Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kiai Wukir di Frankfurt LAB

19 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEUSAI pementasan Sisyphus, beberapa penonton di Frankfurt LAB mengerubungi instrumen musik berbentuk gaharu yang dipakai mengiringi Sisyphus. Mereka terlihat antusias. "Instrumen asli buatan Wukir, yang panjangnya 3,5 meter, kami tinggalkan di Studio Plesungan, Solo," kata Melati Suryodarmo. "Ini kami buat replikanya untuk dibawa ke Jerman."

Instrumennya memang unik. "Alat ini kami namai Kiai Wukir, seperti nama-nama gamelan di Keraton Yogya," ujar Ikbal S. Lubys, yang memainkan alat itu, seraya tertawa. "Kiai Wukir" mampu menghasilkan bunyi deram seperti suara musik elektronik murni.

Wukir Suryadi usianya kini 30-an. Sudah hampir sebulan ia tinggal di Museum der Weltkulturen Frankfurt. Rambutnya gondrong berantakan. Wajahnya selalu kusut kumal. Tapi lelaki asal Malang, Jawa Timur, ini mudah tertawa.

Sejak remaja, ia bergabung dengan Teater Ideot Malang. Sekolah menengah atasnya tak jelas, berkali-kali pindah, entah rampung entah tidak. Yang jelas, Wukir kemudian menggelandang ke Jakarta. Dia pernah tinggal di Bengkel Teater Depok, lalu sering terlihat ngamen di Bulungan. Dia bergaul dengan banyak pengamen Bulungan, termasuk Mbah Surip (almarhum).

Wukir kemudian pindah ke Yogyakarta. Di kota ini, talentanya mengotak-atik benda apa saja untuk menjadi sumber bunyi muncul. Ia kreatif menciptakan alat gesek dari bambu, yang raungannya tak kalah dengan distorsi gitaris metal. Ia mendirikan kelompok Senyawa, yang anggotanya cuma dua: vokalis Rully dan dia sendiri.

Kelompok ini sering diundang ke festival musik alternatif mancanegara. Bulan lalu, mereka manggung di Festival Cryptic di Glasgow, Skotlandia. Dari Glasgow, Wukir diminta melakukan residensi di Museum der Weltkulturen Frankfurt, yang letaknya di Jalan Schaumainkai, jalan deretan museum itu.

Pihak museum menyebut Wukir "experimental musician, sound researcher" dan "instrument builder". Mereka meminta Wukir membuat instrumen bunyi berdasarkan koleksi barang Indonesia yang mereka miliki.

Museum der Weltkulturen didirikan pada 1904. "Total koleksi kami 67 ribu barang. Berasal dari Amerika, Afrika, Oseania, dan Asia Tenggara. Khusus koleksi barang Asia Tenggara ada 11 ribu barang," kata Vanessa von Glieczgrki, kurator seksi Asia Tenggara. "Dari koleksi itu, benda dari Indonesia paling banyak. Ada 9.000 barang dari Indonesia." Menurut Vanessa, itu belum termasuk dari Papua. "Papua kami masukkan ke koleksi Oseania."

Barang-barang asal Indonesia itu dikumpulkan sejak awal abad ke-20 oleh etnolog, biolog, dan ornitolog Jerman yang melakukan penelitian ke Indonesia. "Ornitolog (ahli burung) Jerman bernama Ernst Prillwitz, misalnya, yang pada 1901 datang ke Jawa dan Sumatera, koleksinya dirawat di museum ini," ujar Vanessa.

Museum juga mewarisi barang-barang Indonesia dari koleksi seorang ilmuwan bernama Johannes Elbert. Dia datang ke Indonesia pada 1910. Elbert ingin membuktikan teori garis Wallace. Dia mengunjungi Pulau Buton dan Pulau Weta di Timor Utara. Ilmuwan lain yang koleksi Indonesianya banyak disimpan Museum der Weltkulturen adalah Erns Vatter. "Dia banyak mengumpulkan barang dari Adonara, Solor, Alor, Lembata, Pantar, dan kawasan Flores lain," kata Vanessa.

Ketika pertama kali tiba di Museum der Weltkulturen, Wukir diajak melihat koleksi dan memilih obyek yang menurut dia bisa dijadikan sumber bunyi. "Kami ingin memberi makna baru pada obyek-obyek itu," ujar Vanessa, yang juga etnomusikolog. "Kami ingin Wukir menciptakan instrumen berdasarkan obyek koleksi kami."

Wukir memilih topi Toraja, sisir dan sabuk dari Alor, serta alat tenun Pulau Seram. Ia membuat replikanya. "Topi Toraja saya buat dari logam kuningan," kata Wukir. Bentuknya seperti corong gramofon. Di bagian dalamnya ditancapkan sisir-sisir bambu. "Corong itu berfungsi sebagai resonator." Wukir juga membentangkan benang-benang tenun yang dihubungkan dengan amplifier. Bila dibetot, benang itu mengeluarkan bunyi dentam.

Instrumen ciptaan Wukir tidak mengeluarkan nada, tapi bunyi-bunyian yang distortif dan disonan. Namun bunyi-bunyian demikian banyak diperlukan untuk membangun suasana sebuah pementasan. Seminggu lalu, tatkala Jerman memperingati unifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur, sebuah gereja meminta Wukir membuat alat musik.

Mereka menyerahkan sebuah kayu kepadanya. Kayu itu bekas tapal batas Jerman Barat dan Jerman Timur. "Saya pesan kawat berduri pada kayu itu. Kawat itu saya hubungkan dengan ampli dan bila digesek mengeluarkan bunyi," ujar Wukir.

Di Museum der Weltkulturen, pada 17 Oktober, Wukir mementaskan alat-alat ciptaannya. Selain tampil di museum di Frankfurt, ia manggung di tempat lain. Begitu tahu Wukir datang, kelompok Contact Gonzo di Mousonturm segera mengajaknya berkolaborasi.

Kelompok asal Jepang yang pementasannya selalu berupa adegan perkelahian, saling menampar pipi, dan meninju perut ini dikenal Wukir ketika ia mentas di Jepang. Ternyata, di Mousonturm, segala jotos-jotosan itu cocok dengan raungan sayatan gesekan alatnya.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus