Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU hari di Yogyakarta. Garin Nugroho berada di tengah-tengah sekumpulan penari pria dan wanita. Coba kamu beli topeng, kata sineas termasyhur itu kepada seorang anggota stafnya.
Berbagai topeng lalu diangkut dari pasar. Ada topeng Spider-Man, Petruk, Gareng, tengkorak merah, sapi, harimau, kucing, dan ayam.
Nah, sekarang kalian menari dengan improvisasi, kata pembuat film kelahiran 6 Juni 1961 itu. Menarinya bagaimana, Mas? tanya seorang penari. Lha, kalau menarinya saya tentukan, itu bukan improvisasi namanya, kata Garin.
Suasana santai tapi serius ini mewarnai pembuatan Perjamuan tanpa Akhir, sebuah foto yang dicetak di atas kanvas seukuran layar presentasi. Foto itu menggambarkan para penari pria bertopeng macam-macam tersebut sedang mengerubungi sebuah meja setrika dan tujuh penari perempuan seperti sedang menari bedhoyo di belakang mereka.
Meja setrika itu ganjil karena alasnya adalah patung perempuan hitam telanjang yang sedang telungkup dan bagian kepalanya disungkup dengan rok merah. Rokku untuk menutupi wajahku karena kekerasan tak punya rasa malu, demikian catatan yang menyertai karya yang disajikan mirip lukisan dibingkai itu
Karya ini bersama tujuh karya seni rupa lainnya dipajang dalam pameran Nherek Mariah: Post-Cinema di Bentara Budaya Jakarta pada pekan lalu. Pameran ini menandai 30 tahun karier kesenian Garin sekaligus pemanasan menjelang pameran di Galeri Louis Vuitton di Paris, Prancis, bersama perupa Heri Dono, Eko Nugroho, Jompet Kuswidananto, dan Eko Prawoto. Tema hari ini adalah dunia ibu karena rahim kita yang sesungguhnya telah dipenuhi kekerasan, sehingga ibu kembali dibutuhkan, kata Garin saat membuka pameran itu.
Semua karyanya mengolah tema ibu dan kekerasan. Bagi Garin, dunia ibu merupakan paradoksal karena mengandung ketidakberdayaan sekaligus perlawanan, kelembutan serta kekerasan, dan semacamnya. Ibu paling banyak menghadapi kekerasan, baik itu kekerasan ekonomi, politik, maupun apa pun, katanya.
Selain refleksinya itu, Garin mendapat ilham dari cerita ibunya, Mariah Amien (almarhumah), yang pernah menjabat Wakil Kepala Kantor Pos Yogyakarta, tentang kesaksiannya melihat mayat-mayat yang bergelimpangan sebagai korban pembantaian Raymond Westerling.
Di sini, semua bisa tiba-tiba terjadi, seperti membalik tangan, sekitarmu tertawa-tawa, tiba-tiba terjadi pembantaian.... Ibu mengalami itu... ati-ati, kata Mariah kepada Garin sepuluh tahun lalu.
Pernyataan itu terpampang pada dinding yang menjadi latar Labirin Ibu #2, berupa patung perempuan seukuran manusia dewasa yang menjadi alas meja setrika, yang juga muncul dalam Perjamuan tanpa Akhir. Bentuk trimatra ini memungkinkan penonton mengamati lebih terperinci patung tersebut, melihat tanda salib pada punggungnya dan bekas tetes darah di telapak kakinya.
Garin memang piawai mengolah semiotika benda-benda, yang banyak kita temui pada berbagai tanda yang tersebar dalam film-filmnya. Tanda-tanda dalam dua karyanya ini tampaknya dengan mudah ditangkap oleh umat Kristen karena imaji-imajinya merujuk pada hal-hal yang lazim muncul dalam tradisi seni rupa kristiani. Apakah perjamuan itu, misalnya, mengacu pada perjamuan terakhir Yesus? Apakah kaki berdarah itu merujuk pada penyaliban? Silakan Anda menafsirkannya.
Yang jelas, semua karya ini didedikasikan Garin untuk ibunya, Mariah, dan ibu-ibu lainnya, termasuk Ibu Pertiwi. Beberapa karya itu antara lain diberi judul Sujud Mariah dan Mata Ibu. Karya-karya tersebut menyatukan berbagai unsur dalam kebudayaan, seperti fotografi, film, patung, musik, dan bahkan kutipan teks dari blog.
Abstraksi Garin terhadap sosok ibu lahir dalam berbagai bentuk. Pada Sujud Mariah, dia menjadi patung aluminium berbentuk perempuan sedang bersimpuh. Pangkuan Ibu lebih abstrak lagi karena hanya menampilkan dua lengkungan baja. Tapi Tubuh Ibu tampak vulgar dengan menyajikan sebuah mesin cuci raksasa dari Styrofoam.
Alumnus Jurusan Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta itu sudah lama berkutat dengan perempuan. Sebagian besar filmnya menunjukkan sosok perempuan dalam berbagai peran dan nasib, dari gadis yang kasmaran dalam Cinta dalam Sepotong Roti, istri yang diperebutkan dua lelaki dalam Opera Jawa, hingga perempuan yang mengasuh anak jalanan dalam Daun di Atas Bantal. Dia juga menyertakan catatan kaki untuk karya seni rupanya ini dengan menayangkan potongan-potongan berbagai film yang menampilkan sosok perempuan itu.
Direktur Program Komunitas Salihara Nirwan Dewanto menilai, sejak film pertamanya, Garin sebenarnya menekankan seni rupa dalam film. Saya menyebutnya sebagai maksimalisme dalam film, kebalikan dari minimalisme seperti yang dilakukan sutradara Iran, Abbas Kiarostami, katanya. Film Garin, kata Nirwan, merupakan jukstaposisi, penumpukan berbagai unsur, dalam satu bingkai sinema.
Adapun Radhar Pancadahana, sastrawan dan sutradara teater, melihat pameran ini sebagai upaya Garin menerobos batas-batas kesenian. Dia keluar dari kotaknya sebagai sinematografer dan mengatasi bentuk film, kata Radhar.
Menurut Garin, karya seni rupanya ini merupakan kelanjutan dari film sebagai tontonan. Film sejak awal sejarahnya merupakan hasil kolaborasi berbagai unsur seni: karya sastra sebagai skenario, lukisan sebagai set, ilustrasi musik, tari, busana, dan sebagainya. Dia mencontohkan, saat film bisu muncul, orang menikmatinya dengan iringan musik. Hal yang sama sebenarnya terjadi sekarang dengan bentuk yang berbeda. Sekarang orang menonton tidak harus ke bioskop, tapi bisa dengan melihat patung, dengan interaksi-interaksi yang bisa melahirkan interpretasi baru, misalnya dengan duduk di antara patung-patung atau instalasi. Dia jadi dunia baru. Itulah post-cinema, katanya.
Yang berbeda kini adalah bagaimana film itu disuguhkan sebagai satu paket dengan karya lain. Dia mencontohkan bagaimana film Opera Jawa di Jerman dengan menyertakan pameran instalasinya dan menampilkan pula bentuk teaternya dalam Festival Teater Eropa.
Ketika tirai film di bioskop ditutup, tontonan itu tetap hidup dengan cara yang lain. Unsur-unsurnya dapat keluar sebagai karya mandiri atau melahirkan bentuk baru, misalnya menjadi pertunjukan teater atau karya seni rupa. Sinema tidak mati, tapi dia beranak-pinak secara tak terhingga.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo