Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tiga Orang Yogya

Affandi, Widayat & Fadjar Sidik berpameran di Balai Seni Rupa Jakarta. Ketiga pelukis mengetengahkan 55 buah lukisan dari tiga macam aspirasi seni. Fasilitas tata cahaya kurang mendukung pameran. (sr)

18 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI kota, Yogya benar mati. Tapi sebagai gudang yang menelurkan banyak seniman yang bekerja keras, ia hidup. 3 orang pelukis yang bercokol di Yogya dan yang pernah mendapat Anugerah Seni, muncul di Balai Senirupa Jakarta, 1 s/d 15 Juni. Ketiganya memiliki kecenderungan berbeda-beda. "Pameran ini mengetengahkan tiga macam aspirasi seni yang mewakili tiga bentuk estetik: ekspresionisme Affandi, gaya dekoratif Widayat, seni abstrak - ritme ruang - Fadjar Sidik", tulis Kusnadi dalam katalogus. Dijelaskannya juga bahwa pameran merupakan contoh positif perkembangan 3 periode seni lukis Indonesia selama 35 tahun terakhir. Periode zaman pendudukan Jepang serta periode kesanggaran (1945-1950), diwakili karya-karya Affandi. Kemudian periode akademis seni lukis baru Indonesia, sejak 1950, diwakili Widayat dan Fadjar Sidik. Harapa Pada Fadjar Affandi kali ini muncul dengan 18 buah lukisan yang terpilih baik. Di antaranya terdapat beberapa lukisan tahun-tahun 60-an (Gunung Agung) dan sebuah lukisan dari periode 50-an. Wafatnya Ratu Inggeris. Yang disebut pertama agak berbeda dengan lukisan-lukisannya sekarang: ada sesuatu yang pucat. Sementara Wafatnya Ratu Inggeris begitu gelap. Lukisan-lukisan ini rupanya dipinjam dari beberapa orang kolektor. Nampak bentulc-bentuk naturalistis seperti pada Ibu dan Pengemis - jenis yang tak pernah dikerjakannya lagi sekarang. Meskipun orang selalu bilang Affandi macet, menurun atau telah terbenam dalam klise diri sendiri, kita masih tetap dapat merasakan bahwa inilah salah satu pelukis besar pribumi. Baik karena dedikasinya maupun kwalitas rata-rata kanvasnya. Satu-satunya yang pantas disesali barangkali hanya karena ia terlalu produktif. Widayat, dengan 19 buah lukisan, penuh sesak dengan benda, manusia, burung. Ia mendekati sesuatu dengan naif. Namun setelah sejenak kita terpesona melihat keluguan melukiskan hutan, ranting kayu dengan burung-burung bertengger, kita segera tahu bahwa ia bukan, sedang melukiskan kesederhanaan, tetapi ingin melukis dengan sederhana. Berbeda dengan kesederhanaan Mulyadi yang memantulkan kelembutan, juga berbeda dengan penyederhanaan Suparto yang menimbulkan rasa dingin, Widayat lebih kering. Ia tidak memiliki keterampilan lentur pada anatomi seperti Mulyadi dan Suparto. Pelukis ini sebaliknya sempat menampilkan sesuatu yang magis dalam lukisan Rimba Hitam di Tinombala dan Burung & burung Blekok di Pohon. Yang pertama didominir oleh warna hitam dengan tektur berat -- seakan merupakan antagonis dari lukisan yang bernama Rimba Putih. Widayat yang lahir di Kutoardjo tahun 1923 -- tercantum juga namanya dalam buku Dictionaty of Intemational Biography, England, halaman 1009 - adalah salah seorang yang kini ikut memberi warna lokal pada seni lukis Indonesia. Fadjar Sidik (lahir di Surabaya 1930, sekarang Ketua Jurusan Seni Lukis Sekolah Tinggi Seni Rupa, Yogya) dengan 18 buah kanvas yang semuanya tentang ritme ruang, adalah yang paling membawa harapan dari ketiga orang ini. Pengembaraannya dalam ruang, dengan bentuk-bentuk yang kadangkala menyarankan kaligrafi - juga dengan sepotong bulan sabit yang sering muncul di sanasini- memberikan suasana religi. Fadjar kelihatan semakin yakin, semakin fasih dan tegas dibanding pada karya-karya-karyanya yang lalu. Ada keberanian dalam warna. Problemnya telah terputuskan. Lalu ia bergerak lebih dalam, mencelup ke dalam masalah. Kadangkala kita dihadapkan pada bentuk-bentuk yang menekan ruang, yang keluar dari ruang, yang masuk ke dalam ruang. Kadangkala kita merasakan warna yang mengisi ruang dan menciptakan ruang-ruang kecil dalam ruang yang lebih besar. Fadjar menangkap puisi 'ruang'. Lebih dari semuanya, sekali lagi, fasilitas tata cahaya tetap merupakan problim dalam pameran. Balai Senirupa yang letaknya jauh dari pusat Jakarta ini dan menempel pada keriuhan kawasan Pasar Glodok, sudah semestinya disediai biaya untuk berbenah. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus