Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menimbang-nimbang kritik

Seminar kritik tari 20-22 oktober 1977 merumuskan bahwa kritik tari harus disampaikan oleh yang berpengetahuan tari yang luas dan dalam dengan kata-kata yang jelas.

7 April 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONON ada kritik yang disampaikan secara pasif. Tidak langsung diungkapkan dengan kata-kata kepada yang dikritik. Seorang Jawa tulen (seperti digambarkan Edi Sedyawati, tokoh tari dan Ketua Akademi Tari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta), jika menonton sebuah pertunjukan yang tidak berkenan di hati, cukup bereaksi dengan 'tidak mengacuhkannya! Membiarkan pertunjukan berjalan tanpa memperhatikannya, selanjutnya mengisi waktu dengan makan minum atau berbicara dengan kawan di dekatnya. Di Bali juga. Untuk menonton seorang penari yang baik, mereka tak segan berjalan 5-10 Km. Tetapi terhadap pertunjukan yang tidak memikat, satu demi satu penonton akan meninggalkan tempat. KritiK atau "pesan" halus semacam ini lazim terdapat di negeri kita, dan dapat digolongkan sebagai "kritik y mg disampaikan tidak dengan kata-kata." Ini adalah sebagian masalah yang dibahas dalam Seminar Kritik Tari, diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta di Akademi Tari LPKJ akhir Oktober kemarin. Enam pembicara dari ASTI Yogya, Bali dan Bandung ditambah dari LPKJ, dibantu oleh sekitar 30 peserta dari kalangan tari dan pers -- memang berusaha menyidik masalah kritik dan tradisi kritik ini sepanjang ada. Namun yang paling penting tentunya kritik tertulis. Mengingat jangkauannya yang luas, kritik lewat pers ini memang ada diinginkan oleh para diskusiwan untuk bisa "lebih membantu mengembangkan dunia tari," istilahnya. Sebab memang ada kritik yang, menurut Sardono, "bisa menimbulkan distorsi." Untuk itu, yang diharapkan ialah bagaimana agar sebuah kritik benar-benar bisa 'dipercaya',.alias berwibawa. Lantaran kritik konan berasal dari bahasa Yunani kntikos, yang artinya'mampu berdiskusi', maka seorang kritikus tentunya harus benar-benar mampu membahas, dan tidak sekedar melontarkan baik-buruk. Dengan kata lain, argumentasinybisa dipegang. Tak heran bila beberapa pembicara kemudian mengajukan semacam syaratsyarat. Soedarsono dari Yogya misalnya, yang menyatakan 'itidak sembarang orang bisa menjadi kritikus tari yang baik," mensyaratkan perlengkapan disiplin pengetahuan tari iyang kuat di samping kepekaan persepsi dan impresi. Ny. Benny dalam pada itu memaparkan 17 hal yang menurutnya merupakan syarat sebuah kritik yang baik. Seminar itu sendiri bahkan merumuskan bahwa: secara ideal, kritik tari haruslah disampaikan oleh seseorang yang punya latar belakang pengetahuan tari yang luas dan mendalam, serta kemampuan membuat evaluasi dengan kata-kata yang jelas. Adakah, atau banyakkah orang yang seperti itu? Tak soal. Sebab itulah yang ideal. Yang tidak ideal tentunya ada, dan juga diharap. Yakni "kritik yang praktis," yang melihat kondisi. Ini misalnya, di samping, dari kalangan tari, juga dari kalangan pers seperti yang juga disebut-sebut dalam seminar. Untuk ini memang juga diharap si penulis punya kemampuan persepsi, punya kemampuan bahasa, dan beritikad baik. Intuisi Kesenimanan Ada pula diharap agar kritik juga merupakan usaha revitalisasi nilai-nilai dalam seni tradisi. Mengingat penulisan kritik akan memperkaya kepustakaan mengenai tari, dari pada gilirannya dapat dipakai menelusuri sejarah tari misalnya, maka memang diharap bahwa kritik tidak hanya bersibuk-sibuk membicarakan pertunjukan sebagai pertunjukan semata -- lepas dari kaitannya dengan masyarakatnya dan latar-belakang nilai-nilainya yang lebih fundamentil. Itu misalnya diharapkan Sardono. Semuanya penting. Yang terlewat untuk dianggap penting adalah tentunya sudut pandangan pers yang memuat kritik itu sendiri. Sudah harus diakui bahwa pers adakalanya membuka sehuah rubrik lebih dahulu sebelum benarbenar ada tenaga ahlinya. Ini khusus menyangkut rubrik kebudayaan dan cabang-cabangnya -- yang biasanya dianggap "mudah", atau sekedar tampak "tidak ketinggalan." Tetapi andai hal itu pun bisa dihindari, sesuatu yang agaknya tak difikirkan kalangan tari adalah idam-idaman sebagian orang pers. Bahwa sebuah karangan mesti 'enak dibaca' (selain bisa dipertanggungjawabkan dan singkat), tentulah lebih penting daripada sebuah kritik yang "ilmiah" dan insya Allah tidak akan dibaca orang. Barangkali dunia seni memang tidak bisa melulu mengandalkan pada pers. Artikel-artikel kritik yang lebih bersifat teknis, yang lebih merupakan "diskusi tinggi" antar para ahli, yang memenuhi sekian puluh syarat sekolahan, yang tidak lebih mengandalkan intuisi kesenimanan yang hidup dan jujur, selayaknya diterbitkan sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus