Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maria Rainer—diperankan Carmen Pretorius—tak pernah kehilangan akal. Untuk menggambarkan tinggi dan tangga nada, ia berdiri, jongkok, juga setengah jongkok. Tujuh anak di hadapannya disuruh berbaris menurut tinggi badan dan nadanya. Dari situ mengalirlah nada-nada lagu Do Re Mi yang dinyanyikan dalam film The Sound of Music. Tidak hanya bernyanyi, mereka juga mengelilingi panggung, melompat ke sofa, dan lain-lain.
Itulah panggung pertunjukan musikal yang merupakan imitasi film terkenal The Sound of Music. Jauh hari sebelum pertunjukan, adegan demi adegan, lagu-lagu yang dinyanyikan sudah mendekam dalam memori para penonton. Chacha, 16 tahun, seorang pelajar sekolah menengah di Jakarta, ikut bersenandung tatkala tokoh Maria di atas menyanyi Do Re Mi. Ia membandingkan suara Carmen Pretorius di hadapannya dengan Julie Andrews, pemeran Maria dalam film. "Ih, suaranya persis Julie Andrews," katanya.
Selasa malam, 13 Oktober 2015, tepuk tangan panjang menggema di Ciputra Artpreneur Theater. Lagu Climb Ev'ry Mountain dinyanyikan oleh Janelle Visagie—memerankan suster kepala di Nonnberg Abbey—ketika membujuk Maria tinggal di rumah keluarga Von Trapp. Vokal soprano Visagie ini memang layak mendapat tepuk tangan.
Hampir dua pekan, 6-18 Oktober 2015, David Ian, produser pertunjukan asal Inggris, memboyong timnya mementaskan The Sound of Music di Jakarta. Teater musikal ini mengusung cerita legendaris tentang keluarga Kapten Von Trapp, yang sukses diangkat ke layar lebar dan meraih Oscar pada 1965. Sebelumnya, kisah ini diangkat di panggung teater dan menyabet enam Tony Award pada 1959.
Banyak orang tua membawa serta anak-anaknya untuk menonton pertunjukan yang tergolong mahal ini. Tiket untuk kelas termurah seharga Rp 720-900 ribu selalu habis terjual.Pertunjukan ini memang sarat dengan nilai-nilai untuk keluarga, seperti disiplin, kepercayaan diri, semangat, kebersamaan, dan cinta kasih.
Kisah dibuka dengan adegan pujian dari para suster di Nonnberg Abbey beralih kepada Maria Rainer, yang suka menyanyi di pegunungan. Menyanyi dan berlari di rerumputan hijau Pegunungan Alpen adalah sebuah awal yang tak terlupakan dalam film yang dibintangi Julie Andrews ini.
Tentu saja, setting dan suasana panggung tak bisa menyamai setting film. Sementara keakraban anak-anak Kapten Von Trapp dan Maria digambarkan dengan bersepeda dan bernyanyi bersama di padang rumput, David Ian melukiskan keakraban Maria dan tujuh bersaudara itu dengan bernyanyi Do Re Mi di sofa atau My Favorite Things di tempat tidur. Maria menyanyikan My Favorite Things ketika mereka ketakutan saat hujan deras-geledek menyambar, ketika Liesl galau terhadap kekasihnya atau ketika mereka mendapati Maria sekembali dari Nonnberg Abbey.
Maria Rainer digambarkan sebagai gadis yang religius, penyayang anak-anak, suka menyanyi, lincah, energetik, lugu, sedikit nakal atau iseng, dan sering mengalami kesulitan karena ulahnya. Seperti digambarkan ketika dia mengagumi kain gorden yang panjang menjuntai dan hendak dipakai sebagai bahan roknya atau ketika dia iseng mengambil kue yang dihidangkan untuk Von Trapp (diperankan Mark Rayment). Sayang, kebengalan dan kenakalan ini kurang menohok—atau kurang tergarap—di atas panggung.
Lima puluh tahun sejak diciptakan, kini lagu-lagu dalam film itu menghiasi pertunjukan. Ada My Favorite Things, Do Re Mi, Climb Ev'ry Mountain, Edelweiss, The Lonely Goatherd, Sixteen Going on Seventeen,dan tentu saja lagu yang menjadi lagu utama, yakni The Sound of Music. Lagu itu tak hanya sekali dinyanyikan, tapi juga muncul pada beberapa adegan.Lagu-lagu ini dinyanyikan dengan iringan orkestra yang mantap. "Ada dua lagu yang tidak ada di film yang dibintangi Julie Andrews," ujar David Ian.
Pertunjukan ini juga memamerkan kehebatan tata panggung modern. Adegan demi adegan dengan latar berbeda dan properti panggung dengan cepat berganti dalam hitungan detik dikendalikan komputer di bagian kanan panggung. Di bagian tengah panggung, agak ke depan dan belakang, terlihat semacam rel untuk properti yang digunakan, seperti sofa, bangku taman, tembok pembatas taman, meja tulis dan kursi kepala suster, gunung, serta tangga. Layar atau latar berupa pintu dan dinding gereja bernuansa Gotik, rumah megah keluarga Von Trapp, atau latar Pegunungan Alpen setinggi lima meter terpasang di rel di bagian atas panggung.
Para pemain juga terlatih bergerak cepat untuk mengganti kostum dalam hitungan detik. Seperti saat adegan Maria dan Kapten Von Trapp bersatu lalu menikah.Manajer teknis panggung, Guy Ongley, mengatakan Carmen Pretorius mengganti kostum baju pernikahan hanya dalam waktu 20 detik. Memang cepat sekali saat aktris asal Afrika Selatan ini berganti baju dan masuk pada adegan pernikahan.
Dalam durasi pertunjukan 2 jam 32 menit, termasuk istirahat 20 menit, ini, pertunjukan ini memang cukup mempesona. Tak salah jika David Ian menyetujui proposal Sorak Gemilang—promotor pertunjukan ini—mementaskan The Sound of Music di Jakarta karena cerita ini sudah terkenal. Dia juga meyakini kisah ini punya nilai yang tepat untuk keluarga Indonesia.
Tak salah juga jika Ian dan para penonton mengacu pada kepopuleran Sound of Music yang sukses di pentas teater di Palladium, London,selama tiga tahun, dan film layar lebar yang dibintangi Julie Andrews pada 1965. Kisah ini juga telah difilmkan sejak 1956 dengan judul Die Trapp-Familie, yang dibintangi Ruth Leuwerik. Nama dan urutan anak-anak pun berbeda.Film ini cukup sukses meski tak seheboh yang dibuat kemudian.
Dari situs archive.gov disebutkan sebenarnya kisah keluarga Von Trapp ini tak seperti digambarkan dalam film yang dibintangi Andrews. Keluarga ini pindah ke Amerika Serikat berkat menyanyi. Mereka tidak mendaki pegunungan saat melarikan diri seusai kompetisi menyanyi, seperti digambarkan di akhir pentas. Keluarga ini akhirnya tinggal dan menjadi warga Amerika Serikat dan catatannya ditemukan di Arsip Nasional dan Pencatatan Administrasi. Maria sebenarnya juga tidak langsung mengasuh tujuh anak, tapi hanya menjadi guru dari salah satu anak Von Trapp, yakni Maria kecil, baru menikah dengan Von Trapp.
Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo