Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para transpuan mengungkap kegelisahannya dalam pertunjukan seni.
Mereka bermonolog, berpuisi, berteater, menari, dan bernyanyi.
Mereka tampil sangat alami dan ekspresif.
Di temaram cahaya, sosok itu terlihat memunggungi kursi. Ia lalu bergerak pelan menghadap ke depan, menjauhi kursi, menatap ke seberkas cahaya lampu yang menyorotnya. Kedua tangannya bergerak menghalangi cahaya itu. Sambil terus bergerak pelan dalam koreografi yang menyimbolkan kepasrahan, suara Ian Hugen, seorang transpuan, terus mengiang mengiringi gerakan itu. Ian melafalkan puisi yang mengisahkan keinginannya untuk menjadi dirinya sendiri, tanpa berpura-pura serta tanpa beban dan caci maki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Aku lelah berusaha menjadi orang yang mau jadi, memikul beban berpura-pura,” ujarnya sambil tertawa. Tapi tawa itu getir. “Meski terlihat bahagia, namun sebenarnya...,” katanya. Ia tersiksa. Di ujung penampilannya, sosok dalam video yang tak lain Ian sendiri, terlihat lunglai, meringkuk, dan menyandarkan tubuhnya di punggung kursi. Meletakkan bebannya. Denting piano satu-satu menebalkan beban berat sosok tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di pinggir sofa yang bersebelahan dengan meja kecil, sepiring jambu merah tampak segar menggoda. Sebuah lilin besar di sebelah piring jambu menerangi ruangan. Kanzha Vinaa lalu mulai berkisah. Mulanya dengan intonasi netral. Ia mengajak penonton mengikuti cerita hidupnya. Ia mengaku tumbuh di sebuah rumah di sebuah kabupaten. Di kebun belakangnya tumbuh pohon jambu air yang manis meski sering berulat. “Aku tumbuh sebagai anak lelaki yang kemayu, kerap menjadi sasaran perundungan, rumah dilempari batu oleh anak-anak kampung. Bencong... bencong... bencong!” ujarnya dengan suara yang meninggi.
Di sekolah pun ia jadi sasaran perundungan, sampai akhirnya ia kerap membolos. Dari situ pula ia jadi sasaran amukan ayahnya. “Ampun, sakit... sakit... sakit,” ujar Vinaa, sambil tengkurap di sofa seperti memperlihatkan bagaimana pukulan sang ayah mendarat di tubuhnya. Ia sempat mencoba kabur dari rumah tapi gagal sehingga amukan kembali menderanya bertubi-tubi. Ia terus mencoba berdamai dan menerima kenyataan tubuhnya, sebagai transpuan. Ia tuangkan kegundahannya dalam puisi.
Pertunjukan Cerita Transpuan Lintas Batas.Youtube/Eliza Vitri Handayani
Vinaa dan Ian mengawali penampilan pertunjukan seni dalam peluncuran situs web Ceritrans dan pertunjukan bertajuk Ceritrans: Cerita Transpuan Lintas Batas. Ini merupakan proyek seni kolaborasi bagi tanspuan Indonesia untuk berbagi kisah melalui puisi, prosa, dan film pementasan. Kegiatan ini diadakan oleh InterSastra dan House of the Unsilenced bekerja sama dengan Sanggar Swara dan Eliza Vitri & Infinity. Didukung pula oleh British Council
Sepuluh transpuan bermonolog, berpuisi, berteater, menari, dan bernyanyi menceritakan kisah pedih yang mereka alami. Stigma, pelecehan, perundungan, dan penolakan itu mereka tuangkan dalam penampilan yang artistik yang disutradarai Ruth Marini, sutradara, aktris film dan teater. Penampilan mereka pertama kali ditayangkan pada Sabtu, 19 Juni 2021, di saluran YouTube.
Ada Rere Suketi yang bernyanyi dengan nada riang tapi liriknya getir dalam lagu berjudul Pernikahanku. Ia dipaksa menikah dengan seorang perempuan demi membahagiakan orang tuanya, sedangkan hati kecil dan tubuhnya menolak. Tapi ia mendapat kebahagiaan dan kebebasan setelah bercerai. Senyumnya mengembang saat menyanyi dengan rok panjang berwarna merah.
Ada pula kisah Hana. “Terlahir sebagai laki-laki biologis yang tinggal bersama kakak perempuan dan suaminya di sebuah pulau kecil,” ujar Hana. Di sana kakak iparnya melecehkan dengan kata-kata hingga menyumpahi sebagai bencong dan ahli neraka. Ia kabur kemudian ditolong seseorang yang mencarikan tempat tinggal dan pekerjaan. Jalan terbuka bagi Hana sebagai transpuan membuat hidupnya lebih bahagia dan berharga. Kisah berjudul Saya Hana dipentaskan dalam drama singkat dengan beberapa penampil.
Selain itu, Restya atau Rere membacakan kisahnya tentang penolakan keluarga dan masyarakat. Kisah sedih lain diceritakan oleh Ayu Sharee, transpuan asal Aceh, dalam format pertunjukan seperti sedang berbincang-bincang dalam sebuah acara. Ia dan teman-temannya diangkut, digunduli, "dibina" menjadi laki-laki. Salonnya ditutup paksa oleh sekelompok orang. Ia memulai kembali hidupnya di Ibu Kota.
Pertunjukan Cerita Transpuan Lintas Batas.Youtube/Eliza Vitri Handayani
Penonton juga mendengar kisah Nabillah Saputri, transpuan yang menemukan kedamaian dengan berkerudung. Dengan mukena almarhum ibunya, ia makin mendekatkan diri kepada Sang Pemilik Hidup. “Jilbab adalah takdir saya,” ujar Nabillah yang pernah mengalami persekusi oleh aparat karena kerudungnya.
Lain lagi dengan Rari Rahmat yang bermonolog tentang rambutnya. Ia bermimpi bisa memanjangkan mahkotanya ini hingga sebatas bokong. Ada pula Asya, penari yang pernah tampil di Jepang, dan menemukan kehidupannya di panggung tari sebuah klub.
Adapun kisah bahagia disampaikan Ayu Pradesha tentang keberhasilan perjuangannya mengganti namanya di meja hijau. Dengan mengganti nama lahir yang maskulin menjadi feminin seperti penampilannya, memudahkan dia hidup dan beraktivitas serta mengakses layanan publik.
Dalam pertunjukan tersebut, para transpuan ini mengelaborasi pengalaman dan diarahkan oleh beberapa mentor sastra dan pertunjukan. Mereka mengemas puisi dan prosa menjadi monolog dan naskah cerita yang apik serta menyentuh. Pertunjukan itu dibuat dalam dramaturgi dengan tata musik dan tata cahaya yang menarik. Mereka pun tampil sangat alami dan ekspresif.
Pertunjukan Cerita Transpuan Lintas Batas. Youtube/Eliza Vitri Handayani
Awalnya mereka berproses dalam workshop penulisan puisi dan prosa. “Awalnya dari obrolan ringan saja, tapi kemudian didukung dan dilatih. Kami tak punya pengalaman menulis puisi atau prosa,” ujar Vina. Ia berharap kisah mereka menjadi pelajaran bagi penonton agar tidak memperlakukan anggota keluarganya seperti mereka. Juga memperlakukan secara adil sebagai manusia.
Gaia Khairina, ketua panitia dari Intersastra, mengatakan proyek ini digelar untuk mengungkap cerita para transpuan kepada publik. “Ada kejujuran dan kedalaman cerita dari mereka.”
DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo