Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebab tidak setuju majalah Playboy diterbitkan di Indo-nesia, ratusan pemuda mengamuk dan melempari- gedung kantor majalah itu pekan lalu. Mereka protes karena Playboy dianggap media pornografi yang melanggar kaidah agama dan kesusilaan sehingga tidak punya tempat di Indonesia. Sebelumnya, di berbagai tempat, beberapa kelompok pemuda yang bersemangat serupa meng-adakan gerakan sapu bersih—sweeping—melarang majalah itu diedarkan dan dijajakan.
Terlepas dari apakah alasan moral yang dipakai masuk akal atau tidak, gerakan memaksa dengan ancaman kekerasan oleh bukan penegak hukum yang berwajib pada hakikatnya adalah kesalahan yang tak boleh dibiarkan terjadi. Apakah itu berupa sweeping terhadap penerbitan yang dituduh pornografis atau terhadap penjualan minuman yang mengandung alkohol, atau raid—penggerebek-an mendadak—terhadap panti pijat dan tempat hiburan malam. Apalagi kalau itu didasarkan atas fanatisme kelompok radikal saja, dan pada umumnya tak didukung oleh penganut agama atau kepercayaan yang sama.
Mencoba menegakkan yang benar dengan menempuh cara yang salah, pada dirinya adalah suatu pelanggaran, kontravensi. Yang melakukan berarti telah menjungkirbalikkan tatanan peraturan hukum, subversi terhadap kewibawaan yang sah. Tak ada dasar pembenaran untuk itu. Kecuali jika para pelakunya menyangka bahwa me-reka tengah menjalankan revolusi, menjebol dan mendobrak semua lembaga hukum yang menghalangi. Revolusi apa gerangan ini, dan apa tujuan akhirnya?
Merampas hak warga negara hanya bisa dilakukan atas nama undang-undang atau dengan keputusan pengadilan. Bukan seperti yang sekarang, hak menerbitkan majalah diberangus, hak menjual Playboy direnggut, hak membeli pun dihalang-halangi dengan paksaan kekerasan. Seolah-olah itu adalah keputusan pengadilan rakyat yang menggunakan kebenaran mutlak yang dipercayainya sebagai satu-satunya ukuran. Main hakim sendiri akan berujung pada kekacauan, kalau bukan pertanda bahwa chaos -sudah terjadi.
Ketika sekitar 300 orang anggota Front Pembela Islam (FPI) menyerbu gedung kantor Playboy, sementara 200 petugas polisi yang menjaga tidak berhasil mencegah, itu adalah contoh konkret hukum sedang tidak diindahkan. Para penyerbu mengandalkan kekuatan jumlah orang. -Me-reka jadi berani dan nekat karena marah, terutama karena beramai-ramai. Namun, justru letak masalah adalah di sini: polisi dengan kekuatan wibawa hukum—bukan cuma mengandalkan senjata atau jumlah pasukan—seharusnya bisa menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat-. Sekarang ada kesan seakan-akan polisi me-ngawal pe-nyerbu yang mengamuk, bukan melindungi yang jadi sasaran amarah.
Ada yang keliru dalam sikap polisi menampung dan menyalurkan tekanan massa, walau barangkali bertujuan menghindari bentrokan. Dari sisi lain, sikap itu bisa diartikan sebagai membiarkan pelanggaran terjadi. Segala bentuk pembiaran kejahatan adalah salah, apalagi kalau polisi yang melakukan. Lebih keliru lagi kalau polisi mencoba meredam dengan mengikuti cara yang dilakukan kelompok penekan. Di Solo, polisi merazia majalah porno dari toko-toko buku karena Majelis Mujahidin Indonesia melakukan sweeping terhadap Playboy.
Kalau kebijakan penggunaan kekuasaan negara ditentu-kan arahnya oleh tekanan mob—gerombolan massa yang tak terkendali, rusuh, mengamuk—maka yang berjalan bukanlah lagi demokrasi. Tak ada orang yang nyaman hidupnya dalam mobocracy, karena selalu dirundung kekacauan dan ketidakpastian. Maka, sebelum berlarut-larut, hukum harus tegas dijalankan terhadap yang mengeroyok Playboy dengan cara yang salah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo