Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah Gayek yang Gatal dan Novelis Oportunis

Sekali lagi, Woody Allen menyorot kehidupan keluarga Inggris. Seorang novelis yang bakatnya pas-pasan dan seorang gayek yang sedang gatal.

11 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YOU WILL MEET A TALL DARK STRANGER
Sutradara: Woody Allen
Skenario: Woody Allen
Pemain: Anthony Hopkins, Naomi Watts, Josh Brolin, Antonio Banderas, Gemma Jones, Freida Pinto

SETIAP kali dia memandang ke luar jendela, Roy (Josh Brolin) menyaksikan sebuah keindahan. Seorang perempuan keturunan India yang, setiap kali berganti baju, selalu memperlihatkan tubuh yang sintal dan mengirim aroma eksotisme. Tapi perempuan di seberang jendela itu hanya pengobat rindu Roy jika dia sedang macet dengan novelnya. Acara memandang ke luar jendela itu selalu dilakukan jika istrinya, Sally (Naomi Watts), sibuk bekerja atau mengurus ibunya, Helena, yang tengah patah hati karena ditinggal ayahnya yang sudah gayek.

Pada usianya yang sudah senja, Alfie (Anthony Hopkins), ayah Sally, tiba-tiba saja memutuskan lahir kembali. Sang gayek memutuskan meninggalkan istrinya, Helena (Gemma Jones), yang sudah dikawininya lebih dari 30 tahun dan menghasilkan Sally. Agar sang ibu tidak putus asa dan bunuh diri, Sally menjejali ibunya dengan saran nonsens: beranjangsana ke peramal dan bermain dengan nasib masa depan. Dan kalimat seperti ”you will meet a tall dark stranger” tentu saja menjadi kalimat sakti bagi perempuan senja yang ditinggalkan lelaki gayek sialan.

Inilah cara Woody Allen membuka kisahnya. Kali ini, ia memilih London masa kini sebagai setting, warga kelas menengah atas yang ingin kebahagiaan dan kesuksesan, meski dengan cara yang irasional dan menggelikan. Karena Woody Allen yang sudah berusia 76 tahun kini jarang berada di depan kamera seperti film-filmnya di masa lalu, kita tak lagi melihat sosok lelaki paruh baya yang senewen dan nyerocos tak putus-putusnya sebagaimana karakter yang lazim dia tampilkan. Kini sosok yang rada senewen dan irasional tapi tetap menjadi kesayangan diwujudkan melalui Nenek Helena, yang dalam plot adalah korban kedunguan suaminya. Alfie, penderita puber kedua yang terlambat, mendadak mengawini seorang perempuan muda yang ukuran buah dadanya luar biasa membusung dan jauh lebih tertarik pada deposito Alfie. Ini memang terdengar klise. Apa boleh buat, memang demikianlah gaya para gayek kaya raya.

Tentu saja ini bukan pertama kalinya Woody Allen absen di layar, dan hanya beraksi di balik kamera. Dan juga bukan pertama kali dia menyorot problem kelas atas Inggris. Film Match Point dan Scoop mengangkat gaya hidup kelas atas Inggris, lengkap dengan humor dan kematian. Tapi, sementara kedua film sebelumnya membiarkan karakternya berkembang sesuai cerita, dalam film ini tokoh-tokohnya berubah lebih karena Woody Allen memaksakannya. Kita tak diberi ruang dan kesempatan untuk memahami kedalaman karakter gayek Alfie yang tahu-tahu sudah bosan dengan istrinya dan secara impulsif mengawini seorang pelacur; sementara di dalam film Hannah and Her Sisters, kita mengikuti perjalanan jiwa tokoh Michael Caine yang jatuh cinta pada adik iparnya sendiri. Woody Allen biasanya akan ”menghukum” tokoh-tokohnya yang bertingkah laku seenaknya, yang memanjakan impulsnya seperti dalam film Husbands and Wives.

Karena itu, kita tahu bahwa tokoh seperti Roy yang meninggalkan istrinya dan mencuri karya temannya sesama novelis suatu hari akan menerima hukuman dari semesta. Tak perlu polisi, tak perlu pengadilan. Segala sesuatu yang palsu akan segera terungkap. Kita juga tahu hubungan Alfie dengan istri baru yang cuma tertarik pada duit itu akan mudah berakhir, dan Alfie akan merengek kembali kepada zona nyaman yang dikenalnya: sang istri.

Meski para penggemar setia Woody Allen sudah paham plot ala Woody Allen, kita tetap ingin menyaksikan karyanya, karena Allen mempunyai kekuatan luar biasa: dialog yang berisi yang cerdas dan lucu. Sayangnya, dalam film ini, rangkaian dialognya tak setajam film-film sebelumnya.

Dan sebagai penggemar karya Woody Allen, tentu saya berharap film Midnight in Paris yang akan ditayangkan di Festival Film Cannes akan lebih menarik.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus