Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah pesan pendek dikirim salah seorang anggota Dewan Kesenian Jakarta yang baru. Isi-nya mengejutkan. ”Mungkin saya mengundurkan diri,” demikian isi pesan itu.
Penulis pesan itu adalah satu dari 25 nama baru anggota Dewan yang telah dipilih Akademi Jakarta, lembaga yang memiliki kewenangan menye-lek-si anggota. Akademi telah me-ram-pungkan proses pemilihan pada awal Februari lalu (lihat Dewan Kesenian Baru, Napas Baru, Tempo 6 Maret). Tapi hingga kini kepeng-urusan Dewan Kesenian Jakarta itu tak kunjung dikukuhkan oleh Gubernur DKI Sutiyoso.
Apa alasan pengundur-an diri penulis sandek itu? Mengapa pula gubernur terlambat melantik kepengurusan baru yang semestinya telah menggantikan pengurus lama pada 11 Maret lalu?
Aksi pendudukan de-mons-tran yang mengatasnamakan Lembaga Kesenian Betawi di kantor Dewan Kesenian Jakarta pada 11 Maret lalu tampaknya akan mempengaruhi keputusan Gubernur. Sepekan setelah berdemonstrasi, me-re-ka mencurahkan kekesalannya kepada Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Aurora Tambunan. Aurora pun berjanji mempertimbangkan suara me-reka. ”Tapi sejauh ini belum ada (anggota Dewan) yang diganti. Saya hanya akan mengajukan usulan ke Gubernur,” kata Aurora kepada Tempo pekan lalu.
Demonstrasi Lembaga Kesenian Betawi bersama sekitar 200 orang dari Forum Betawi Rempug dan Forum Komunikasi Anak Betawi telah berubah menjadi vandalistis ketika sebagian demonstran mencorat-coret dinding kantor Dewan. ”Bubarkan AJ-DKJ” dan ”Bubarkan AJ-The Yahudi”, begitu antara lain isi coretan mereka.
Lembaga ini menyatakan kegusaran-nya lantaran lima nama calon anggo-ta Dewan yang mereka usulkan tak digubris Akademi Jakarta. ”Orang Be-tawi harus duduk di Dewan,” kata pelukis Sarnadi, salah satu dari lima nama itu.
Pelukis Hardi, yang sehari-hari rajin nongkrong di Taman Ismail Marzuki, ikut berdemo. Menurut Ketua Musyawarah Seniman Jakarta ini, pemilihan anggota Akademi dan Dewan tak demokratis. Begitu ada yang terpilih, katanya, seniman-seniman yang ada di TIM tak diberdayakan. ”Seniman TIM itu kan kere semua, badannya habis kebanyakan mecin (vetsin) gara-gara makan di warung,” Hardi mengomel.
Aurora mengakui keterlambatan per-gantian anggota Dewan ada di pi-hak-nya. Tapi keterlambatan itu, kata-nya, bukan lantaran desakan demonstran. Menurut Aurora, gubernur ingin melakukan perombakan total di TIM. Tak cuma anggota Dewan baru, tapi juga mereformasi keanggotaan Akademi.
Masa bakti Akademi, kata Aurora, akan dibatasi lima tahun sekali—tak lagi seumur hidup seperti yang terjadi sejak Bang Ali membentuk lembaga ini di awal Orde Baru. Pada 3 Maret silam, Gubernur telah melayangkan surat kepada 23 anggota Akademi yang masih hidup. Isinya berupa permintaan mengisi formulir bila bersedia dipilih kembali. Dalam surat itu juga dilampirkan daftar absen pertemuan Akademi sejak 2001. ”Maksud lampir-an itu supaya (mereka) bisa mengorek-si diri,” kata Aurora.
Tiga belas orang menyatakan bersedia duduk di Akademi, antara lain Rendra, Endo Suanda, A.D. Pirous, Syafi’i Ma’arif, Rosihan Anwar, Sardono W. Kusumo, Nh. Dini, Koesnadi Hardjasoemantri, dan Goenawan Mohamad. ”Sitor Situmorang tak bisa dihubungi; Nono Anwar Makarim menolak,” kata Aurora.
Pemerintah DKI akan menambah nama baru agar genap 15 orang. Auro-ra menyebutkan, nama-nama anggota Dewan dan Akademi baru beserta struktur, tugas dan fungsinya itu akan sekali-gus dikukuhkan di surat keputusan gubernur yang akan diteken paling cepat pada awal bulan depan.
Apakah nama us-ulan dari para pengunjuk rasa 11 Maret lalu akan diakomodasi Akademi? Ketua Akademi Koesnadi Har-djasoemantri menolak jika hanya karena aksi demo itu dengan sertamerta usulan mer-eka akan diterima. Ia me-ne-gaskan ada syarat yang harus dipenuhi bila anggota baru Dewan dan Akademi disisipi nama baru. ”Dia harus bisa bekerja sama dengan yang lain,” katanya.
Mantan Rektor UGM ini menepis anggapan telah mengesampingkan se-niman Betawi. Di antara 25 nama calon anggota Dewan sudah terdapat seniman yang lahir, dibesarkan, dan sangat berdedikasi pada kesenian Betawi. ”Masak, seniman Betawi ha-rus berasal dari usulan mereka saja?” Koesnadi bertanya balik.
Ratna Sarumpaet, Ketua Dewan Kesenian Jakarta periode 2003–2006, mengecam proses pemilihan anggota Dewan dan aksi demo itu. Menurut dia, semestinya tak perlu ada campur tangan pemerintah dalam kesenian Jakarta. ”Tapi karena Akademi dan Dewannya tidak kompak, bagaimana lagi?” katanya.
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo