Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Sleman- Pernikahan Sitoresmi Prabuningrat dengan Willibrordus Surendrabroto Rendra alias W.S. Rendra memang hanya bertahan sembilan tahun (1970-1979). Namun keindahan penyair berjuluk si Burung Merak ternyata menimbun kenangan di benak Sitoresmi hingga sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam perhelatan Kampung Buku Jogja (KBJ) 2019, Sitoresmi hadir khusus untuk memberikan orasi tentang 10 Tahun setelah WS Rendra Tiada dengan tajuk orasinya, Membaca Api Kehidupan: Mengenang Rendra. “Yang diingat adalah kenangan atas kehidupannya, bukan kematiannya,” kata Sitoresmi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rendra, lahir dan meninggal pada bulan yang sama berdasarkan tahun Qomariyah, yaitu 10 Sya’ban 1354 Hijriyah hingga 14 Sya’ban 1430 Hijriyah. Ia juga lahir dan meninggal pada hari yang sama, yaitu Kamis Kliwon dan Kamis Legi. Atau dalam kalender Masehi lahir pada 7 November 1935 dan meninggal pada 6 Agustus 2009.
“Dan dalam hidupnya diisi dengan menulis puisi, naskah drama, esai. Semangatnya tak pernah ada habisnya,” katanya menambahkan.
Rendra mulai naik panggung saat duduk di bangku SMP. Saat itu pula, ia memulai menulis puisi dan naskah drama. Pendirian Bengkel Teater menjadi wadahnya untuk mengapresiasi sastra. Kemudian lewat puisi menjadi wadahnya untuk menuangkan kritik-kritik sosial. “Mungkin karena puisi punya narasi paling kuat,” kata Sitoresmi.
Mantan istri mendiang penyair WS Rendra, Sitoresmi Prabuningrat. TEMPO | Pito Agustin Rudiana
Lewat sastra, ayah aktris Clara Sinta ini ingin menumbuhkan dan mendewasakan khasanah kebudayaan Indonesia lantaran terasa asing di tanah leluhur sendiri. Hal ini diungkapan diungkapkan dalam sajak Sebotol Bir.
Melegendanya kiprah Rendra di dunia sastra, menurut Sitoresmi karena asupan tiga hal yang disebutnya dengan nutrisi kebudayaan. Pertama, nutrisi kebudayaan dari keluarganya di mana dia lahir dari rahim pasangan seniman. Ayahnya, R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo adalah guru Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, sekaligus dramawan tradisional. Ibunya, Raden Ayu Catharina Ismadillah adalah penari Serimpi di Keraton Ngayogyakarta.
Kedua, nutrisi kebudayaan dari bangku kuliah. Di dalam negeri, seniman besar Indonesia ini pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Kemudian melanjutkan ke New York, Amerika Serikat sebagai mahasiswa American Academy of Dramatical Art untuk menjadi seniman profesional.
Ketiga, nutrisi kebudayaan dari kalangan sosial politik. Tragedi demi tragedi masa rezim Orde baru menginspirasi ayah sebelas anak ini untuk membuat karya-karya sastra yang berisi kritik-kritik sosial sebagai bentuk suaka untuk arus bawah.
Dengan mengkonsumsi tiga nutrisi kebudayaan tersebut, Rendra dinilainya mempunyai kepiawaian dalam membaca realitas dengan bahasa yang sederhana dan menghayati makna. “Karya-karyanya pun mengandung nilai-nilai tentang kebebasan, kejujuran, dan harmoni,” kata Sitoresmi.
Ada nilai-nilai yang tertuang dalam tiga puisi yang membekas di hati Sitoresmi. Ada Sajak Sebatang Lisong yang legendaris dan ditulis pada 19 Agustus 1977. Ada sajak romantis tetapi tragis, Pamflet Cinta ditulis 28 April 1978. Dan ada sajak Paman Doblang pada 22 April 1984 yang penggalannya sangat populer karena acapkali menjadi kutipan. Siang itu, ia membacakan ketiga puisi itu hanya pada penggalan yang membuatnya terkenang dan terkesan.
Sajak Sebatang Lisong
Inilah sajakku. Pamflet masa darurat. apakah artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan
Pamflet Cinta
Apa yang bisa dilakukan oleh penyair. Bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan? Udara penuh rasa curiga. Tegur sapa tanpa jaminan
Paman Doblang
Kesadaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala. Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.