Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENYUM mengembang dari bibir Yusril Ihza Mahendra. Di gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis pekan lalu, bekas Menteri-Sekretaris Negara itu baru saja selesai mengikuti sidang gugatan uji materi pasal kenaikan harga bahan bakar minyak dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2012.
Namun bukan karena perkara itu Yusril tersenyum lebar, melainkan sebuah kabar dari Kejaksaan Agung. Siang itu Jaksa Agung Basrief Arief mengumumkan ihwal penghentian penyidikan kasus dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum alias Sisminbakum yang sudah dua tahun membelitnya. "Memang sudah seharusnya dihentikan," kata Yusril, sumringah.
Bersama Hartono Tanoesoedibjo, akhir Juni 2010, ia ditetapkan Kejaksaan sebagai tersangka sistem daring kenotariatan di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Yusril menjadi tersangka karena perannya sebagai Menteri Kehakiman yang meneken kebijakan Sisminbakum dan menunjuk PT Sarana Rekatama Dinamika sebagai rekanan Koperasi Pengayoman Kehakiman. Sedangkan Hartono, perannya sebagai pemilik PT Sarana yang memaraf dan menyetujui draf perjanjian biaya akses dan meneken pengeluaran duit Sisminbakum. Sarana Rekatama adalah pelaksana proyek tersebut.
Selain untuk Yusril, surat perintah penghentian penyidikan (SP3) juga terbit untuk tersangka lain, Hartono dan Ali Amran Djanah, bekas Ketua Koperasi Pengayoman Kehakiman. Ali Amran ditetapkan sebagai tersangka tak lama setelah Kejaksaan mengÂendus adanya korupsi Sisminbakum, akhir Desember 2008. Karena Ali sakit permanen, penyidikannya jalan di tempat.
Pada periode awal penyidikan, kasus Sisminbakum menyeret tiga bekas Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum: Romli Atmasasmita, Zulkarnain Yunus, dan Syamsudin Manan Sinaga. Direktur Utama PT Sarana Yohanes Waworuntu juga menjadi tersangka. Kecuali Syamsudin, para tersangka itu belakangan dibebaskan Mahkamah Agung, setelah sempat dinyatakan bersalah sampai tingkat banding.
Dalam putusan MA yang membebaskan tiga terdakwa itu, duit fee Sisminbakum dianggap bukan uang negara. Dalam pertimbangannya, majelis hakim mengutip Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Menurut beleid itu, PNBP yang belum ditetapkan undang-undang diatur peraturan pemerintah. Nah, karena saat itu tak ada peraturan pemerintah, pungutan Sisminbakum dianggap hakim bukan duit negara.
Nasib berbeda terjadi pada Syamsudin. Dia dinyatakan bersalah oleh majelis kasasi lantaran terbukti menerima gratifikasi duit Sisminbakum yang mengalir ke Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum. Hakim menganggap duit itu dalam penguasaan negara. Putusan berbeda itu diketuk majelis kasasi yang juga menangani perkara Romli. Bahkan, ketua majelisnya, Muhammad Taufik, juga menjadi ketua majelis yang membebaskan Yohanes di tingkat peninjauan kembali.
Putusan MA yang membebaskan tiga terdakwa itulah yang menjadi dasar penghentian penyidikan kasus Sisminbakum. Alasannya, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, putusan MA tersebut terkait dengan perkara tiga tersangka itu karena tuduhannya perbuatan dilakukan bersama-sama. Karena duit Sisminbakum bukan uang negara, kata Adi, tidak ada perbuatan melawan hukumnya. "Proyek Sisminbakum juga kebijakan resmi pemerintah," kata Adi, "sehingga tidak bisa dipidana." Terbitnya surat penghentian yang diteken pada 30 Mei itu akhirnya memang mengubur kasus Sisminbakum, yang sejak empat tahun lalu diusut Kejaksaan.
Sebelumnya, penyidik mencium bau korupsi Sisminbakum setelah tujuh tahun layanan itu beroperasi, Maret 2001. Proyek ini merupakan sistem online pendaftaran badan hukum. Setiap pendaftar dikenai biaya akses Rp 1,35 juta.
Dari pungutan itu, 90 persen masuk ke PT Sarana. Sedangkan Koperasi hanya kebagian 10 persen. Itu pun dibagi lagi, 6 persen untuk Koperasi dan 4 persen masuk kantong sejumlah pejabat Kehakiman. Menurut Kejaksaan, biaya akses itu seharusnya masuk kas negara sebagai penerimaan nonpajak. Sebelum diblokir Kejaksaan pada pertengahan 2008, layanan itu sudah mengeruk duit Rp 423,7 miliar yang disetor para notaris.
Menurut Jaksa Agung Pengawasan Marwan Effendy, jika perkara tiga tersangka itu dilanjutkan ke meja hijau, hasilnya akan kontraproduktif. Sebab, kata dia, sebagai gerbang terakhir, Mahkamah Agung telah merontokkan semua tuduhan Kejaksaan. "Tapi para jaksa tetap menganggap biaya akses Sisminbakum itu pungutan liar," katanya.
SINYAL bakal dihentikannya kasus Sisminbakum sudah dilontarkan Jaksa Agung Basrief Arief dua pekan setelah Kejaksaan menerima salinan putusan kasasi Romli Atmasasmita, awal Februari 2011. Dua hari sebelumnya, Basrief meminta Jaksa Agung Pidana Khusus, saat itu Muhammad Amari, mengkaji putusan Romli.
Karena perintah itu, penyidik menunda pelimpahan tahap dua perkara Yusril dan Hartono. Dinyatakan lengkap pada Januari 2011, perkara itu tinggal selangkah menuju penuntutan. Penyidik tinggal menyerahkan terdakwa dan barang bukti.
Tim penyidik dan jaksa senior kemudian diperintahkan mengkaji putusan Romli. Dari hasil kajian mereka, putusan Romli dianggap tidak relevan dengan perkara Yusril dan Hartono. Tim juga menyarankan agar Kejaksaan mengajukan upaya peninjauan kembali atas putusan itu. "Kalau tindak pidananya bersama-sama, semua harus diajukan ke pengadilan," kata anggota tim jaksa senior, Andi Hamzah.
Kendati sudah sampai ke meja pimpinan, menurut seorang jaksa, rekomendasi tim tak kunjung direspons Jaksa Agung. Bahkan yang terjadi, ujar jaksa itu, Basrief justru merotasi jaksa senior kasus tersebut. "Sejumlah penyidik Sisminbakum juga diganti," katanya.
Tidak jelasnya sikap Kejaksaan mendorong Lembaga Pemantau Penyelenggara Trias Politika, awal Juni 2011, misalnya, mendatangi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga ini meminta KPK mengambil alih kasus Sisminbakum karena Basrief dianggap tidak serius mengusut kasus itu. Alasannya, menurut sekretaris jenderal lembaga itu, Chandra Adiwana, Basrief dekat dengan Martin Parengkun, pengacara Hartono. Selain pernah bekerja di kantor konsultan hukum milik Martin, Basrief bekas bawahan Martin di Kejaksaan Agung.
Sumber Tempo mengatakan, tak lama setelah kasus Sisminbakum bergulir, akhir 2008, Hartono pernah bertemu Basrief di kantor pengacara Hendrikus di Gedung Indofood, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Saat itu Basrief bekerja di kantor pengacara itu setelah pensiun sebagai jaksa. Mendampingi Hendrikus, Basrief memberi konsultasi hukum kepada Hartono tentang kemungkinan kakak pengusaha Hary Tanoesoedibjo itu terjerat Sisminbakum. Ditanya soal pertemuan itu, Jumat pekan lalu, Basrief malah balik bertanya, "Kalau saya ketemu, memang kenapa? Saat itu saya kan tidak berstatus apa-apa," katanya.
Setelah MA membebaskan Yohanes pada akhir November 2011, menurut sumber Tempo di Kejaksaan, sikap Basrief mulai terbaca. Arahnya, kata dia, penerbitan SP3 kasus Sisminbakum. Jalan menuju penghentian, kata sumber ini, makin mulus setelah MA memvonis lepas Zulkarnain Yunus di tingkat kasasi, April lalu. Dua pekan setelah putusan Zulkarnain diketuk, kata dia, di tingkat petinggi Kejaksaan sudah ada kesepakatan menghentikan kasus Sisminbakum. "Tinggal tunggu waktu yang tepat untuk menerbitkan SP3," katanya.
Kamis pekan lalu itulah waktu yang dipilih Basrief untuk mengabarkan penghentian tersebut. Sehari sebelumnya, tiga surat penghentian untuk tiga tersangka itu diteken Direktur Penyidikan Pidana Khusus Arnold Angkouw.
Penghentian ini, menurut seorang jaksa pidana khusus, juga tak bisa dipisahkan dengan pertemuan Yusril dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kamis malam, 17 Mei. Dalam pertemuan di rumah pribadi Yudhoyono di Cikeas, Yusril berkeluh kesah mengenai status tersangkanya yang digantung Kejaksaan. Di depan Presiden, Yusril juga mengancam akan menggugat Basrief jika ngotot membawa perkaranya ke pengadilan. "Setelah itu, pimpinan minta tim Sisminbakum mengkaji secara cepat penghentian kasus itu," kata sumber Tempo ini. Yusril mengakui soal percakapannya dengan Presiden itu.
Adi Toegarisman mengatakan penghentian kasus itu semata-mata tidak terdapat cukup bukti dan adanya putusan MA yang telah membebaskan tiga terdakwa Sisminbakum. Kepada Tempo, Basrief mengatakan kasus Sisminbakum sudah selesai dan tidak ada intervensi dari siapa pun.
Indonesia Corruption Watch mengaku kecewa terhadap penghentian ini. Menurut anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho, seharusnya Kejaksaan melawan putusan MA yang membebaskan tiga terdakwa Sisminbakum. ICW mendesak Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali atas putusan itu. Karena dalam kasus Mochtar Pakpahan dan Djoko Tjandra, misalnya, kata Emerson, upaya peninjauan kembali Kejaksaan dimenangkan MA. "Ini kenapa malah dihentikan?" kata Emerson.
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) juga bersiap akan mempraperadilÂankan penghentian ini. Menurut Koordinator MAKI Boyamin Saiman, perkara yang sudah dinyatakan lengkap tak seharusnya dihentikan. "Penghentian ini janggal," katanya.
Anton Aprianto, Indra Wijaya, Ananda Putri
Pendapat Beda di MA
Tiga putusan di tingkat MA merontokkan tuduhan fee Sisminbakum adalah uang negara. Namun satu putusan lagi menyebut duit Sisminbakum yang disetor ke Dirjen Administrasi Hukum Umum masuk penguasaan negara.
Romli Atmasasmita
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum 2000-2002
Dakwaan: Tidak menyetor fee Sisminbakum Rp 1,3 miliar ke kas negara dan menerima Rp 5 juta plus US$ 2.000.
Putusan kasasi: Lepas dari tuntutan
Yohanes Waworuntu
Bekas Direktur Utama PT Sarana Rekatama Dinamika
Dakwaan: Memperkaya PT Sarana Rekatama Dinamika dari duit Sisminbakum Rp 423,7 miliar.
Putusan PK: Bebas
Zulkarnain Yunus
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum 2002-2006.
Dakwaan: Tidak menyetor fee Sisminbakum Rp 9,1 miliar ke kas negara dan menerima uang Rp 884 juta dan US$ 11,940.
Putusan Kasasi: Lepas dari tuntutan.
Syamsudin Manan Sinaga
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum 2006-2008.
Dakwaan: Tidak menyetor fee Sisminbakum Rp 8,4 miliar ke kas negara.
Putusan kasasi: Divonis satu tahun penjara karena terbukti menikmati duit Rp 344 juta plus US$ 13 ribu. Duit Sisminbakum yang disetor ke Dirjen Administrasi Hukum Umum masuk penguasaan negara.
Janji Para Petinggi
Basrief Arief saat menerima Indonesia Corruption Watch, medio Juni 2011.
"Kami sampaikan secara jelas jangan sampai kasus Sisminbakum dihentikan. Pertama, itu akan menggerus kepercayaan publik. Kedua, adanya kejanggalan vonis Romli dibandingkan dengan vonis Syamsudin."
Darmono (kini wakil Jaksa Agung) saat menjadi pelaksana tugas Jaksa Agung, awal Oktober 2010.
"Intinya, perkara itu (Sisminbakum) akan ditindaklanjuti, dilengkapi, disempurnakan, sehingga nanti siap untuk dilimpahkan ke pengadilan."
Andi Nirwanto, dua pekan setelah dilantik menjadi Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, pertengahan Mei 2011.
"Kami nyatakan tidak ada kendala dalam penyusunan surat dakwaan Yusril dan Hartono terkait kasus Sisminbakum."
Janji Tinggal Janji
Empat tahun diusut Kejaksaan Agung, kasus dugaan korupsi Sisminbakum akhirnya "tutup buku". Sempat menyeret sejumlah pelakunya ke terungku, Kamis pekan lalu, Kejaksaan mengeluarkan surat penghentian penyidikan untuk tiga tersangkanya yang belum diajukan ke pengadilan: Yusril Ihza Mahendra, Hartono Tanoesoedibjo, dan Ali Amran Djanah. Padahal sebelumnya para petinggi Kejaksaan berjanji menuntaskan kasus ini.
Februari 2000
Romli Atmasasmita, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, merancang Sisminbakum dan menggandeng Hartono Tanoesoedibjo melalui PT Sarana Rekatama Dinamika.
4 Oktober 2000
Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra mengeluarkan surat keputusan pemberlakuan Sisminbakum.
10 Oktober 2000
Yusril menunjuk Koperasi Kehakiman dan PT Sarana sebagai pelaksana Sisminbakum.
8 November 2000
Koperasi dan PT Sarana mengikat kontrak jatah perolehan: 10 persen untuk Koperasi dan 90 persen untuk Sarana.
1 Maret 2001
Sisminbakum dioperasikan.
Oktober 2008
Kejaksaan Agung menyelidiki dugaan korupsi Sisminbakum.
24 Oktober 2008
Bekas Dirjen Administrasi Hukum Umum Syamsudin Manan Sinaga dan Zulkarnain Yunus menjadi tersangka. Sebulan berselang, Romli dan Direktur Utama PT Sarana Yohanes Waworuntu menjadi tersangka.
24 Desember 2008
Mantan Ketua Koperasi Pengayoman Ali Amran Djanah menjadi tersangka.
29 April 2009
Persidangan perdana Sisminbakum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
September 2009
Romli divonis 2 tahun penjara. Syamsudin divonis 1 tahun 6 bulan penjara.
28 Oktober 2009
Yohanes divonis 4 tahun penjara.
Januari 2010
Pengadilan tinggi mengkorting vonis Romli dan Syamsudin menjadi 1 tahun. Yohanes menjadi 2 tahun penjara.
2 Mei 2010
Mahkamah Agung melalui putusan kasasinya memvonis Yohanes 5 tahun penjara plus membayar ganti rugi Rp 378 miliar.
25 Juni 2010
Yusril dan Hartono menjadi tersangka.
2 Desember 2010
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Zulkarnain Yunus 1 tahun penjara.
21 Desember 2010
MA melalui putusan kasasinya melepas Romli. Sedangkan kasasi Syamsudin ditolak.
19 Januari 2011
Berkas perkara Yusril dan Hartono lengkap.
24 Januari 2011
Pelimpahan perkara Yusril dan Hartono ditunda karena Jaksa Agung Basrief meminta putusan lepasnya Romli dikaji.
3 Februari 2011
Basrief menyatakan kemungkinan opsi penghentian kasus Sisminbakum.
Awal Maret 2011
Tim pengkaji Kejaksaan menyimpulkan putusan Romli tidak bisa menjadi acuan perkara Yusril dan Hartono.
22 Juni 2011
Pengadilan tinggi menguatkan vonis Zulkarnain.
Juni 2011
Tim jaksa senior menyimpulkan Kejaksaan bisa mengajukan PK putusan Romli. Tim menyarankan perkara Yusril dan Hartono ke pengadilan.
28 November 2011
Permohonan PK Yohanes diterima. Ia divonis bebas.
11 April 2012
Zulkarnain diputus lepas oleh MA.
31 Mei 2012
Kasus Sisminbakum dihentikan.
Naskah: Anton A., Sumber: Wawancara, MA, Kejaksaan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo