KONON ada kritik yang disampaikan secara pasif. Tidak langsung
diungkapkan dengan kata-kata kepada yang dikritik. Seorang Jawa
tulen (seperti digambarkan Edi Sedyawati, tokoh tari dan Ketua
Akademi Tari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta), jika menonton
sebuah pertunjukan yang tidak berkenan di hati, cukup bereaksi
dengan 'tidak mengacuhkannya! Membiarkan pertunjukan berjalan
tanpa memperhatikannya, selanjutnya mengisi waktu dengan makan
minum atau berbicara dengan kawan di dekatnya.
Di Bali juga. Untuk menonton seorang penari yang baik, mereka
tak segan berjalan 5-10 Km. Tetapi terhadap pertunjukan yang
tidak memikat, satu demi satu penonton akan meninggalkan tempat.
KritiK atau "pesan" halus semacam ini lazim terdapat di negeri
kita, dan dapat digolongkan sebagai "kritik y mg disampaikan
tidak dengan kata-kata."
Ini adalah sebagian masalah yang dibahas dalam Seminar Kritik
Tari, diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta di Akademi Tari
LPKJ akhir Oktober kemarin. Enam pembicara dari ASTI Yogya, Bali
dan Bandung ditambah dari LPKJ, dibantu oleh sekitar 30 peserta
dari kalangan tari dan pers -- memang berusaha menyidik masalah
kritik dan tradisi kritik ini sepanjang ada.
Namun yang paling penting tentunya kritik tertulis. Mengingat
jangkauannya yang luas, kritik lewat pers ini memang ada
diinginkan oleh para diskusiwan untuk bisa "lebih membantu
mengembangkan dunia tari," istilahnya. Sebab memang ada kritik
yang, menurut Sardono, "bisa menimbulkan distorsi."
Untuk itu, yang diharapkan ialah bagaimana agar sebuah kritik
benar-benar bisa 'dipercaya',.alias berwibawa. Lantaran kritik
konan berasal dari bahasa Yunani kntikos, yang artinya'mampu
berdiskusi', maka seorang kritikus tentunya harus benar-benar
mampu membahas, dan tidak sekedar melontarkan baik-buruk. Dengan
kata lain, argumentasinybisa dipegang.
Tak heran bila beberapa pembicara kemudian mengajukan semacam
syaratsyarat. Soedarsono dari Yogya misalnya, yang menyatakan
'itidak sembarang orang bisa menjadi kritikus tari yang baik,"
mensyaratkan perlengkapan disiplin pengetahuan tari iyang kuat
di samping kepekaan persepsi dan impresi. Ny. Benny dalam pada
itu memaparkan 17 hal yang menurutnya merupakan syarat sebuah
kritik yang baik. Seminar itu sendiri bahkan merumuskan bahwa:
secara ideal, kritik tari haruslah disampaikan oleh seseorang
yang punya latar belakang pengetahuan tari yang luas dan
mendalam, serta kemampuan membuat evaluasi dengan kata-kata yang
jelas. Adakah, atau banyakkah orang yang seperti itu?
Tak soal. Sebab itulah yang ideal. Yang tidak ideal tentunya
ada, dan juga diharap. Yakni "kritik yang praktis," yang melihat
kondisi. Ini misalnya, di samping, dari kalangan tari, juga dari
kalangan pers seperti yang juga disebut-sebut dalam seminar.
Untuk ini memang juga diharap si penulis punya kemampuan
persepsi, punya kemampuan bahasa, dan beritikad baik.
Intuisi Kesenimanan
Ada pula diharap agar kritik juga merupakan usaha revitalisasi
nilai-nilai dalam seni tradisi. Mengingat penulisan kritik akan
memperkaya kepustakaan mengenai tari, dari pada gilirannya dapat
dipakai menelusuri sejarah tari misalnya, maka memang diharap
bahwa kritik tidak hanya bersibuk-sibuk membicarakan pertunjukan
sebagai pertunjukan semata -- lepas dari kaitannya dengan
masyarakatnya dan latar-belakang nilai-nilainya yang lebih
fundamentil. Itu misalnya diharapkan Sardono.
Semuanya penting. Yang terlewat untuk dianggap penting adalah
tentunya sudut pandangan pers yang memuat kritik itu sendiri.
Sudah harus diakui bahwa pers adakalanya membuka sehuah rubrik
lebih dahulu sebelum benarbenar ada tenaga ahlinya. Ini khusus
menyangkut rubrik kebudayaan dan cabang-cabangnya -- yang
biasanya dianggap "mudah", atau sekedar tampak "tidak
ketinggalan."
Tetapi andai hal itu pun bisa dihindari, sesuatu yang agaknya
tak difikirkan kalangan tari adalah idam-idaman sebagian orang
pers. Bahwa sebuah karangan mesti 'enak dibaca' (selain bisa
dipertanggungjawabkan dan singkat), tentulah lebih penting
daripada sebuah kritik yang "ilmiah" dan insya Allah tidak akan
dibaca orang.
Barangkali dunia seni memang tidak bisa melulu mengandalkan pada
pers. Artikel-artikel kritik yang lebih bersifat teknis, yang
lebih merupakan "diskusi tinggi" antar para ahli, yang memenuhi
sekian puluh syarat sekolahan, yang tidak lebih mengandalkan
intuisi kesenimanan yang hidup dan jujur, selayaknya diterbitkan
sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini