Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kisah Sang Jurnalis Gambar

Sudjana Kerton "memotret" gejolak revolusi lewat sketsa dan gambar. Karyanya, semasa hidupnya, mencerminkan kemampuan daya rekam yang tinggi seorang pelukis.

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Revolusi dan Evolusi Sudjana Kerton
Karya: Sudjana Kerton
Waktu: 26 Juli-7 Agustus 1999
Tempat: Benteng Vredeburg, Yogyakarta

KETIKA berangkat ke medan perang (untuk pertama kali), saya mendengar psshh...! psshh! Peluru! Dan saya berkata kepada diri saya, 'Apakah itu?' Bayangkan! Suatu ketika saya tertembak—saya mengenakan topi, dan topi itu tertembak! Yang bisa saya pikirkan hanyalah, 'Oh, tidak, topi saya!' Jika saya sedikit menjulurkan leher saya seperti ini, saya pasti tertembak pada saat itu!"

Itulah sepenggal cerita yang dikisahkan oleh almarhum Sudjana Kerton kepada peneliti seni rupa dan kurator Astri Wright pada 1988—sebuah kisah tentang seorang "jurnalis gambar" yang harus mempertaruhkan nyawanya di kancah revolusi sebelum penyerahan kedaulatan pada 1946-1949 di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Ia menyaksikan wajah-wajah penuh kebencian, desingan peluru, serdadu yang tergeletak tak bernyawa, dan ceceran darah di sana-sini. "Saya melihat mayat-mayat yang membusuk selama tiga atau empat atau lima hari. Tentunya mayat-mayat itu telah membengkak. Melihat semua itu dalam situasi chaos, saya selalu harus membuat gambar-gambar (yang jelas)," ujar Kerton.

Saat itu, Sudjana Kerton bekerja untuk koran Patriot, yang dipimpin Usmar Ismail. Profesinya sebagai jurnalis gambar mengharuskannya selalu berada di garis depan, merunduk-runduk khawatir kena terjang peluru, dengan hanya menenteng kertas dan pena. Bak seorang wartawan foto perang, ia harus secepat kilat membuat sket adegan pertempuran. Kerton harus menunggu berjam-jam pertemuan politik kaum Republiken sembari membuat sket untuk korannya (sketsa Bung Karno sedang berpidato di Cirebon, 25 Mei 1947). Untuk itu, Kerton acap kali berkeliling bersama Soekarno dan mendokumentasikan kegiatan sang Presiden. Dan pada saat yang sama, intelijen Belanda selalu mengawasinya.

Sebagian dari suasana perjuangan tempo doeloe inilah yang kembali hadir di Benteng Vredeburg, Yogyakarta, dalam pameran sekitar 150 karya sketsa, drawing, cat air, dan grafis karya Kerton. Karya itu belum pernah dipamerkan sebelumnya. Sayang, tak banyak karyanya selaku jurnalis gambar pada masa itu yang bisa disaksikan dalam pameran ini. Maklum, sebagian besar kemudian hilang terbakar atau hancur ketika Belanda menduduki Yogyakarta pada 1948. Tapi penonton masih bisa menyaksikan suasana tegang saat Mayor Jenderal Angles secara resmi menyerahkan kekuasaan militer Jawa Barat kepada Sadikin pada 27 Desember 1949. Bak sebuah karya foto, Kerton "memotret" suasana itu dalam lima "frame".

Ada sketsa yang menggambarkan suasana upacara secara keseluruhan, barisan militer Belanda secara lebih detail, jejeran perwira KTN (Komisi Tiga Negara) yang mengawasi penyerahan kedaulatan, atau jejeran pasukan TNI. Kelebihan Kerton adalah kemampuan daya rekam visualnya yang sangat kuat, disertai dengan kemampuan mengorganisasi garis yang tidak sekadar sebagai representasi visual peristiwa di depan matanya, tapi lebih merupakan gambaran perasaan lewat bentuk-bentuk ekspresif, baik dalam karya sket, drawing, maupun lukisan.

Sudjana Kerton lahir di Bandung pada 22 November 1922. Ia mengawali karir seniman profesionalnya sebagai pelukis potret setelah mendapat pengaruh dari sepupunya, Kendar Kerton, yang juga seorang pelukis. Di lingkungan sepupunya inilah Kerton berkenalan dengan Affandi dan Hendra Gunawan. Belakangan, ketiganya bergabung dalam perkumpulan Pelukis Rakyat.

Kerton hampir menjadi seniman otodidak. Ia memang pernah belajar pada sejumlah seniman secara nonformal, seperti Joos Pluimenz di Bandung untuk teknik aquarelle, dan ia juga akrab dengan Ries Mulder, pendiri program seni rupa di Institut Teknologi Bandung, yang memopulerkan gaya abstrak nonfiguratif ke Bandung. Bahkan, ketika meninggalkan Indonesia pada 1950, Kerton berkelana di Eropa sembari belajar seni rupa di Belanda, Prancis, AS, dan Meksiko.

Saat kembali ke Indonesia pada 1976, Kerton memutuskan menetap di kampung halamannya di Bandung. Tapi ia merasa kesepian dan terasing berada di tengah mainstream seni rupa Bandung, yang abstrak nonfiguratif. Maklum, karya seni rupa Kerton bergaya figuratif sebagaimana seniman zaman revolusi. "Bapak lebih suka suasana Yogyakarta dan bahkan pernah berniat tinggal di Yogyakarta," ujar Chandra Kerton, putra sulung dari tiga bersaudara hasil perkawinan Kerton dengan Louise Kerton. Kerton wafat pada 1994 dengan meninggalkan banyak karya dokumenter seni rupa yang sangat berharga.

R. Fadjri (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus