunculkan kesan neko-neko, kendati sebagian menganggapnya sebagai pencarian ekspresi yang orisinal. Ini tecermin saat pemutaran khusus bagi wartawan. Di ujung film, sebagian penonton bertepuk tangan memuji dan sebagian berteriak mencemooh.
Yang juga mengundang tanda tanya adalah kemenangan Reality karya Matteo Garrone sebagai film terbaik kedua dan mendapat hadiah Grand Prix. Di mata para pengamat, ini salah satu film paling lemah. Ceritanya tentang seorang miskin yang berkhayal tampil di acara reality show. Yang menarik, aktornya, Annielo Arena, adalah satu-satunya aktor utama di kompetisi yang tak datang menginjak karpet merah Cannes. Dia harus mendekam di sebuah penjara di Italia karena menjadi seorang terpidana 20 tahun untuk kasus pembunuhan.
Cristina Flutur dan Cosmina Stratan, aktris Rumania yang menjadi tokoh utama Dupa Dealuri (Di Balik Perbukitan) karya Cristian Mungiu, mendapat penghargaan untuk peran aktris terbaik, karena nyaris tanpa pesaing. Flutur berperan sebagai Alina, gadis muda yang pulang kampung untuk menemui kekasih lamanya, Voichita, yang diperankan Stratan. Ternyata Voichita sudah menjadi biarawati dan Alina terguncang. Cerita tidak berfokus pada hubungan lesbian keduanya, melainkan berbelok pada ritus pengusiran setan di biara itu yang berakhir tragis.
Satu-satunya pesaing Flutur dan Stratan untuk gelar aktris terbaik adalah Marion Cotillard lewat De Rouille et D'os (Karat dan Belulang) karya Jacques Audiard. Aktris Prancis ini bermain sebagai Stephanie, "pawang" paus di sebuah taman laut yang kehilangan kedua kakinya karena serangan paus yang diasuhnya. Ini sebuah drama yang kaya oleh situasi tak terduga.
Adapun aktor Denmark, Mads Mikkelsen, dinobatkan sebagai aktor terbaik di film Jagten (Perburuan), sebagai seorang guru taman kanak-kanak yang jadi musuh masyarakat karena dituduh pedofil. Ini karya Thomas Vinterberg, yang baru kembali lagi tahun ini setelah mengguncang Cannes pertama kali pada 1999 lewat Festen, salah satu karya "pelopor" dalam gerakan Dogma Skandinavia.
Mads Mikkelsen memang tampil intens. Tapi sesungguhnya permainan aktor pria yang paling menonjol adalah Denis Lavant, yang memerankan berbagai tokoh dengan beragam perwatakan dalam Holy Motor. Dan Holy Motor inilah pertanyaan terbesar bagi Cannes 2012. Mengapa karya Leos Carax ini tak meraih apa pun? Amour jelas layak meraih Palem Emas sebagai sebuah film yang secara teknis boleh dikata sempurna. Namun Amour konservatif secara bentuk: rapi, apik, bersih, terjaga, runut, linear. Ini tidak tipikal Cannes.
Cannes adalah sebuah festival yang biasanya memberi perhatian khusus pada gagasan, eksplorasi, eksperimentasi, dan berbagai upaya serta pencapaian bahasa baru. Sesuatu yang otentik, kendati "tidak sempurna". Dan Holy Motor adalah sebuah film dengan penjelajahan yang tak terduga.
Lihatlah bagaimana edannya film Carax ini. Tuan Oscar (Denis Lavant) pamit berangkat kerja. Kelihatannya ia eksekutif "normal". Berjalan beberapa ratus meter dari rumah, ia disambut masuk limusin putih. "Berapa janji saya hari ini, Celine?"Â Sopir limo, perempuan setengah baya yang dipanggil Celine itu, menjawab, "Dua belas." Ternyata 12 janji itu adalah menjadi manusia lain, berganti-ganti, dalam berbagai situasi, sepanjang hari, hingga tengah malam. Pada awalnya ia menjadi perempuan pengemis, pembunuh bayaran, lain kali jadi anggota mafia, atau bekas kekasih.
Pada suatu saat ia bisa menjadi monster yang menculik seorang supermodel. Di sebuah gua, si monster menyobek kain busana si supermodel, memakaikannya sebagai cadar untuk beberapa saat, seperti kaum perempuan Taliban. Sesudah itu, ia sendiri bertelanjang bulat, lalu perlahan menghampiri Eva Green. Seterusnya, ia berbaring dengan kepala di pangkuan si supermodel, yang mengubah posisi kerudungnya. Tersiratkanlah adegan Pieta: jenazah Yesus di pangkuan Bunda Maria. Leos Carax memainkan berbagai imaji, menyinggung berbagai persoalan kontemporer: politik, agama, kehidupan urban, dan keseharian orang biasa, lewat film.
Pada ulang tahunnya yang ke-65, Festival Film Internasional Cannes juga menjadi tempat pertarungan para "sutradara pinisepuh". Misalnya Alain Resnais, sutradara berusia 90 tahun, yang menampilkan Vous N'aves Encore Rien Vu (Anda Belum Melihat Apa Pun) yang mungkin akan merupakan karya Resnais terakhir—mengingat usianya. Karya ini pun bertutur tentang "perpisahan" seorang sutradara teater dengan bekas para pemainnya. Acara berlangsung sesudah sang sutradara mati. Di rumah duka, para pemain yang sudah menjadi para aktor film terkenal di Prancis itu "diundang" untuk terlibat dalam drama karya Eurydice yang dulu pernah mereka mainkan.
Akan halnya empu realisme baru Iran, Abbas Kiarostami, penerima Palem Emas 1997 lewat Ta'm-e gîlâs (Rasa Buah Ceri), tampil dengan Like Someone in Love, sebuah film berbahasa Jepang dengan lokasi Jepang dan tokoh-tokoh Jepang. Pendeknya, film Jepang dengan skenario dan penyutradaraan Kiarostami yang Iran. Kisahnya tentang seorang mahasiswi yang nyambi sebagai pelacur dan suatu kali disewa seorang lelaki tua bekas dosen di universitasnya. Tapi sang dosen ternyata juga tidak menyewanya untuk seks.
Empu lain adalah Ken Loach, penerima Palem Emas 2006, yang menyajikan kisah para penganggur di Glasgow dalam Angel's Share. Ia mengkritik program-program pengetatan ekonomi yang dinilainya hanya merugikan rakyat kecil.
Tapi semuanya itu kalah oleh Amor.
Ging Ginanjar (Cannes)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo