Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kurang gairah, jack

Pergelaran musik jazz bertema gairah 77 di teater terbuka tim bulan september, kurang apresiasi. awak pentas didukung wajah muda. jack lesmana, berusaha menciptakan masik jazz berlagu indonesia. (ms)

18 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMANG mengherankan, hujan masih saja suka turun. Apalagi pada malam Minggu, di saat seorang pawang siap memohonnya agar suka berdamai. Tapi untunglah malam Minggu 4 Juni yang lalu, setelah membetot ibukota pada sore harinya, langit perlahan-lahan menunjukkan harapan. Di Teater Terbuka TIM, Jack Lesmana yang pernah bikin 'Jazz Kemarau' pada September tahun lalu, muncul lagi. Kali ini pakai tema 'Gairah 77'. Pembawa acara masih tetap Rudy Djamil yang dulu. Hanya awak pentas banyak terdiri dari wajah-wajah muda. Broery dan Rien Djamain masih setia. Juga Yopie Item, Buby Chen, Indra Lesmana, dan Karim. Yang pantas dicatat adalah kedatangan Bob Tutupoly, serta biduanita Zwesti Wirabuana yang memiliki bakat besar. Jack kali ini kelihatan kenes. Seluruh pemain mengenakan baju komprang dengan berbagai warna dasar. Ada sulaman di dada dan lengan serta juga punggung. Para biduanita juga berpakaian rapih-rapih. Tampak ada persiapan yang cukup panjang, meskipun hasilnya tak banyak. Sejak awal acara, terasa banyolan Rudy kurang lancar. Kemudian Noor Bersaudara dilepaskan sebagai bingkisan pertama. Trio cewek ini tidak istimewa: kwalitas suara, keompakan atau penampilan kurang meyakinkan untuk membuka hati penonton. Lantas muncul Broery dengan aksinya yang sudah terkenal itu, petantang-petenteng mengandalkan suaranya yang merdu. Kemudian Rien Djamain: tetap loyo sebagaimana biasa. Lalu Bob yang sudah mulai tua, yang lebih mengingatkan pada penyanyi-penyanyi klab malam atau restoran. Hampir saja deretan acara malam itu tidak memberi gairah kalau saja tidak muncul orang seperti Farid - itu yang dikasih julukan Elton John Melayu - membawa sebuah lagu blus yang bergaya. Dengan kepala yang botak, kacamata hitam, dia menyanyikan Bye Bye Blues sambil memetik gitar. Sebetulnya tidak ada yang pantas dipuji. Tapi keberaniannya, spontanitasnya, memberi gairah malam itu. Tak heran kalau penonton banyak bersimpati. Sayang dia hanya dapat bagian satu nomor. Yopie Item juga hanya kebagian satu nomor instrumental - lagu Tanjung Cina (Bing Slamet) yang digarap sebagai jazz rock. "Kalau dahulu rock banyak diilhami jazz, maka jazz sekarang banyak didasarkan pada rock", demikian kira-kira komentar Jack. Maka mendeburlah gitar di tangan Yopie, anak muda yang termasuk salah satu pemain gitar ulung kini di Indonesia. Ditambah beberapa instrumentalia dari Buby yang benar-benar memperlihatkan kemahirannya pada piano. Akhirnya, amat meyakinkan penampilan Zwesti Wirabuana yang membawakan lagu Peacefull Living Wanita ini mengenakan gaun hitam. Suaranya liat, lantang dan penuh gairah. Barangkali dialah satu-satunya yang pantas diberi pujian malam itu. Widuri Indra Lesmana tidak lagi mengherankan penonton. Tidak seperti waktu ia muncul pertama kali dulu. Sekarang usianya sudah tambah banyak, dan orang sudah berhenti heran mengapa anak kecil sudah bisa main piano dalam pertunjukan profesional. Jack memang tetap berusaha menonjolkannya, tetapi Zwesti Wirabuana tetap menjadi ratu gairah malam itu. Agak mengherankan kenapa ia tidak banyak diberi kesempatan. Pada akhir acara, Bob dan Broery menyanyi bersama untuk lagu Help Me Make It Through The Night. Bob tampak sedikit kewalahan. Ia sendiri secara umum mengakui kelemahan-kelemahannya dalam menyentuh jazz - meskipun jazz sudah lama juga dikenalnya. "Yah, yang harus saya usahakan, berlatih terus supaya feeling-nya masuk lagi", kata Bob yang baru saja mempersunting bekas None Jakarta Yosi Nasution itu. Sebelumnya sempat juga dinyanyikan lagu Widuri dalam jazz. Tak seromantis yang biasa terdengar dari rekaman mungkin gara-gara tak ada latar belakang suara Lex's Tiro yang mantap itu. Jack berjanji dalam waktu-waktu mendatang terus akan lebih mengutamakan lagu-lagu Indonesia. Tetapi lagu-lagu Barat juga tetap diperlukan, karena antara lain tidak sedikit penonton kulit putih yang hadir. Memang Jack sering dibanggakan akan mampu bikin jazz berbahasa Melayu. Tapi jangan lupa tak banyak orang sempat mendengarkan kata-kata lagu, kalau alat-alat listrik sudah bersipongang. Apalagi lagu-lagu pribumi, yang setelah kena jamah Jazz seringkali tidak manis lagi. Jazz masih dalam taraf menggencarkan apresiasi saat ini. Tak heran kalau Jack menggiring acara seakan-akan seorang guru dalam kelas apresiasi. Sekaranglah saat-saat yang berat buat Jack. Dia sudah berhasil mengumpulkan penggemar. Orang sudah membeli karcis seharga Rp 1.500. Mereka juga tetap menonton sambil berlindung di bawah payung sementara gerimis turun. Sebagian dari mereka akan tetap menerima dengan senang saja, tapi sebagian lagi akan meminta lebih. Barangkali ada baiknya, dalam satu tahun, ada 2 rombongan jazz yang tampil untuk memberikan suasana kompetisi yang sehat. Tapi kesulitannya, sebagaimana kata Bob. "Jazz di Indonesia kurang komersiil. Belum diterima secara meluas. Tapi di luar negeri pun begitu. Hanya beberapa orang saja yang menonjol - sebutlah Herbie Hancook atau Miles Davis".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus