Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Monggo, suasana indonesia

Hotel-hotel berbintang di Jakarta seperti HI, Hyatt Aryaduta Hotel, Hotel Hilton, menggunakan interior tradisional khas Indonesia yang up to date. Ada kepercayaan pada kreasi perajin lokal.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUDUK di teras besar, menikmati kicauan burung, dan teh atau kopi sudah terhidang pula. Monggo, sebuah suasana Indonesia: mosaik karya G. Sidharta, yang bersemangat awal 1960-an gagasan Bung Karno, dan lengkungan kaca di langit-langit. Lalu lantai kcramik buatan lokal berwarna biru terbentang, menjadi alas dari kursi rotan. Di serambi ada tenun ikat warna biru putih, membungkus kursi-kursi. Itulah Ramayana Terrace, Hotel Indonesia, Jakarta, setelah diperbarui dari Java Room yang nostalgik. Dan bagian yang berciri Indonesia itu digenjot HI untuk merebut pasar. Sementara itu, berjalan sedikit ke sofa-sofa di lobi, akan kita dapati pula tenun ikat. Di dinding front office, ikat Makassar, Batak, sampai sarung Lampung mendominasi suasana. "Semua memang tenun ikat, karena saat ini batik dengan corak ciptaan sepuluh tahun lalu rasanya sudah lewat masanya," tutur Sjarifuddin, general manajer HI. Menambah keterangan rancangan ruangan karya AT-6 tersebut, "Dari benda mati sampai yang hidup, diusahakan seasli mungkin Indonesia." Yang hidup: burung di sangkar raksasa di belakang bar Ramayana Terrace itu. Sekarang hotel-hotel berbintang di Jakarta memang sedang menaikkan gengsi dengan dukungan tata ruang bersuasana Indonesia. Bagi mereka yang sedang duduk di lobi hotel atau menikmati suasana kamarnya, makin terasa bukan seperti dalam ruangan bangunan asing. Tenun tradisional dari pelbagai daerah malah mendapatkan kepercayaan. Mari ke Hyatt Aryaduta Hotel, yang peresmian pelebaran dan renovasinya dilakukan Ibu Tien Soeharto bulan lalu itu. Di hotel ini, tiap lantai memiliki nama suatu daerah, seperti Solo, Toba. Di kamar-kamar lantai Solo, umpamanya, di dindingnya terlekat bagor, dan di atasnya terpajang topeng-topeng Jawa. Atau ke kamar di lantai Toba, tenunan Batak mengisi hiasan utamanya. Ciri pribumi lalu ditonjolkan pula pada kendi-kendi tanah liat yang difungsikan sebagai penyangga kap lampu duduk pada sisi kiri dan kanan tempat peraduan. Katun dengan corak ikat warna merah bata, buatan Pekalongan, menjadi penutup tempat tidur. Pihak Yamarco Interiors, sebagai penata Hyatt, dalam perkara ini memang menjalankan gagasan pihak hotel. Konon, corak penutup tempat tidur itu aslinya tertuang dalam kain sutera hasil Jim Thomson dari AS, yang memiliki sebuah pabrik di Muangthai. "Karena aslinya yang sutera itu mahal, motifnya kita sontek saja," kata Marsudi, staf Hyatt yang bertanggung jawab soal tata ruang. "Tetapi motif itu juga sontekan mereka dari tenun ikat kita." Maya Soeharnoko, desainer ruang dalam dan lulusan London (1975), sangat berperan di Hyatt. Ia bekerja sama dengan Mr. Liem, dari Singapura. Namun, bangsanya bagor dan kelengkapannya di kamar-kamar itu hasil gagasan Maya bersama adiknya, Hudi, yang berprofesi sama. "Barangnya barangkali sama, tetapi yang penting adalah bagaimana menampilkannya menjadi istimewa. Lain dari yang lain," kata Maya. Sentuhan Maya (yang cantik dan 35 tahun itu) tak hanya terasa ketika kamar. Ini juga bisa diresapi di lobi dan di lorong menuju ballroom, ruang resepsi. Antara lain, untuk menaikkan suasana hangat di situ, Maya memajang ukiran kayu yang bercerita tentang sebua perkawinan adat bangsawan di Bali. Jelamprong pola batik para putri - zaman dulu, ia terapkan pada pajangan berwarna merah-bata ukuran tiga meter de front office. Itu kian menambal aksentuasi suasana sangat loka di kamar-kamar kendati pernik-pernik kecil, sebangsa lampu kuningan di meja tulis tetap masih dari Singapura. Di Hotel Hilton lain lagi Sentuhan Indonesianya (tepatnya Jawa) bisa dirasa sejak di lobi. Dan suasana pendopo rumah priayiJawa lengkap dengan gamelannya sudah lama menyambung dengan front office, dan Kudus Bar di sisi seberangnya Masih di lobi: para tamu bisa duduk di kurs: tradisional gaya Madura. Kain Lampung dan ukiran Toraja juga berbicara di situ. "Kadang-kadang, dalam karpetnya kami sisipkan corak tradisional Misalnya Toraja," tutur Stanley Makatita nyong Ambon di staf hubungan masyarakat Hilton. Lalu tenun ikat di sofa dan lampu-lampu Palembang. Tenunan yang konor mustahil ada kembarnya di tempat lain itu diciptakan khusus oleh Iwan Tirta. Pemanfaatan tenun seperti begitu tampaknya tak lepas dari yang trendy. Sementara itu, HDII (Himpunan Desainer Interior Indonesia) yang berdiri 17 Januari 198. (kini beranggota 120-an dan 90% di Jakarta) tak kurang pula aktifnya meningkatkan apresiasi terhadap tenun lokal. "Penggunaan corak tradisional di hotel-hotel sudah lama sejak lebih dari setahun lalu Hanya kini, dengan warna yang up to date, menjadi kelihatan,' kata Naning Adiwoso, Ketua HDII. Semangat semacam in agaknya karena memang telah timbul rasa percaya pada kreas perajin lokal, dan tak lagi dipandang sekadar eksotis, sepert cara turis melihat. M.C, Tri Budianto & Linda Djalil (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus