Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kementahan yang Jadi Legenda

Perupa EddiE haRA menggelar pameran karya-karyanya di Jakarta. Karya seniman yang telah mapan di jalurnya sendiri.

24 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Generasi perupa kontemporer yang lebih muda—khususnya di Yogyakarta, misalnya Apotik Komik dan Daging Tumbuh—menjulukinya ”Om Legend”, sang paman yang (telah) melegenda. Penampilan underground-nya pada 1980-an, dengan anting besar, kepala dicukur separuh plontos separuh gondrong, dikenang sebagai mulai merebaknya suatu gaya pembangkangan atau ekspresi khas kaum punk.

Lukisan berwarna permen dan gaya coretannya yang kocak telah membuka jalan baru, menyimpang dari rezim seni lukis untitled, yakni lukisan nonfiguratif yang dibalut oleh warna ”agung” kotoran kuda. Sementara ekspresi modernis lokal di Yogya—pada kurun tertentu—ditandai oleh salah satu puncaknya pada ragam ”dekora-magis”, gaya pemberontakan bergaya naratif dan humoris terwakili oleh karya nyeleneh yang sama sekali ”ora (tidak) magis” EddiE haRA.

Lebih-kurang dua dekade telah berlalu. ”Om Legend” masih saja berkarya dengan gaya main-main semacam itu. Hanya, kini EddiE haRA sering mondar-mandir dan berpameran antara Basel (tempat tinggalnya sepuluh tahun terakhir ini) dan Yogya. Pameran tunggalnya yang ke-28 kali ini di Nadi Gallery, Jakarta (5-18 Desember 2007), bertajuk Global Warming, Cool Art! merekam potongan perjalanan pencariannya di ranah visual bercitra underground. Dalam pameran ini, ekspresi semacam itu dibungkus oleh kuratornya, Enin Supriyanto, dengan cerita di sekitar kecenderungan budaya subkultur yang melanda dunia.

EddiE memamerkan sejumlah karya tahun 2002-2007 dan melukisi dinding galeri dengan gambar ubur-ubur berwarna pink dan citra seniman Joseph Beuys yang seakan terkejut dan terpeleset. (Di bagian lain, pada lukisan Corat-coret di tembok tetangga, 2007, misalnya, EddiE membubuhkan sebuah teks, ”Who the hell is Mr Beuys”.) Tapi, jika hanya jejak dan legenda, tidakkah ini lebih terasa sebagai bagian dari kemapanan ketimbang ”gangguan” atau ”pelesetan” seperti yang ditawarkan oleh perupanya pada 1980-an?

Sejumlah karya mini bertarikh 2002-2007 yang berasal dari seri gambarnya yang terkenal, Postcard from the Alps Series, muncul di pameran ini. Karya itu dibuat di atas sampul amplop bekas berukuran 16,3 x 22,8 sentimeter, tentu saja masih lengkap dengan prangko, logo kantor pos Swiss, dan tulisan ”herrn” EddiE. Itulah gambar-gambar yang tetap terasa lebih ”orisinal” dan spontan ketimbang lukisan kanvas EddiE pada pameran ini. Pada seri itu kita melihat curahan improvisasi visual yang lebih segar, citra komikal yang menyembur lebih fantastis, meriah bercampur-baur dengan berbagai elemen ”kebetulan” yang lain, menegaskan sikap main-mainnya yang bukan kepalang. Bahkan karya itu terasa lebih mentah, tanpa pretensi kepada segi-segi formal sebuah karya seni visual. Campuran dari berbagai gaya dalam khazanah seni rupa bawah terasa lebih kental pada karya-karya ini.

”Ekspresi subkultur dalam bentuk music scene, street logo, dan komik sangat memberi inspirasi bagi saya. Juga musik-musik cadas keras dan superkeras yang memiliki speed tinggi seperti surf ”n” roll, punk, emo, grunge, dan hardcore. Bukan saja musiknya, tapi juga tingkah laku dan gaya publiknya. Juga desain-desain cover-nya, desain kaus, dan tentu saja posternya rata-rata menarik, artistik, dan anarkistis…,” kata perupa yang gemar mengenakan celana gombrong selutut ini.

Gambar-gambar lucu yang mengingatkan orang pada tokoh komik seperti Batman, Mickey, dan Minnie Mouse pada karyanya dibubuhi dengan kata-kata ”jorok” yang memberi konotasi pada cetusan memberontak, hubungan cinta, dan bau pornografi di sana-sini. Perhatikan misalnya teks pada karya EddiE haRA seperti ”destroy and join the resistance”, ”season for love/work”, ”the killing field of a happy nation”, ”fuck Warhol”, dan ”kick ass” yang menyelip di antara aliran visual karyanya.

Seiring dengan hilangnya serapah, muncul tata warna yang cerah tapi penuh perhitungan, dan menjadikan gambar dan lukisannya yang lain terasa terlampau bersih, normal, tanpa gangguan. Citra seperti pada seri amplopnya inilah yang malah terasa mendorong orang untuk memindahkannya ke medium ekspresi subkultur seperti kaus, rajah, stiker, dan gambar stensil.

Ekspresi yang ramai antara semburan serapah, humor, pelesetan, dan gambar lucu tanpa pretensi tertentu umumnya tak kita temukan pada lukisan-lukisan kanvasnya yang terasa formal dan bahkan lebih dekat dengan kecanggihan ekspresi seni modern. Karyanya yang terasa paling ”brut” akan menggoda kita untuk menerobos antara yang mapan dan yang mentah, antara gangguan dan kemapanan, antara makna dan pelesetan. Raut bercitra robot pada karyanya, setelah sekian tahun, jelas menunjukkan keahlian dan keterampilan menggambarnya yang matang dan luar biasa dan, karena itu, seakan menjadi pola. Lihatlah misalnya seri lukisan/gambarnya pada Something floating on the air (2007), berukuran seragam 44 x 34 sentimeter, dibuat dengan cat akrilik di atas kanvas.

Dengan kata lain, sesungguhnya EddiE haRA tetap punya jarak dengan seni ”brut” yang dipujanya. Sejak kenakalan dan penemuannya lebih-kurang 20 tahun lalu, perupa ini belum menawarkan sesuatu yang lebih segar atau lebih lucu. Rupanya, sang legenda telah mapan di jalurnya sendiri.

”Kesenian saya bukan outsider art, karena saya orang akademisi…. Tapi spirit kemurnian, kementahan, dan penjauhan dari lingkup high art itulah yang banyak menginspirasi penciptaan kesenian saya…. Saya bukan seniman jalanan. Juga bukan seniman komik. Kalaupun ide visual saya punya idiom yang bernuansa street art dan komik, ya, itu sah-sah saja…,” kata EddiE haRA.

Hendro Wiyanto, pengamat seni rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus