Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Yang Terbuang dan Tak Bisa Pulang

Film Eksil karya Lola Amaria menyajikan sudut pandang lain terhadap peristiwa 1965 dan hantu PKI.

4 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sutradara Film Dokumenter Eksil, Lola Amaria (kiri) dalam pembuatan film Eksil. Dok. Lola Amaria Production

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sutradara dan produser Lola Amaria merilis film dokumenter berjudul Eksil.

  • Film ini bercerita tentang kehidupan para eksil di Eropa.

  • Film dokumenter Eksil mendapat respons positif dengan menjadi yang terbaik dalam Festival Film Indonesia dan Festival Film Dokumenter 2023. 

Musim dingin sejatinya sudah berlalu di Hrobce, sebuah kota kecil yang berjarak 44 kilometer dari Praha, ibu kota Republik Cek. Namun udara dingin masih saja terasa menusuk. Walhasil, Hartoni harus memakai jaket dan kupluk yang menutup kepala untuk melawan hawa dingin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia lantas berjalan, menengok kebun kecil di rumahnya. Hartoni memunguti buah-buah apel yang jatuh di atas rumput. Ia juga menengok tanaman mawar yang tampak menumbuhkan calon bunga baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Hasilnya tidak akan baik kalau (bunganya) muncul di suhu masih dingin seperti ini," kata Hartoni dalam adegan awal film dokumenter berjudul Eksil, di salah satu bioskop di Jakarta Selatan, Kamis, 1 Februari 2024.

Seketika adegan berganti. Giliran Asahan Aidit yang tampil. Ia memamerkan barang klasik berupa biola berdebu di kediamannya di Hoofddorp, di sisi utara Belanda. Asahan mengatakan biola itu milik anaknya. Ia pernah sekali menggesek dawai biola itu, tapi suara yang dihasilkan masih jauh dari kata indah.

"Biola ini sudah saya simpan di sini selama 30 tahun. Sudah rusak," ujar Asahan.

Adegan lagi-lagi melompat ke kediaman Sarmadji di Amsterdam, Belanda. Rumah milik pria Jawa tua itu tampak kacau-balau lantaran buku-buku dan dokumen kertas bertumpuk di rak buku hingga menyita beberapa sudut ruangan.

Sutradara film dokumenter Eksil, Lola Amaria (kiri), dalam pembuatan film Eksil. Dok. Lola Amaria Production

Sarmadji tampak bingung mempersilakan beberapa tamunya dari Indonesia untuk duduk. Ia juga memamerkan sejumlah koleksi buku favoritnya. Salah satu favoritnya adalah novel-novel karya pengarang kondang Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

"Belajar dari Pramoedya Ananta Toer, saya ingin menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan," tutur Sarmadji. 

Selain ketiga orang itu, masih ada Waruno Mahdi yang tinggal di Berlin, Jerman; dan Tom Iljas, pria Indonesia yang kini menetap di Swedia. Beberapa tokoh lain juga dikenalkan satu per satu dalam film berdurasi 119 menit itu. 

Mereka adalah para eksil. Merujuk pada bahasa Indonesia, eksil berasal dari kata bahasa Inggris exile, yang berarti terasing atau dipaksa meninggalkan kampung halaman/rumahnya. Ya, mereka adalah orang-orang yang dibuang oleh pemerintah Orde Baru pasca-peristiwa 1965. 

Saat peristiwa pilu itu terjadi, mereka adalah mahasiswa Indonesia yang dikirim untuk belajar di berbagai universitas di Uni Soviet dan Cina. Karena dianggap sebagai orang kiri, perwakilan pemerintah Indonesia memutuskan tidak memperpanjang paspor alias membuang mereka di luar negeri.

Lola Amaria, sebagai penulis cerita, sutradara, sekaligus produser, mengupas identitas para eksil dengan ciamik. Dari hal remeh-temeh, Lola memperkenalkan pria-pria sepuh itu. Perlahan, sutradara 46 tahun itu menguliti satu per satu masa lalu mereka.

Seperti Hartoni, ia masih ingat, saat peristiwa 1965, umurnya masih 22 tahun. Ia terombang-ambing tanpa kejelasan di negeri perantauan hingga akhirnya angin dan nasib membawanya menetap di Republik Cek.

Ada juga cerita Tom Iljas yang sempat kebingungan saat peristiwa 1965 terjadi di Indonesia. Saat itu ia masih di Cina sebagai salah satu mahasiswa yang dikirim negara. Karena tak ada kepastian, Tom yang membawa serta istri dan tiga anaknya menutup peluang pulang ke Indonesia. Ia khawatir keselamatan dirinya dan keluarga sirna jika tetap ngotot pulang ke Indonesia.

"Akhirnya saya memilih Swedia, negara yang netral dan menjunjung tinggi kebebasan," kata Tom dalam film Eksil.

Selain membahas kehidupan Tom dan kawan-kawan, film Eksil memberikan penjelasan tentang Partai Komunis Indonesia yang hingga kini menjadi hantu menakutkan di Tanah Air. Para eksil juga diberi kesempatan menjawab apa yang mereka ketahui tentang PKI.

Cerita menarik muncul dari Asahan Aidit, adik bungsu D.N. Aidit. Ia bercerita tentang PKI dan kakaknya. Di mata Asahan, Aidit adalah kakak yang rajin dan tegas. Asahan masih ingat, sebelum berangkat ke Moskow, ia pernah aktif untuk PKI.

Saat itulah sang kakak sering memberikan motivasi untuk bekerja dengan baik, mengingat dana partai yang digunakan berasal dari kelompok petani dan buruh. "Saya masih di Moskow saat ada kabar Aidit sudah dibunuh," ujar Asahan. 

Meski hidup terpisah, para eksil itu masih punya keinginan yang sama, yakni pulang ke pangkuan Ibu Pertiwi. Pulang dalam arti sesungguhnya: diakui sebagai warga negara Indonesia lagi, bukan sekadar berkunjung ke Indonesia.

Maklum, sebagian dari narasumber Eksil terpaksa memiliki kewarganegaraan baru. Mereka hanya mengincar paspor agar bisa digunakan untuk berkunjung ke Indonesia setelah rezim Orde Baru Soeharto tumbang.

Sayangnya, enam dari 10 narasumber yang diwawancarai Lola Amaria pada 2015 sudah meninggal. Perasaan hampa dan getir terasa sangat jelas ketika Lola, yang juga bertugas sebagai narator dalam film ini, menceritakan wafatnya keenam eksil tersebut. 

Salah satu penonton Eksil, Ali Hidayat, mengaku sempat meneteskan air mata. Ia merasa sedih dan terharu melihat fakta bahwa para eksil itu terbuang sekian lama hingga tutup usia. 

"Tidak terbayangkan betapa hancurnya terpisah dari keluarga hingga menutup mata," ujar pria 38 tahun itu kepada Tempo

Adapun penonton lain, Siska Ardati, memberikan pujian untuk Eksil. Menurut Siska, film ini mampu memberikan sudut pandang baru, khususnya untuk anak muda, tentang isu PKI dan peristiwa 1965.

Dibalik layar pembuatan film Eksil. Dok. Lola Amaria Production

Menurut Siska, selama ini informasi tentang isu PKI dan peristiwa kelam 1965 berasal dari satu pihak, yakni pemerintah. Beruntung masih ada aktivis hak asasi manusia serta media yang berani menyuarakan cerita kebenaran dari isu dan peristiwa tersebut.

"Sekarang film ini memberikan fakta baru dari sisi korban. Orang yang benar-benar merasakan kejadian itu. Cerita mereka lebih kuat untuk dipercaya," ujarnya.

Sutradara Lola mengatakan ia dan timnya sejak awal berfokus menceritakan sisi kemanusiaan kisah para eksil. Menurut perempuan 46 tahun itu, tak ada sedikit pun agenda atau isu politik yang ditonjolkan film Eksil. "Biar tokohnya saja yang bercerita tentang politik."

Selain membawa cerita para tokoh, Lola memasukkan empat peristiwa penting dalam film Eksil, yakni kejadian 1965, Revolusi Kebudayaan Cina 1966-1976, perestroika, serta reformasi 1998.

Selain itu, Lola memasukkan beberapa adegan ilustrasi berwujud gambar dua dimensi yang bergerak untuk memvisualisasi cerita para eksil beserta kekacauan yang terjadi saat itu. Menurut dia, penggunaan animasi dan ilustrasi itu sebagai langkah mendekati pasar anak muda. "Animasi ini supaya penonton enggak bosan karena isinya kebanyakan wawancara," katanya.

Lola pun berharap filmnya ditonton masyarakat dari berbagai kalangan. Terlebih untuk generasi muda yang sangat minim informasi tentang peristiwa 1965 dan PKI. 

"Ada satu generasi yang sengaja dibuat enggak tahu apa itu peristiwa 1965. Mereka seperti dibikin bodo amat atau apatis hingga enggak peduli pada sejarah," ujarnya.

Film dokumenter Eksil sudah tayang di bioskop di Jakarta, Medan, Surabaya, Bekasi, Tangerang, dan Yogyakarta sejak 1 Februari 2024. Film ini juga mendapat respons positif berupa penghargaan, dari film dokumenter panjang terbaik Festival Film Indonesia dan Festival Film Dokumenter 2023.

INDRA WIJAYA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus