MEMANG mengherankan, hujan masih saja suka turun. Apalagi pada
malam Minggu, di saat seorang pawang siap memohonnya agar suka
berdamai. Tapi untunglah malam Minggu 4 Juni yang lalu, setelah
membetot ibukota pada sore harinya, langit perlahan-lahan
menunjukkan harapan.
Di Teater Terbuka TIM, Jack Lesmana yang pernah bikin 'Jazz
Kemarau' pada September tahun lalu, muncul lagi. Kali ini pakai
tema 'Gairah 77'. Pembawa acara masih tetap Rudy Djamil yang
dulu. Hanya awak pentas banyak terdiri dari wajah-wajah muda.
Broery dan Rien Djamain masih setia. Juga Yopie Item, Buby Chen,
Indra Lesmana, dan Karim. Yang pantas dicatat adalah kedatangan
Bob Tutupoly, serta biduanita Zwesti Wirabuana yang memiliki
bakat besar.
Jack kali ini kelihatan kenes. Seluruh pemain mengenakan baju
komprang dengan berbagai warna dasar. Ada sulaman di dada dan
lengan serta juga punggung. Para biduanita juga berpakaian
rapih-rapih. Tampak ada persiapan yang cukup panjang, meskipun
hasilnya tak banyak. Sejak awal acara, terasa banyolan Rudy
kurang lancar. Kemudian Noor Bersaudara dilepaskan sebagai
bingkisan pertama. Trio cewek ini tidak istimewa: kwalitas
suara, keompakan atau penampilan kurang meyakinkan untuk membuka
hati penonton.
Lantas muncul Broery dengan aksinya yang sudah terkenal itu,
petantang-petenteng mengandalkan suaranya yang merdu. Kemudian
Rien Djamain: tetap loyo sebagaimana biasa. Lalu Bob yang sudah
mulai tua, yang lebih mengingatkan pada penyanyi-penyanyi klab
malam atau restoran. Hampir saja deretan acara malam itu tidak
memberi gairah kalau saja tidak muncul orang seperti Farid - itu
yang dikasih julukan Elton John Melayu - membawa sebuah lagu
blus yang bergaya. Dengan kepala yang botak, kacamata hitam, dia
menyanyikan Bye Bye Blues sambil memetik gitar. Sebetulnya tidak
ada yang pantas dipuji. Tapi keberaniannya, spontanitasnya,
memberi gairah malam itu. Tak heran kalau penonton banyak
bersimpati. Sayang dia hanya dapat bagian satu nomor.
Yopie Item juga hanya kebagian satu nomor instrumental - lagu
Tanjung Cina (Bing Slamet) yang digarap sebagai jazz rock.
"Kalau dahulu rock banyak diilhami jazz, maka jazz sekarang
banyak didasarkan pada rock", demikian kira-kira komentar Jack.
Maka mendeburlah gitar di tangan Yopie, anak muda yang termasuk
salah satu pemain gitar ulung kini di Indonesia. Ditambah
beberapa instrumentalia dari Buby yang benar-benar
memperlihatkan kemahirannya pada piano. Akhirnya, amat
meyakinkan penampilan Zwesti Wirabuana yang membawakan lagu
Peacefull Living Wanita ini mengenakan gaun hitam. Suaranya
liat, lantang dan penuh gairah. Barangkali dialah satu-satunya
yang pantas diberi pujian malam itu.
Widuri
Indra Lesmana tidak lagi mengherankan penonton. Tidak seperti
waktu ia muncul pertama kali dulu. Sekarang usianya sudah tambah
banyak, dan orang sudah berhenti heran mengapa anak kecil sudah
bisa main piano dalam pertunjukan profesional. Jack memang tetap
berusaha menonjolkannya, tetapi Zwesti Wirabuana tetap menjadi
ratu gairah malam itu. Agak mengherankan kenapa ia tidak banyak
diberi kesempatan.
Pada akhir acara, Bob dan Broery menyanyi bersama untuk lagu
Help Me Make It Through The Night. Bob tampak sedikit kewalahan.
Ia sendiri secara umum mengakui kelemahan-kelemahannya dalam
menyentuh jazz - meskipun jazz sudah lama juga dikenalnya. "Yah,
yang harus saya usahakan, berlatih terus supaya feeling-nya
masuk lagi", kata Bob yang baru saja mempersunting bekas None
Jakarta Yosi Nasution itu. Sebelumnya sempat juga dinyanyikan
lagu Widuri dalam jazz. Tak seromantis yang biasa terdengar dari
rekaman mungkin gara-gara tak ada latar belakang suara Lex's
Tiro yang mantap itu.
Jack berjanji dalam waktu-waktu mendatang terus akan lebih
mengutamakan lagu-lagu Indonesia. Tetapi lagu-lagu Barat juga
tetap diperlukan, karena antara lain tidak sedikit penonton
kulit putih yang hadir. Memang Jack sering dibanggakan akan
mampu bikin jazz berbahasa Melayu. Tapi jangan lupa tak banyak
orang sempat mendengarkan kata-kata lagu, kalau alat-alat
listrik sudah bersipongang. Apalagi lagu-lagu pribumi, yang
setelah kena jamah Jazz seringkali tidak manis lagi. Jazz masih
dalam taraf menggencarkan apresiasi saat ini. Tak heran kalau
Jack menggiring acara seakan-akan seorang guru dalam kelas
apresiasi.
Sekaranglah saat-saat yang berat buat Jack. Dia sudah berhasil
mengumpulkan penggemar. Orang sudah membeli karcis seharga Rp
1.500. Mereka juga tetap menonton sambil berlindung di bawah
payung sementara gerimis turun. Sebagian dari mereka akan tetap
menerima dengan senang saja, tapi sebagian lagi akan meminta
lebih. Barangkali ada baiknya, dalam satu tahun, ada 2 rombongan
jazz yang tampil untuk memberikan suasana kompetisi yang sehat.
Tapi kesulitannya, sebagaimana kata Bob. "Jazz di Indonesia
kurang komersiil. Belum diterima secara meluas. Tapi di luar
negeri pun begitu. Hanya beberapa orang saja yang menonjol -
sebutlah Herbie Hancook atau Miles Davis".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini