SEBAGAI kota, Yogya benar mati. Tapi sebagai gudang yang
menelurkan banyak seniman yang bekerja keras, ia hidup. 3 orang
pelukis yang bercokol di Yogya dan yang pernah mendapat Anugerah
Seni, muncul di Balai Senirupa Jakarta, 1 s/d 15 Juni. Ketiganya
memiliki kecenderungan berbeda-beda.
"Pameran ini mengetengahkan tiga macam aspirasi seni yang
mewakili tiga bentuk estetik: ekspresionisme Affandi, gaya
dekoratif Widayat, seni abstrak - ritme ruang - Fadjar Sidik",
tulis Kusnadi dalam katalogus. Dijelaskannya juga bahwa pameran
merupakan contoh positif perkembangan 3 periode seni lukis
Indonesia selama 35 tahun terakhir. Periode zaman pendudukan
Jepang serta periode kesanggaran (1945-1950), diwakili
karya-karya Affandi. Kemudian periode akademis seni lukis baru
Indonesia, sejak 1950, diwakili Widayat dan Fadjar Sidik.
Harapa Pada Fadjar
Affandi kali ini muncul dengan 18 buah lukisan yang terpilih
baik. Di antaranya terdapat beberapa lukisan tahun-tahun 60-an
(Gunung Agung) dan sebuah lukisan dari periode 50-an. Wafatnya
Ratu Inggeris. Yang disebut pertama agak berbeda dengan
lukisan-lukisannya sekarang: ada sesuatu yang pucat. Sementara
Wafatnya Ratu Inggeris begitu gelap. Lukisan-lukisan ini rupanya
dipinjam dari beberapa orang kolektor.
Nampak bentulc-bentuk naturalistis seperti pada Ibu dan Pengemis
- jenis yang tak pernah dikerjakannya lagi sekarang. Meskipun
orang selalu bilang Affandi macet, menurun atau telah terbenam
dalam klise diri sendiri, kita masih tetap dapat merasakan bahwa
inilah salah satu pelukis besar pribumi. Baik karena dedikasinya
maupun kwalitas rata-rata kanvasnya. Satu-satunya yang pantas
disesali barangkali hanya karena ia terlalu produktif.
Widayat, dengan 19 buah lukisan, penuh sesak dengan benda,
manusia, burung. Ia mendekati sesuatu dengan naif. Namun setelah
sejenak kita terpesona melihat keluguan melukiskan hutan,
ranting kayu dengan burung-burung bertengger, kita segera tahu
bahwa ia bukan, sedang melukiskan kesederhanaan, tetapi ingin
melukis dengan sederhana. Berbeda dengan kesederhanaan Mulyadi
yang memantulkan kelembutan, juga berbeda dengan penyederhanaan
Suparto yang menimbulkan rasa dingin, Widayat lebih kering.
Ia tidak memiliki keterampilan lentur pada anatomi seperti
Mulyadi dan Suparto. Pelukis ini sebaliknya sempat menampilkan
sesuatu yang magis dalam lukisan Rimba Hitam di Tinombala dan
Burung & burung Blekok di Pohon. Yang pertama didominir oleh
warna hitam dengan tektur berat -- seakan merupakan antagonis
dari lukisan yang bernama Rimba Putih. Widayat yang lahir di
Kutoardjo tahun 1923 -- tercantum juga namanya dalam buku
Dictionaty of Intemational Biography, England, halaman 1009 -
adalah salah seorang yang kini ikut memberi warna lokal pada
seni lukis Indonesia.
Fadjar Sidik (lahir di Surabaya 1930, sekarang Ketua Jurusan
Seni Lukis Sekolah Tinggi Seni Rupa, Yogya) dengan 18 buah
kanvas yang semuanya tentang ritme ruang, adalah yang paling
membawa harapan dari ketiga orang ini. Pengembaraannya dalam
ruang, dengan bentuk-bentuk yang kadangkala menyarankan
kaligrafi - juga dengan sepotong bulan sabit yang sering muncul
di sanasini- memberikan suasana religi.
Fadjar kelihatan semakin yakin, semakin fasih dan tegas
dibanding pada karya-karya-karyanya yang lalu. Ada keberanian
dalam warna. Problemnya telah terputuskan. Lalu ia bergerak
lebih dalam, mencelup ke dalam masalah. Kadangkala kita
dihadapkan pada bentuk-bentuk yang menekan ruang, yang keluar
dari ruang, yang masuk ke dalam ruang. Kadangkala kita merasakan
warna yang mengisi ruang dan menciptakan ruang-ruang kecil dalam
ruang yang lebih besar. Fadjar menangkap puisi 'ruang'.
Lebih dari semuanya, sekali lagi, fasilitas tata cahaya tetap
merupakan problim dalam pameran. Balai Senirupa yang letaknya
jauh dari pusat Jakarta ini dan menempel pada keriuhan kawasan
Pasar Glodok, sudah semestinya disediai biaya untuk berbenah.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini