Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WANITA DI MATA WANITA
Karya: Wara Anindya
Tempat: Galeri Lontar
Waktu: sampai 12 Agustus
DEDE Eri Supria melukis dengan filsafat alon-alon waton kelakon (biar lamban asal sukses). Ia memotret obyeknyakebanyakan keramaian kaki limadengan slide, dan memproyeksikan slide itu ke kanvas dengan berbagai ukuran. Lalu, mulailah ia menyapukan warna, garis, dan komposisi berdasar hasil rekamannya itu dengan kuas. Sementara itu, cara kerja perupa Wara Anindya lebih spontan. Wara menggebrak bak banteng ketaton, banteng yang terluka. Ada obyek ataupun tidak, asal ide muncul, Wara menggaet kuas, langsung kebut. Seperti diburu waktu, Wara gampang sekali berimprovisasi. Kanvasnya kebanyakan berukuran besar, sekitar 1,4 x 2 meter. Hasil lukisannya sama sekali bukan abstrak, melainkan anindian, orang-orang dengan tampang seram.
Lima puluh batang lukisannya yang dipamerkan di Galeri Lontar, Jakarta Timur itu terdiri dari cat minyak di atas kanvas dan pastel serta tinta di atas kertas. Didominasi warna hitam-putih, semuanya bersuasana seram, kelam, muram. Wara berkutat pada bentuk. Dan bagi Wara, agaknya bentuk-bentuk orang sangat penting. Jika pamerannya di Cafe Solo, Jawa Tengah, pada 1997, dipenuhi lukisan pastel dan tinta di atas kertas berupa orang-orang gemuk seperti Farid Hardja dan Tarida Gloria, kali ini karyanya dipenuhi orang-orang langsing dalam cat minyak di atas kanvas. Gemuk atau langsing bagi Wara boleh jadi cukup penting, mengingat dorongan ketegangannya. Wara memang melukis dalam ketegangan.
Tukang Ramal, karyanya yang terbaik, menggambarkan tiga orang Tionghoa (dua perempuanseorang di antaranya berkipasdan seorang lelaki gemuk). Di meja ada teko dan tiga cangkir. Pada karya ini, Wara kehilangan fokus karena tak jelas siapa di antara ketiganya yang tukang ramal. Sebuah ambiguitas. Keterpikatan Wara pada bentuk dan cerita banyak kaitannya dengan kegemarannya membaca sastra. Dalam wawancaranya yang panjang, Wara mengaku bahwa dirinya adalah pembaca cepat. Dalam sebulan, dia bisa ngebut dengan membaca 20 novel. Seluruh novel penting yang sudah diterjemahkan telah disikatnya. Sejauh ini, dia tidak menerjemahkan novel ke dalam lukisan. Kreativitas Wara dipicu oleh kepiawaian sang sastrawan bercerita. Wara membaca sebuah novel, cerpen, atau puisi, berulang-ulang. Novel Sampar karya Albert Camus sangat bisa menjadi pemicu yang ajaib bagi gejolak kreativitasnya. Begitu ujarnya.
Tergolek, hitam-putih, lukisan ini (1,4 x 2 meter) menampilkan perempuan telanjang yang sedang hamil atau sakit, atau kedua-duanya. Dengan wajah kuyu, perempuan ini tampak menderita. Pada tiga karyanya, Perempuan itu Indah, Terpuruk, dan Bunga bagi Masa Silam, Wara melukis dengan tema yang sama: seorang perempuan yang tampak kalah dengan sebuket kembang di tangan. Rata-rata lukisan perempuan Wara tampaknya menderita, tersiksa, terpuruk, atau gagal mencapai cita-citanya. Apakah dengan karya-karya ini ia ingin menunjukkan solidaritasnya terhadap para perempuan yang tertindas? Wara, 30 tahun, yang berbahagia dengan tiga anak dan seorang suami yang begitu mengerti, bersandar pada para master yang karya-karyanya selalu ditengoknya lewat buku-buku reproduksi seni rupa untuk bisa menyalakan api kreativitasnya. Dalam berbicara dengan tema yang sama, karya-karya Djoko Pekik terasa membumi tradisi, sementara seluruh lukisan Wara bersuasana Eropa (baca: Barat).
Ketegangan apakah yang dirundung Wara? Ketegangan kreativitas, psikologis, ontologis, atau ambivalensi? Semuanya. Agaknya Wara menikmati benar ketegangan itu, baik yang fisik maupun metafisik. Bahkan dia menyebut juga teror. Dalam pernyataannya, Wara selalu disundul-sundul energinya yang meluap-luap. Sering kali ia tak mampu mengendalikan energinya itu. Jika gagal melukis, ia cukup berbahagia menyalurkan energinya dengan mengepel seluruh lantai rumahnya. Bagi Wara, yang sulit dalam melukisbegitu pengakuannya secara tertulisadalah perjuangan dalam mencari mangsa, berburu di hutan imajinasi, mengatasi keragu-raguan, dan mengalahkan ketidakyakinan dalam situasi batin yang kalut. Proses ini akan mampu memberi nyawa pada lukisan.
Kemudian, menyeleksi ide-ide yang muncul dan memfokuskan lensa secara tepat merupakan pekerjaan yang membutuhkan perenungan panjang. Dan, tampaknya, ide itu yang kemudian menjadi ketegangan Wara.
Danarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo