Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIALOG di kamar rias aktor itu tiba-tiba terhenti. Mohamad Sunjaya seperti kehilangan kata-kata. Wajahnya memucat. ”Sebentar, saya sesak, saya sesak,” katanya, suaranya tercekik. Sutradara Wawan Sofwan terkesiap. Gesture Sunjaya itu tidak ada dalam naskah. Spontan, Wawan langsung menghentikan adegan.
Buru-buru seorang awak menyodorkan sebuah tabung oksigen mini. Setelah menghirupnya, Sunjaya segera pulih. Kondisi kesehatan Sunjaya yang bisa tiba-tiba melorot membuat Wawan ketar-ketir setiap latihan. ”Peristiwa oksigen” itu misalnya terjadi sewaktu latihan terakhir, satu jam menjelang pementasan. ”Kami sudah siap menghadapi keadaan darurat apa pun yang akan menimpa Pak Yoyon (panggilan akrab Mohamad Sunjaya),” katanya.
Dari akhir April hingga awal Mei lalu, Sunjaya terpaksa dirawat di Rumah Sakit Borromeus Bandung. Dia divonis dokter menderita penyakit jantung dan dilarang bekerja terlalu berat. Tapi, dasar nekat, Sunjaya tetap bermain drama 14 babak Kehidupan di Teater itu.
Mohamad Sunjaya lahir di Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung, 28 Agustus 1937. Ia anak ketujuh pasangan almarhum Memet Bratasuganda dan Nyi Mas Alniyah. Sementara kakaknya mendiang Yogie S. Memet berkecimpung dalam dunia politik dan sempat menjadi Gubernur Jawa Barat serta Menteri Dalam Negeri, jalan hidup Sunjaya begitu berbeda .”Saya ini sebenarnya cenderung terpeleset ke dunia drama.”
Lelaki kerempeng ini ingat, pertama kali bermain drama pada 1955 tatkala masih SMA. Saat itu dia bermain dalam lakon Di Langit Ada Bintang karya Utuy Tatang Sontani, disutradarai Noor Asmara. ”Noor waktu itu minta saya berperan sebagai seorang gelandangan.” Tiga tahun kemudian ia ikut mendirikan Studiklub Teater Bandung (STB) bersama Suyatna Anirun, Jim Adhilimas, Sri Kartini, dan kawan-kawan.
Seperti ditulisnya sendiri dalam sebuah memoar untuk buku terbitan STB Teater untuk Dilakoni (1993), ia terlibat dalam berbagai pementasan drama (produksi STB) baik sebagai aktor maupun ”organisator”. Setelah bermain dalam Karto Loewak naskah terjemahan karya Ben Johnson pada 1973, ia sempat istirahat dari dunia teater dan bekerja penuh sebagai penyiar dan programer di Radio Mara, Bandung. ”Sejak 1971 saya menjadi pembawa program musik klasik, jazz, selected music, dan komentar sosial,” katanya.
Pada 1979 hingga 1991 Yoyon bahkan sempat menjabat Pemimpin Redaksi Pusat Pemberitaan Radio pada Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Cabang Jawa Barat, yang berkantor di Radio Mara. ”Pada 1991 saya keluar dari PRSSNI setelah dianggap membangkang pemerintah karena menyiarkan berita tentang demo mahasiswa anti-SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) di Bandung,” katanya.
Pada 1993 ia kembali ke STB. Saat itu dia diminta Suyatna Anirun (almarhum) ”membantu” dan menjadi aktor dalam pementasan drama Karina Adinda karya Victor Ido alias Hans van de Wall. ”Sejak saat itu saya boleh dibilang back to basic,” katanya. Selama periode come back-nya itu, ia juga terlibat dalam produksi pementasan STB lainnya seperti Julius Caesar karya Shakespeare pada 1997.
Pada 1999 dia memilih aktif di Actors Unlimited (AUL) hingga kini. AUL adalah kelompok teater yang didirikannya bersama Wawan Sofwan, Diana G. Lekasanawati, I.G.N. Arya Sanjaya, Sonny Sung, dan Fathul A. Husein, di Bandung. Yoyon bermain dalam semua produksinya, dari Anarkis itu Mati Kebetulan karya Dario Fo (1999) sampai Keadilan karya Albert Camus (2006).
Meski sudah puluhan tahun hidup di dunia drama, ia mengaku tidak tertarik menjadi sutradara. ”Sejak 1955 sampai sekarang saya tidak pernah menyutradarai. Saya memang cuma merasa perlu jadi aktor,” katanya. Alasannya, seperti dalam dunia musik klasik, tidak semua soloist berambisi jadi konduktor. ”Banyak soloist yang seumur hidupnya eksis hanya sebagai pemain,” katanya.
Kini ia telah 70 tahun. Ia tetap melajang. Dan ia tetap tak ingin pensiun bermain drama. ”Saya ingin memainkan ulang peran-peran yang pernah saya mainkan,” katanya. Ada dua lakon yang ingin dia mainkan amat sangat: Kursi-Kursi karya Eugene Ionesco dan The Unexpected Man karya Yasmina Reza.
Pada awal Mei lalu, keluar dari rumah sakit, dan mulai aktif latihan lagi, ia mengirim pesan pendek kepada seorang sahabatnya, Tri Irwanda, mantan penyiar Radio Mara. ”Dua jam penuh saya akan main, bila saya mati nanti, dengan izin Allah, saya harus mati saat main drama!”
Erick Priberkah Hardi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo