Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kiai isa di tengah si cantik

Pameran lukisan karya K.H. Isa O Djakasuria di mitra budaya, Jakarta. Ia melukis dengan naif. Hingga kini sudah 300 buah hasil karyanya. Berangkat sebagai pelukis mulai dari penjara masa pendudukan jepang.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIMULAI di sebuah sel penjara di masa pendudukan tentara Jepang, 1944. Dari sinilah K.H. Isa O. Djakasuria berangkat sebagai pelukis. Ketika ia masih 24 tahun. Untuk menjawab kesendiriannya dalam tahanan ia sering membuat sketsa di lantai. Oleh seorang intel Jepang yang mandapatinya sedang mencoret-coret debu di lantai itu, Isa malah disangka sedang membuat sandi. Tak ayal, Isa langsung diinterogasi. Ia dipaksa mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya itu. Isa menolak, tetapi menjelaskan bahwa perbuatan tersebut dilakukan sekadar mengisi waktu dan mengenang masa sekolahnya dulu. Pihak pemeriksa tak mau menerima, terutama setelah Isa disuruh membuat gambar Mr. Boogart - orang Belanda yang ditawan di sel lain - hasilnya malah bagus. Mereka menyangka Isa berhubungan baik dengan Mr. Boogart. Ketika putusan menyiksa Isa sudah diambil, tiba-tiba seorang perwira lainnya datang di tempat interogasi. Malah ia menyatakan bahwa tak ada hubungan apa pun antara Isa dan Boogart. Karena itu, Isa kemudian dipindahkan ke sel lain dan mendapat makanan yang lebih layak. "Ya, sedikit banyak, periode itu memang mempengaruhi lukisan-lukisan saya," tuturnya. Kendati sudah puluhan tahun lalu mulai melukis, ia jarang sekali pameran - barangkali lantaran hidupnya tak melulu dari menorehkan cat ke atas kanvas. Sebagai bekas ketua Ikatan Kiai Indonesia, 1956, ia mencurahkan diri mengajar dan menulis buku agama (antara lain Vademicum 1, II, dan III plus Fondamen Keyakinan Seorang Muslim). Dalam pamerannya kelima--sekarang di Mitra Budaya, Jakarta, dari 10 sampai 16 Februari - Isa menghadirkan 70 karya. Almarhum Sjumandjaja berada dalam sebuah kanvasnya, berjudul Syumanjaya (1985). Suasananya bercengkerama. Tampaknya seperti dengan Isa sendiri. Dalam kepucatan, lukisan itu menjadi sebuah kenangan bersahaja, tulus. Goresannya polos. Ide-idenya enteng, berloncatan - yang terwarnai dalam kebanyakan lukisannya. Bagi Isa, melukis itu bagai melepas dan mengolah unek-unek, walau memang tanpa beban pretensi. Mau menarik garis, ia bebas. Mengolah warna, sesukanya, dan menyusun komposisi juga terasa merdeka. Kadang-kadang detail sebatas yang ia kenali lewat penginderaan - menjadi obsesinya. Contoh itu bisa dilihat pada lukisan Madina (akrilik, 1984). Di lain kanvas, impresi bisa pula menjadi lebih dipentingkan, bahkan mencekam pada Teluk Banten I (akrilik, 1986). Dalam pada itu, sisa-sisa semangat perjuangannya susah juga rasanya ia petieskan begitu saja. Isa memang ikut mengangkat bedil pada masa perjuangan. Lalu, di awal masa kemerdekaan, sempat pula ia menjadi sekretaris Menlu RI Mr. Soebardjo. Ya, semangatnya yang kemudian menyembul-nyembul kelihatan pada Menuju Medan Laga II (akrilik, 1986) dan Menuju medan Laga III (akrilik, 1987). Yang disebut belakangan bahkan kanvasnya digantung dalam posisi njomplang - mestinya begitu karena ia menggebu-gebunya berlomba dengan semangat lamanya. Tetapi lukisan-lukisan itu dibuatnya 40 tahun lebih sesudah proklamasi -- sementara Isa sudah lewat dari 60 tahun. Banyak pengamat sepakat dan menyimpulkan bahwa ia melukis dengan naif. Apa pun tema yang ia ungkapkan, termasuk ketika harus bertutur tentang kecintaan kepada kehidupan sekitar, lewat Kasih Sayang (akrilik, 1987). Dalam warna-warna meriah, ada seorang wanita berwajah segar, memangku seekor kucing, dan tiga ekor yang lain di dckat kaki, bersebelahan dengan seekor herder. Bagaimana pula kekuatan ekspresinya? Ya, karena kepolosannya itu. Kemudian, yang menarik, wanita-wanita dalam lukisannya juga selalu cerah, seperti menjanjikan harapan. Dan meski predikat apa yang disandang, misalnya kiai, Isa tak sungkan mengakui, "Senang melihat wanita cantik." Kiai ini, paling tidak, ikut pula membuat orang jadi bingung: ia begitu bebas menggambar manusia, hal yang dltabukan selama ini oleh sementara agamawan . "Itu fanatik," kilahnya, menghadapi kelompok yang tak setuju pada seorang muslim yang menggambar sosok manusia. "Tidak ada dalil mengharamkan melukis, maka saya berani melakukannya. Kecuali itu, lukisan merupakan kebersihan jiwa yang dipusatkan. Dan lagi pula, saya membuat semua ini untuk menghasilkan dana yang bisa disumbangkan untuk yatim piatu." Setiap hari, ayah 15 anak ini tidak sepenuhnya melukis. "Capek, dong, kalau saban hari," katanya. Jumlah karyanya, hingga ke pameran sekarang, sekitar 300 buah. Dan sehari-hari kegiatan Isa lebih banyak membimbing sekitar 20 murid yang belajar agama dan melukis. Baginya, melukis merupakan salah satu cara untuk menumpahkan rasa kecintaan kepada sesama manusia. "Kita ini The council of Maha Pencipta. Jadi, harus meningkatkan rasa kecintaan tersebut," katanya. Dalam pada itu, ada yang menyebutkan bahwa Isa adalah pelukis di akhir pekan. Dari ajaran-ajarannya, seperti dituturkan dalam riwayat hidup, Isa orang yang masuk golongan Wahabi. Sebagai kiai, di masa Orde Lama lelaki yang banyak tertawa ini sempat menjalani tahanan rumah, karena ulah PKI. Beda seperti ketika ia dipenjarakan oleh Jepang. Penahanan rumah dalam periode persaingan politik yang tak berketentuan itu tak membuat Isa harus membuat sketsasketsanya di lantai. Namun, kemerdekaan dan kepolosannya menjadi terusik. Hanya sesaat itu saja. Dan alhamdulillah, ia memang tak goyah dalam keyakinannya. Mohamad Cholid dan Tri Budianto (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus