Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seniman difabel netra Muhammad Haryanto mengkritik ketidakpedulian terhadap kelompok disabilitas.
Ia menyajikan lukisan yang bisa dinikmati penyandang tunanetra.
Sejumlah seniman lain ikut menjadi kolaborator pameran karyanya.
Sembilan pigura masih membingkai sembilan lukisan di dinding Indonesian Visual Art Archive (IVAA) di Yogyakarta, Rabu siang, 29 Juni 2022. Lukisan-lukisan dengan material kanvas dan spons itu seperti coretan abstrak dengan aneka warna. Membentuk pola lekukan, lingkaran, dan coretan. Sekilas seperti lukisan ayam, anjing, dan kerumunan orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbeda dari lukisan lainnya, permukaan lukisan itu diberi manik-manik dan paku-paku berwarna-warni yang membentuk titik-titik dengan posisi tertentu. "Ini adalah seni raba menggambar suara," kata Muhammad Haryanto, sang pelukis, penyandang difabel netra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manik-manik dan paku-paku warna-warni itu difungsikan sebagai huruf Braille yang menjelaskan judul lukisan. Begitu pun titik-titik timbul pada papan-papan kecil yang dipasang di samping lukisannya, yang menjelaskan keterangan lukisan. Ia memang membuka pintu lebar bagi penyandang difabel netra untuk menikmatinya dengan meraba huruf Braille.
Lukisan karya Muhammad Haryanto yang diberi istilah seni raba karena dilengkapi dengan huruf Braille pada permukaan lukisan. Pengunjung tuna netra dapat menikmati pameran dengan cara meraba lukisan sebagaimana dipamerkan di IVAA Yogyakarta, Rabu, 29 Juni 2022. TEMPO/PITO AGUSTIN RUDIANA
Karya-karya Nanang—demikian Muhammad Haryanto kerap disapa—itu dipamerkan dalam tajuk "Seni Raba Menggambar Suara" pada 15 Juni-15 Juli 2022. Tema-tema lukisan Nanang diambil dari pengalaman keseharian dan lingkungan sekitarnya. Umumnya mengkritik kebijakan dan perilaku manusia ataupun pemegang otoritas yang diskriminatif terhadap kelompok difabel.
Lukisannya yang berjudul Bahaya Tuna Rasa, misalnya. Warna cokelat hampir memenuhi seluruh permukaan kanvas berukuran 30 x 40 sentimeter. Ia memberi citraan warna kuning, putih, serta sedikit hijau dan merah. Karya itu terinspirasi oleh sikap nirempati dan ketidakpedulian terhadap penyandang difabel. Seperti fasilitas umum yang tak ramah bagi kelompok disabilitas hingga pameran seni rupa yang tak bisa dinikmati penyandang tunanetra. "Saya pernah meraba lukisan kapal pada kanvas. Tidak ada apa-apa di kanvas itu. Hanya rata," Nanang mengenang.
Karya berjudul Tuna Netra Tidak Bisa Rasis lain lagi. Pada kanvas berukuran 30 x 50 cm, Nanang membaginya menjadi dua bagian. Pada sisi kiri, dengan berlatar merah dan hijau, ada citraan seperti ayam di tengahnya. Sementara di sisi kanan, ia melukis citraan yang mirip seekor anjing. Lukisan itu merupakan ungkapan syukur atas kondisi fisiknya yang terlahir tunanetra sehingga ia tak bisa bersikap rasis, sebagaimana hal yang dilakukan orang non-tunanetra.
Nanang juga menggunakan media spons yang dibentuk tiga perempat lingkaran. Ia menggoreskan lingkaran-lingkaran berwarna-warni serupa kembang. Ada yang berwarna oranye bercampur putih, oranye-cokelat, biru-hitam, dan hijau-kuning. Berjudul Hati-hati Eksploitasi, ia terinspirasi oleh curhatan sesama penyandang difabel yang acap kali kartu tanda penduduknya dimanfaatkan untuk dukungan calon tertentu saat pemilu. Bahkan menjadi obyek seni tapi tidak dilatih menjadi seniman.
Lukisan karya Muhammad Haryanto. TEMPO/PITO AGUSTIN RUDIANA
Nanang membuat seni raba ini selama hampir setengah tahun. Bermula dari pertemuannya dengan perajin dan dalang wayang dari limbah, Ki Samidjan, tetangganya, pada Januari lalu. Nanang belajar membuat wayang kepadanya. Persoalannya, ia tak pernah punya imajinasi wayang itu semacam apa, apalagi warna-warnanya.
Ia lalu teringat saat berkomunikasi dengan teman non-tunanetra melalui ponsel pintar. Saat temannya mengetik huruf dan dikirim ke ponselnya, Nanang akan menerimanya dalam bentuk suara. Sebaliknya, saat ia mengirim suara, temannya akan menerima pesan itu dalam bentuk huruf. Ia mencontohkan, ketika berucap "telepon", pesan yang dikirim berupa tulisan "telepon". Apabila divisualisasi, hasilnya juga sama, yakni berupa gambar telepon.
"Artinya, aksara adalah gambar suara. Membunyikan aksara dan suara akan menghasilkan gambar atau pesan yang sama," kata Nanang, mengisahkan awal mula membuat sembilan lukisan tersebut.
Nanang pun melatih imajinasinya dalam menorehkan warna. Dia menggunakan warna-warna yang dihasilkan benda-benda alam yang punya karakteristik bau tertentu. Misalnya warna kuning dari kunyit, hijau dari daun jati, putih dari kapur sirih, merah dari buah naga, biru dari bunga telang, serta jingga dari kulit jeruk.
Dalam pameran itu, Nanang tak sendiri. Ia didampingi sejumlah seniman lain sebagai kolaborator, seperti Ki Samidjan dan anaknya, Kus Sri Antoro; Bu Kawit; dan Bodhi I.A. Ki Samidjan dan Kus menghadirkan karya seni rupa berupa lakon wayang. Lukisan Ki Samidjan diberi judul Jer Basuki Mawa Banten atau pembangunan membawa korban.
Koleksi wayang limbah buatan Ki Samidjan dan Muhammad Haryanto di Pameran Seni Raba Menggambar Suara di IVAA Yogyakarta, Rabu, 29 Juni 2022. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Lukisan itu menghadirkan sosok perempuan berdandan dengan aksesori wayang, yang menggambarkan Dewi Sri Pangreksa Boga alias Dewi Penjaga Pangan. Dia tertunduk sedih di antara dua lahan. Ada lahan perkebunan jagung yang rusak oleh celeng, tikus, dan hama lainnya. Satu lahan lainnya gundul digaruk buldoser. Ikan-ikan di sungai yang berada di antara kedua lahan itu mati mengambang.
"Dan lukisan-lukisan kami juga ramah difabel," kata Kus Antoro. Permukaan lukisan bapak-anak itu dilengkapi dengan titik-titik timbul. Selain itu, Ki Samidjan memajang beberapa karakter wayang limbahnya untuk dipamerkan.
PITO AGUSTIN RUDIANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo