Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pukulan akan datang setelah sidang ...

Sejumlah pakar ekonomi menyerang KAM. KAM akan segera bangkrut. Menteri Radius Prawiro mengimbau agar masyarakat tak masuk kam. Di Kal-Bar dan Ja-Tim sudah dilarang. Kisah perkembangan KAM.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAHNYA pucat seakan kurang darah. Menurut pengakuannya, tiap malam, ia cuma sempat tidur dua jam. Tapi, Jusup Handojo Ongkowidjaja Ketua Umum Yayasan Keluarga Adil Makmur (KAM), yang merasa perlu menyiapkan perhitungan-perhitungan setelah sejumlah ahli ekonomi menyerang yayasannya, tetap saja mengorat-oret secarik kertas yang sudah lusuh penuh tabel dan susunan angka. "Kalau perhitungan ini selesai, sepuluh profesor pun saya hadapi," katanya. Pakar ekonomi yang menelanjangi KAM, yang sedang menJadi gantungan harapan puluhan ribu orang itu, antara lain Ketua Dewan Direktur Institut Bisnis Indonesia, Kwik Kian Gie. Menurut Kwik, yang menyusun hitungan bersama analis keuangan, Erry Mirwan, diperkirakan pada bulan ke-7, KAM sudah menderita defisit hampir Rp 38 milyar. Perhitungan kedua ahli ekonomi ditangkis Ongkowidjaja dengan perhitungan sendiri. "Saya sudah bilang, jangan ukur meter pakai liter, ya salah. KAM sudah berjalan tujuh bulan kok nggak ambruk?" ujarnya. Bahkan, Sabtu pekan lalu, KAM, yang berdiri Juni 1987, masih membagi-bagikan paket kepada 196 anggota. Malah, pada dinding kantor KAM, yang terletak di Jalan Zainul Arifin, di belakang pusat perbelanjaan Gajah Mada Plaza, Jakarta Pusat, sudah ditempelkan daftar nama 214 calon penerima paket yang dibagikan lima hari kemudian. Tapi, perhitungan Kwik, anggota MPR dari F-PDI, telah membuka mata masyarakat tentang kiat KAM beroperasi selama ini. Jelas bahwa lembaga simpan pinjam inl bukan guci wasiat yang bisa memberikan duit berlimpah-limpah. Lebih dari itu, arah angin memang sedang berbalik untuk KAM. Sejumlah ekonom yang sebelumnya diberitakan mendukung KAM, kini ramai-ramai menyerang. Mary Pangestu dan Djisman Simanjuntak, misalnya, mengatakan bahwa pers salah mengutip pernyataan mereka sebelumnya. "Pesertanya terlalu banyak dan tak ada kontrol yang kuat. Walhasil- satu saat cashflow-nya akan mengalami gangguan berat," kata Mary. Ahli moneter dari Universitas Indonesia, Anwar Nasution, tampaknya bersikap serupa (lihat Kolom TEMPO). Bahkan, Senin pekan ini, Departemen Keuangan sudah mengeluarkan imbauan agar masyarakat jangan masuk KAM. Mereka yang telanjur masuk disarankan supaya meninjau kembali keanggotaannya. Tapi, beberapa kepala daerah jauh-jauh hari sudah ada yang mengamankan penduduk dengan melarang KAM melakukan kegiatan di wilayah mereka. Gebrakan ini dimulai pada 5 Februari oleh Bupati Bogor Soedardjat Nataatmadja, lalu oleh Bupati Karawang Sumarno Suradi, dan selang seminggu kemudian menyusul Bupati Cirebon. Pukulan yang cukup telak terhadap KAM dilakukan oleh Gubernur Wahono, yang mengeluarkan keputusan melarang kegiatan KAM di seluruh Jawa Timur, Kamis pekan lalu. Wahono adalah gubernur pertama yang mengharamkan KAM di daerahnya. Sebelumnya baru di tingkat kabupaten. "Saya merasa perlu menyelamatkan warga saya dari kegiatan yang belum jelas maksud dan tujuannya. Kegiatan itu bisa meresahkan masyarakat, apalagi ini menjelang Sidang Umum MPR," ujar Wahono. Ia menyebut KAM bergerak di bidang perbankan tanpa izin dari Departemen Keuangan. Wahono menambahkan, "Kalau dia yayasan yang bertujuan sosial, seharusnya dia berada di bawah pengawasan Menteri Sosial. Tapi KAM tak jelas berada di bawah siapa." Selang sehari, Gubernur Kalimantan Barat Pardjoko Surjokusumo mengeluarkan larangan yang sama. Tapi, sebelumnya, Polda Kalimantan Barat sudah menyodok KAM Pontianak dengan permintaan pembekuan rekening yayasan itu, yang dibuku kan atas nama Muhamad Sudrajat, pada Bank Buana. "Menurut undang-undang, pihak yang berwajib boleh saja minta pembekuan sebuah rekening demi kepentingan hukum," kata Wympi, Kepala Cabang Bank Buana, Pontianak, yang menolak menyebut jumlah uang yang dibekukan. Menurut sebuah sumber TEMPO, rekening atas Muhamad Sudrajat, Ketua Cabang KAM Pontianak, berjumlah Rp 118 juta. Akibat pembekuan itu, Ongkowidjaja terpaksa mengirimkan uang kontan dari Jakarta untuk membayar 48 paket yang dibagikan KAM Pontianak pada 12 Februari. Sekalipun larangan sudah dikeluarkan, menurut pemantauan TEMPO, di beberapa daerah kegiatan KAM masih saja berlangsung. Di Cirebon, misalnya, KAM memang tak lagi mengadakan kegiatan mencari pengikut ke desa-desa atau memasang reklame di radio, tapi, menurut Hari Sunandar, pengurus cabang setempat, secara pasif mereka masih menerima anggota. Sebab, banyak anggota yang sudah menyetorkan tabungan. "Bila Bupati mau menanggung mereka, kami bersedia dilarang," kata Hari Sunandar. Sistem tabung-pinjam KAM sebenarnya semacam arisan berantai, yang membagi-bagikan dana tabungan sejumlah anggota sebagai paket kredit kepada anggota yang lain. Mereka yang jadi anggota diwajibkan menyetorkan uang pendaftaran Rp 50.000,00, dan kemudian menabung Rp 210.000,00, yang bisa dicicil tiap bulan Rp 30.000,00. Setelah melunasi tabungan, mereka sudah bisa menunggu giliran memperoleh kredit Rp 5 juta. Di kantor KAM, setiap hari bisa dilihat kapan kredit itu akan keluar- melalui kartu posisi angka - jika sudah menunjukkan angka 170, pertanda kredit akan segera keluar. Bagaimana sebuah nama bisa sampai pada angka 170 itu? Agak sulit untuk diketahui. Selain belum adanya kartu posisi angka di kantor-kantor perwakilan KAM, toh tak semua pegawainya tahu mengatur peringkat anggota. Tapi, Ongkowidjaja, dalam suatu pertemuan dengan para kepala perwakilannya, Minggu dua pekan lalu, telah menjanjikan akan mendrop tenaga dari kantor pusat guna mendidik tenaga perwakilan menyusun posisi angka. Sebuah sumber TEMPO mengungkapkan bahwa kenaikan posisi angka berkaitan dengan jumlah anggota yang masuk di belakang anggota pemilik posisi angka itu. Semakin banyak anggota baru semakin cepat angka melonjak. Tak heran bila setiap hari anggota KAM berdatangan ke kantor pusat, dengan hati berdebar melihat posisi angka mereka, yang diolah petugas pendataan dengan bantuan beberapa pesawat komputer. Ada yang menyebut posisi angka itu merupakan kartu truf bagi Ongkowidjaja. Paling tidak, sampai saat ini, dia mempunyai kelonggaran untuk memilih kapan seorang anggota diberi paket kredit yang tentunya disesuaikan dana yang tersedia. Apalagi, di antara penabung itu ada kelompok yang paket kreditnya sulit ditunda. Mereka itu adalah para penabung lunas (tak mencicil), yang, sebagaimana tertera pada brosur KAM, akan memperoleh paket empat bulan setelah pendaftaran. Kredit akan keluar lebih cepat, bila anggota penabung lunas membawa pula 26 anggota baru. Untuk mereka ini, tenggang waktu pencairan kredit sebesar Rp 5 juta itu cuma sebulan. Diperkirakan paket yang diberikan KAM kepada anggota "istimewa" itu tak lain dari uang setoran 26 penabung baru, yang jumlahnya lebih besar daripada kredit yang diberikan. Mengingat jumlah kredit yang diberikan jauh lebih besar dari tabungan yang disetorkan anggota, maka setiap ada anggota yang menerima paket semakin banyak saja anggota yang diperlukan untuk mengisi kas KAM. Akhirnya mau tidak mau KAM akan sampai pada suatu posisi yang sudah sulit ditolong. (Lihat Boks). Itulah yang tampaknya sudah dicium Menteri Keuangan Radius Prawiro, sehingga ia merasa perlu mengimbau masyarakat agar jangan terlibat KAM. Apalagi kegiatan tabungsimpan ini mirip praktek perbankan, yang memerlukan izin dari pemerintah. Bukankah KAM tak memungut bunga dari kredit-kredit itu? Marz- uki Usman, Direktur Lembaga Keuangan Departemen Keuangan, mengatakan, berbagai potongan yang dikenakan KAM ketika seorang menerima paket kredit pada hakikatnya adalah bunga juga. Sedangkan KAM menerima tabungan dari anggotanya tanpa bunga. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Kredit di sini, menurut pasal itu (ayat e), adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat disamakan, berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain, dan pihak peminjam berkewajiban melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang ditetapkan. Bila pemotongan-pemotongan yang dilaku kan bisa dikategorikan sebagai bunga, seperti yang dikatakan Marzuki Usman kegiatan KAM memang bisa dihitung sebagai bank. Apalagi potongan yang dikenakan pada penerima paket kredit cukup besar. Total sebesar Rp 350.000,00 yang terbagi untuk jasa yayasan Rp 250.000,00, asuransi jiwa Rp 50.000,00, dan akta notaris Rp 50.000,00. Di samping itu, KAM membebaskan pegawainya menerima sumbangan sukarela dari para penerima paket. Menurut seorang pegawai KAM, dalam setiap pembagian paket, tiap pegawai bisa menerima Rp 50.000,00 sampai Rp 80.000,00. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1967 itu sebenarnya juga mencantumkan ancaman bagi mereka yang melakukan praktek bank tanpa izin (pasal 38), yaitu berupa lima tahun penjara dan atau denda Rp 5 juta. Tapi, mengapa KAM masih bisa berjalan? "Sebaiknya tanyakan saja pada aparat keamanan," kata Menteri Radius. Kapolri Jenderal Pol. M. Sanoesi menyatakan kepada TEMPO bahwa soal itu masih dipelajari pemerintah. "Seandainya sekarang pengurus yayasan ditahan, siapa yang bertanggung jawab mengembalikan dana anggota yang sudah berjumlah sekitar Rp 17 milyar itu? Apakah Bank Indonesia sanggup menyediakan dana sebanyak itu sekaligus?" katanya. Agaknya oleh pemerintah tengah dicarikan formula yang tepat untuk menyelamatkan anggota yayasan yang sudah berskala besar itu. Belum diketahui rumusan formula itu, dan kapan akan dipergunakan. Tapi Sanoesi sudah mengatakan, "Pada saat perlu ditindak, kami akan menindaknya." Menurut catatan terakhir, KAM sudah beranggotakan 65.000 orang (konon lebih dari separuhnya di Jakarta) yang terserak di 10 cabang provinsi, sembilan cabang kota madya, dan sekitar 100 perwakilan. Dari jumlah itu baru sekitar 3.000 anggota yang sudah memperoleh paket pinjaman. Masih lebih dari 60.000 anggota - harap diingat 60% anggota adalah pegawai negeri dan pensiunan ABRI -- yang sudah menabung, tapi belum menerima paket. KAM, yang berdiri Juni 1987, mula-mula menjadi unit simpan pinjam Adil Makmur, yang tergabung dalam Koperasi Karyawan Harapan Godang Jakarta Timur berbadan hukum tahun 1983. Tapi unit simpan pinjam itu kemudian mencari anggota baru sendiri, dan tak lagi mengurusi anggota Koperasi Harapan Godang. Karena itu, September 1987, Kepala Kanwil Koperasi DKI Jakarta memperingatkan koperasi itu. Setelah itu, unit simpan pinjam yang dipimpin Ongkowidjaja tersebut memisahkan diri, dan berdiri sendiri dengan nama Koperasi Adil Makmur. Tapi permohonan izinnya ditolak, karena keanggotaan, daerah kerja, dan kegiatannya tak jelas. Lagi pula, tabung pinjam yang diperkenalkannya tak sesuai dengan prinsip-prinsip koperasi. Sebagai jalan keluar, Ongkowidjaja mendirikan Yayasan Keluarga Adil Makmur pada 16 November lalu, dan sekaligus menjadi ketua umum, dengan akta dari kantor Notaris Leonard Waworuntu. Pengurus lainnya, beberapa di antaranya pegawai KAM sekarang. Tapi, sebulan kemudian, akta yayasan itu diperbaiki Ongkowidjaja dengan memasukkan Iskandar Subandi, Kepala Rumah Tangga Bina Graha,sebagai penasihat dan pendiri yayasan. Ibnu Hardjanto, adik Ibu Tien Soeharto, yang dibisik-bisikkan sebagai pengurus KAM, ternyata tak tercantum sama sekali dalam akta notaris. KAM ternyata berkembang begitu cepat. Pada bulan pertama baru terdaftar 155 anggota, tapi pada bulan keenam, Desember 1987, jumlahnya sudah membengkak menjadi 18.604 orang. Sudah tentu diperlukan sistem manajemen yang canggih untuk mengelola organisasi yang besar mendadak itu. Pengangkatan perwakilan, yang semula dilakukan asal pilih, ternyata kemudian menimbulkan problem. Sampai sekarang sudah 11 perwaakilan yang diskors Ongkowidjaja, karena menyalahgunakan uang. Beberapa bulan lalu, Ongkowidjaja membentuk suatu tim pengawas, yang terdiri atas pensiunan ABRI, untuk memeriksa pembukuan perwakilan setiap hari. Ternyata, di antara pengawas itu ada pula yang ikut "main". "Sudah satu orang saya pecat," kata Ongkowidjaja. Akhirnya, Ongkowidjaja terpaksa bekerja ekstrakeras mengawasi KAM. Menurut pengakuannya, ia bekerja dari pagi sampai larut malam. "Tapi, nanti semuanya akan diperbaiki," katanya. Ia menambahkan bahwa suatu tim sedang menyiapkan konsep manajemen yang tepat bagi KAM. Dan, "Konsep itu akan dijalankan bulan depan." Selain menangani bermacam-macam kasus, Ongkowidjaja masih sempat memberi semangat kepada anggota KAM. Maka, ia merasa perlu sering turun ke lantai dasar kantornya untuk menemui anggota KAM yang berjubel. "Saya mesti sering tunjukkan wajah pada anggota, agar mereka tahu saya masih di sini, tidak ditangkap. Soalnya, saya sering diisukan sudah ditan- gkap," katanya. Semua yang menimpa KAM, menurut Ongkowidjaja, sudah diramalkannya dari semula, dan itu belum apa-apa. Ia meramal, "Sehabis Sidang Umum MPR nanti pukulan akan lebih berat." Amran Nasution, Diah Purnomowati (Jakarta), Toriq hadad (Surabaya), Djuaini K.S. (Pontianak)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus