Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tingginya cuma 165 cm. Tapi di panggung lebar Plenary Hall, Jakarta Convention Center, Februari lalu, ia kelihatan semampai. Ia, Vina Panduwinata, memang menjulang.
Di atas panggung, matanya menyapu penonton di barisan terdepan. Mereka ikut menyanyi, lelaki-perempuan dengan uban yang mulai tumbuh, potongan tubuh yang mulai melar, juga anak-anak remaja—semua lebur dalam hits-nya di masa lalu, Di Dadaku Ada Kamu, Bawa Daku, Aku Makin Cinta, atau Burung Camar. Mereka pandai menyenandungkan melodi lagu-lagunya, mengikuti setiap liriknya. Ya, secara diam-diam regenerasi penggemar- penyanyi yang menjadi bintang terang di tahun 1980-an ini berlangsung.
Vina Panduwinata, kita tahu, lagu-lagunya banyak bergaya dixie, lincah tanpa beban. Lagu-lagu yang telah melampaui batas-batas kedaluwarsa rata-rata lagu-lagu pop sejenis. Bertahun-tahun ia menghilang dari hiruk-pikuk dunia hiburan, tapi malam itu ia membuat enam ribu penonton di Plenary Hall, Jakarta Convention Center, terpaku dua jam lebih. Ia tetap Vina yang dulu sangat mempesona: centil, suaranya agak serak-serak basah.
Dua puluh tahun silam, Vina adalah segalanya yang menyangkut musik pop. Ia seorang gadis yang menyedot suatu lapisan masyarakat: gaya vokalnya, gaya rambutnya, caranya berdiri, hingga aksesori perhiasannya. Ya, sosok penyanyi perempuan 1980-an adalah cermin kepenyanyiannya selama ini—selalu ada desah dalam suara-nya, bergerak manja di atas panggung. Vina sebuah kiblat generasi 1980-an.
Tapi dunia berubah. Dulu hidupnya sibuk dan berkilau. Pada 1985, habis menggaet Kawakami- Award melalui Burung Camar cipta-an Aryono Huboyo Jati/Iwan Abdurahman di Budokan, Jepang, Vina te-rus terbang ke festival lain berskala Asia-Pasifik untuk menyanyikan Satu dalam Nada Cinta karya Bartje van Houten. Sekarang ia banyak menghabiskan waktu di dunia yang sama se-kali berbeda. Di rumahnya yang besar lagi kuno, ia mengurus rumah tangga dan anaknya, Joedo Harvianto Kartiko atau Vito, kini 15 tahun.
Di rumah berpekarangan rumput- itu, Jalan Tegal No. 9 Menteng itulah, tubuh bintang yang menjadi acuan re-maja segenerasinya itu membengkak-. Ia menikah dengan pengusaha-pembalap Boy Haryanto Joedo Soem-bono pada November 1989, dan menyusui Vito hingga berusia tiga tahun. Vina terperangah, badannya mekar tak terkira—mencapai 73 kilogram. Ia benar-benar takut keluar rumah. Ia menghampiri suaminya, mengajukan solusi: ”Pa, kalau mau jalan, jalan sendiri aja deh. Aku nggak ikut nggak apa-apa kok. Kasihan deh, Papa nanti malu, ba-wa istri kok gede banget badannya.”
Vina masih cantik, bobotnya tidak lebih dari 56 kilogram. Dan di usiany-a yang ke 47 tahun, ia menyebut momen me-rawat anak sebagai momen yang paling membahagiakan. Pernah ia ber-usaha mengulang momen istimewa itu. Ketika usianya menjelang 40 tahun, ia hamil. Tapi belum sempat melahirkan, ia keguguran. Dan dokter memberi batas kehamilannya sampai ia 45 tahun. Batas yang sudah terlampaui. Dengan berat hati ia mengubur keinginan punya bayi lagi.
Dunia Vina dunia seorang ibu. Dulu penyanyi Malaysia Sheila Madjid- seka-lipun menyebut Vina penyanyi idola-nya. Sekarang para bintang seperti Titi D.J., Krisdayanti, Ruth Sahanaya-, Memes, ataupun Dewi Sandra memanggilnya Mama Ina. Ia menjadi tempat bertanya.
”Saya bukan orang ambisius,” kata-nya. Suaranya rendah. Vina memisahkan ambisi, cita-cita, dengan keingin-an. Tujuannya jelas: ia ingin hidup bahagia, tidak ingin kecewa. ”Sejak kecil kalau ingin sesuatu, aku tidak pernah minta kepada orang tua. Aku takut kecewa. Kekecewaan akan datang kalau kita berharap terlalu banyak.”
Vina atau Vina Dewi Sastaviyana Panduwinata lahir di Bogor pada 1959. Ayahnya, R. Panduwinata, seorang d-iplomat berdarah Sunda; sedangkan ibunya, Albertine Supit, keturunan Ambon. Sedari kecil ia sudah belajar mengenyahkan ego: menomorsatukan orang lain, menomorduakan dirinya. Dari sang ibu, Vina mewarisi bakat menyanyi, juga menyerap pandangan hidupnya, pandangan seorang penyabar. Vina kecil, anak kedelapan dari 10 bersaudara, adalah si cilik yang pandai menyanyi, juga pintar mengalah terhadap keinginan adik-kakaknya.
Vina berubah banyak, kecuali- suara-nya yang khas. Suara yang se-akan- datang dari langit, tak kunjung ber-ubah sekalipun tanpa pera-watan atau latihan khusus. Sanggup melompat- hingga dua setengah oktaf kendati- tanpa pemanasan. ”Pita suara-nya lentur,” kata Addie M.S., penata musiknya pada 1980-an dan dalam konser tunggalnya Februari kemarin. Yang berlaku bagi orang lain tak berlaku bagi-nya. Dalam konser itu, Addie sempat menangkap, Vina merokok se-isap-dua- isap sewaktu berganti baju di belakang panggung.
Staminanya memang luar biasa. Pada penampilannya dalam konser- yang lebih kecil, ia sanggup memba-wakan 30 sampai 40 lagu. Empat tahun lalu, di News Cafe, Kemang, Jakarta Selatan, ia tampil hampir tiga jam penuh. Waktu itu konser berakhir menjelang pukul 02.00 dini hari. Menyanyi bukan beban, melainkan hobi.
Kita tahu, suaranya juga anugerah yang melahirkan perjalanan albumnya yang panjang. Perjalanan yang berawal dari sebuah titik di tahun 1979, sewaktu ia masih tinggal, sekolah- dan merekam suaranya di Jerman dalam album Sorry, Sorry dan Touch Me. Setelah itu, kita pun menyaksikan ren-tang waktu popularitasnya di Tanah Air sepanjang era 1980-an: Citra Biru, Citra Pesona, Citra Ceria, Cinta, Cium Pipiku, Surat Cinta, dan WOW. Awal 1990-an ia masih juga muncul dengan Rasa Sayang Itu Ada, Mutiara yang Hilang, Bahasa Cinta, Aku Makin Cinta, Vina, Bawa Daku, dan ter-akhir Vina for Children (2002).
Tak ambisius, tapi Vina memperoleh banyak dalam hidupnya, termasuk gelar si Burung Camar yang diberikan penyanyi senior Koes Hendratmo dalam acara final Festival Lagu Pop Nasional 1985. Julukan yang menegaskan popularitasnya. Dan terakhir, konser ”Viva Vina” yang sukses. Malam itu, malam setelah konser tunggalnya, ia bahagia sekali. ”Tuhan memberi kebahagiaan tak terkira,” katanya.
Vina mengalir seperti sungai di dataran rendah. Tanpa cita-cita, melainkan dua keinginan yang belum ber-akhir: ”Aku masih ingin punya album baru dan punya anak lagi”.
Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo