Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah Tiga Saudara Berabad Silam

Film kolosal yang menampilkan latar belakang pemberontakan Taiping pada dinasti Qing di Cina abad ke-19.

7 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The Warlords Sutradara: Peter Chan Pemain: Jet Li, Andy Lau, Takeshi Kaneshiro

”Kudengar di sana ada seorang bernama Yesus, yang bisa memberikan makanan 5.000 orang lebih….”

Di tengah dingin beku, dengan wajah kotor belepotan salju, seorang tentara yang dibawa Jenderal Pang Xing Yun bergumam demikian. Ia menggigil. Di depannya tampak pintu gerbang Kota Suzhou. Mereka memperkirakan para pemberontak Taiping yang menguasai kota itu bertenaga penuh. Padahal para pemberontak juga kelaparan.

Film kolosal garapan sutradara Peter Chan ini mengambil latar belakang pemberontakan Taiping melawan dinasti Qing sekitar tahun 1860-an. Kaum Taiping menganggap dinasti Qing yang dipimpin oleh keturunan Manchu sebagai dinasti korup. Kaum Taiping melancarkan perang saudara.

Film dimulai dari Jendral Pang Xing Yun (Jet Li), yang selamat dari peperangan kemudian bergabung dengan bandit pegunungan yang memiliki pemimpin karismatik Zhao Erhu (Andi Lau) dan Jiang Wu Yang (Takeshi Kaneshiro). Bandit-bandit desa yang kasar itu (wajah Andi Lau dan Takeshi digambarkan berjenggot) menguasai perbukitan terjal, merampok makanan milik pasukan kerajaan yang lewat di celah-celah tebing. Nun dari atas sana, mereka menebarkan jala dan memanah.

Film ini bertolak dari kisah nyata. Sutradara ”menjual” tiga aktor Jet Li, Andi Lau, dan Takeshi menjadi tiga serangkai yang dikenal sebagai pangeran Cina yang ganteng dan menjanjikan peran seni. Kedua bandit mengikat hubungan tali darah dengan Pang Xing Yun. Demi menyelamatkan desa dari kelaparan, Pang mengajak para bandit bergabung dengan resimen pemerintah Qing (setelah jadi pasukan pemerintah, film baru menampilkan wajah bersih Andi Lau dan Takeshi).

Jenderal Pang memimpin mereka mengambil alih Suzhou dan Nanjing, kota yang dikuasai pemberontak. Dari sini kita menyadari, film ini tak menyajikan perkelahian full contact layaknya film silat Jet Li, tapi sebuah drama yang melukiskan ambisi para bandit dan juga penguasa dinasti Qing.

Peter Chan memilih set pada saat musim salju. Namun kameranya tak menampilkan panorama indah atau lanskap putih. Tak ada adegan perang yang ditata dengan koreografi dan bloking elok seperti Hero atau House of The Flying Daggers karya Zhang Yimou. Semua adegan perang memiliki satu kata: brutal.

Jet Li diperlihatkan sebagai sosok yang tegas. Ia menghukum bunuh anggota pasukannya yang memperkosa. Ketika Zhao Erhu memasuki Kota Suzhou, dan ia mampu membuat pemimpin lawan menyerah dengan syarat ia memberi makan 4.000 pasukan Taiping. Itu ditolak Jenderal Pang. Dengan alasan makanan yang tak cukup bila dibagi, Jenderal Pang tega membantai resimen lawan yang menyerah.

Nanjing kemudian bisa direbut. Adegan Nanjing jatuh hanya diperlihatkan sekilas. Selanjutnya plot mengarah ke bagaimana penguasa Qing berusaha mempertajam ketegangan antara Jenderal Pan dan Zhao Erhu.

Percintaan dan persetubuhan juga tak dilukiskan dengan romantis, meski tetap menarik. Misalnya hubungan gelap antara Lian, istri Zhao Erhu (diperankan Xu Jing Lei) dan Jenderal Pang. ”Aku akan mengawinimu bila aku selamat,” kata Pang ketika hendak menggempur Suzhou. Kemudian ada adegan Jiang Wu Yang menangkap basah saudara tuanya itu membawa Lian dalam sebuah perahu. Cinta itu yang membuat sang jenderal membunuh Zhao Erhu.

Yang tidak dijelaskan secara gamblang dalam film adalah bahwa para pemberontak Taiping sesungguhnya penganut Katolik. Penonton menjadi tak mafhum mengapa para prajurit tiba-tiba menduga bahwa kaum pemberontak akan mendapat makan dari Kristus. Penonton juga tak paham mengapa berkali-kali kamera mengarahkan secara close up kalung salib hasil rampasan yang diberikan Lian untuk Zhao Erhu, suaminya.

Dalam sejarah, pemimpin pemberontakan Taiping tersebutlah penganut Katolik bernama Hong Xiuquan. Ia mendirikan pemerintahan teokratik di Nanjing. Untuk tata pemerintahannya ia tak bertolak dari aturan kitab-kitab klasik Konfusius, tapi dari kitab Injil. Ia melarang alkohol dan prostitusi. Betapapun demikian, oleh kalangan misionaris, Katolik yang dianutnya dianggap menyimpang karena Hong Xiuquan mengaku sebagai saudara muda Yesus dan ia memiliki tafsir sendiri tentang trinitas.

Film ini diakhiri dengan adegan perkelahian antara Jiang Wu Yang dan Pang. Ketika sang jenderal ditahbiskan menjadi gubernur, melangkah ke singgasana, ia dihadang Wu Yang. Film ini menggambarkan sebuah masa di Cina antara 1850 dan 1864, sebuah kurun yang ditaksir menimbulkan korban tewas sebanyak korban Perang Dunia II.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus