Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Langkah Besar Java Jazz

Tahun depan Java Jazz Festival dipastikan hadir dengan musisi-musisi besar lainnya. Menyusul penontonnya yang menakjubkan.

14 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Living in Jakarta… masih terngiang, ketika James Brown, 72 tahun, "memelesetkan" Living in America, lagu terkenalnya yang pernah mengiringi film Rocky IV itu.

You might not be looking for the promised land, but you might find it anyway. Telunjuknya menuding, satu per satu," New Orleans, Detroit, Dallas, Pittsburgh, Kansas, Chicago....

Lalu bersama barisan kor, ia meneriakkan: Jakarta.

Jakarta bukan promised land. Juga untuk kesenian. Kota ini miskin festival berskala internasional. Silih berganti muncul: Indonesian Dance Festival, Art Summit, Pekan Komponis Muda, atau Bienale Seni Rupa. Ada yang lesu—menurun mutunya dari tahun ke tahun. Ada yang bersemangat, tapi penonton ya tetap "kalangan sendiri".

Pernah Alvin Lucier, komponis kontemporer Amerika, pentas di Gedung Kesenian Jakarta, dihadiri hanya belasan orang. Sampai muncul JiFFest: Jakarta Film Festival, yang menjadi magnet anak muda. Dan kini, agaknya bisa lahir sebuah pemeo bahwa detak kesenian metropolitan digerakkan dua hal: festival film dan festival jazz.

Harus diakui, Java Jazz yang diadakan di Jakarta Convention Center, Senayan, kemarin itu (4-6 Maret), menakjubkan dari segi antusiasme penonton. Dilaksanakan tiga hari dan setiap harinya diperkirakan dihadiri 15 ribu orang. "Dahsyat ya, betul-betul menyedot perhatian. Bener lho, resto saya sampai sepi," kata Emy Subronto Laras, pemilik restoran New York Chicken di Taman Ria Senayan.

Tiket terusan Rp 450 ribu dan tiket hariannya Rp 100-200 ribu ludes. Menyaksikan Gita, 23 tahun, mahasiswi Atmajaya, antre meminta tanda tangan George Duke, tentu itu bukan sekadar gaya hidup. Berani taruhan, memang ia bukan termasuk yang tahu bahwa Duke sempat menyelipkan lagu Frank Zappa Echidna's Arf (of You) dari album Frank Zappa Roxy&Elsewhere. Atau ia bukan tergolong yang mengharapkan Eumir Deodato menampilkan aransemennya atas Night White Satin—Moody Blues setelah malam itu ia membawakan Black Dog dari Led Zeppelin, yang diambil dari albumnya tahun 1970-an: First Cuckoo.

Tapi Gita dan "Gita-Gita" lain tergolong mereka yang tetap bergairah menunggu "para kampiun" itu ketika jadwal pertunjukan molor lama. Seperti ketika pesawat yang ditumpangi Tana Maria dari Paris mengalami penundaan saat transit di Amsterdam. Panitia di Jakarta langsung berinisiatif menukar jadwal main penyanyi asal Brasil itu dengan Krakatau.

Jadwal pentasnya berubah, dari 21.00 menjadi 22.00. Tania mendarat di Bandara Soekarno-Hatta mepet waktu. Tanpa sempat ganti baju, ia langsung menuju Jakarta Convention Center. Begitu sampai, ruangan telah sesak. Langsung musisi yang meraih Grammy Award 1985 itu tanpa ba-bi-bu menuju bangku piano. Meluncurlah irama salsa Karibia, ritme Brasil….

Java Jazz konon terinspirasi North Sea Jazz Festival. Tak banyak yang tahu almarhum Paul Acket, penggagas festival itu, kelahiran Semarang. Sempat terdengar selentingan Peter Gontha, bos Java Jazz ini, berencana membeli North Sea Jazz dari ahli waris Paul Ackett. "Ha-ha-ha..., sempat terjadi pembicaraan tapi terlalu mahal," tuturnya.

Tapi Peter Gontha menggaet Paul lain, yaitu Paul Dankmayer, yang bertahun-tahun menjadi Direktur North Sea Jazz di Den Haag—untuk menjadi Direktur Java Jazz. Paul ini tak lepas dari bau Indonesia juga, karena kelahiran Surabaya. "Orang tua kita berteman sejak tahun 50-an. Ibu saya berteman dengan ayah Paul," kata Gontha. Mereka berdua tahun lalu menggelar World Port Jazz Festival di Rotterdam.

Tahun ini World Port absen, lalu lahirlah Java Jazz. Sebuah forum yang juga dimaksudkan mengangkat para jazzer Indonesia. Demikianlah Ruth Sahanaya tampil dengan Jeff Kashiwa, Andien tampil bersama Jeff Lorber, Glenn Fredly dengan George Duke. Padi diundang sebagai pemain Deodato. Ada Krakatau yang bakal keliling Eropa, Gilang Ramadhan dengan grup baru Nera yang mengusung napas musik Flores. Kemudian Idang Rasyidi, Margie Siegers, Tamam Husein, Wong Aksan, Indra Lesmana—sampai Sujiwo Tejo.

Potensi-potensi pemula pun diberi kesempatan. "Cucu saya tampil menyanyi," kata Elsye Sigit, istri Sigit Harjojudanto. Cucunya bernama Putri, anak perempuan Ari Sigit, manggung bersama kelompok bernama Bertha and Friends. Juga potensi anak-anak, seperti Adji Rao yang pentas bareng Jendela Kids Percussion—kelompok perkusi anak di Bandung—yang dimotori pa-sangan perupa Andar Manik dan Ma-rintan Sirait.

"Saya surprised. Mungkin momennya tepat," kata Paul melihat membludaknya penonton. "Orang Indonesia ingin mengalihkan perhatian dari masalah politik." Boleh jadi Paul benar. Jazz, soul, apalagi yang dilengkapi barisan alat tiup: horn, trumpet, tuba, flugerhorn, saksofon yang rancak dan dinamis, adalah musik yang tepat untuk katarsis kelas menengah Jakarta.

Lihat penampilan Earth Wind Fire, yang mengusung lagu lama mulai dari aransemennya atas lagu Beatles: Got to Get You into My Life sampai September. Satu jam nonstop penonton berjingkrak. "Luar biasa, gimana aslinya ya?" kata Mandau, pemain keyboard grup rock Seven Years Later, yang sampai membolos jadwal main rutinnya di BB Café, Menteng.

Earth Wind Fire didirikan oleh All Mckay sebagai gitaris utama, Maurice White, Verdine White, lalu Phillip Balley. Balley amat terkenal dengan suara falsetonya—mencapai empat oktaf (pernah duet dengan Phil Collins dalam Easy Lover). Yang datang ke Jakarta ini adalah All Mckay All Stars dengan trio vokal Tim Owens, Claude Woods, dan Devere Ducketts. Malam itu mereka tampil energetik, suara tipis falseto Tim Owens memikat.

Menurut Paul, Java Jazz sangat terbuka untuk mengembangkan diri. Maret ini di Eropa adalah musim semi. "Sejumlah band biasanya main saat musim panas. Ada sekitar 200 festival jazz di Eropa." Sembari menunggu, mereka antusias ke Asia. "Sade mau dibawa ke sini, tapi tidak cocok di harga. Terlalu mahal. Ia tak mau hanya one stop Jakarta. Harus digabung dengan kota besar lain Asia," tutur Gontha. "Dave Koz dan Jamie Cullum seharusnya datang tahun ini," tambah Paul.

Menurut Gontha, banyak musisi luar yang tampil kemarin seperti Eric Bennet, Laura Fygi, tidak menyangka mempunyai popularitas cukup tinggi di Jakarta. Bahkan ada artis yang tinggal untuk membuat klip video berlatar Indonesia. "Nama Michael Frank, Diana Krall, Norah Jones, Jamiroquai, ada dalam daftar kami untuk tahun depan," kata Paul. Gontha, yang rutin mengunjungi komunitas jazz di Amerika, menambahkan. " Ya, Anda bisa bilang saya membual, tapi saya kenal secara pribadi Britney Spears dan Josh Groban."

Bukan tidak mungkin, Java Jazz mendatang akan menjadi melting pot musik, sebagaimana Montreal Jazz Festival pernah menampilkan Deep Purple atau North Sea menampilkan Phil Collins dan Santana. "Jazz festival merupakan gabungan berbagai macam musik," kata Gontha menanggapi kritik kenapa Padi yang bukan jazz juga tampil di acara ini. "Bila ada Rhoma Irama dalam bentuk yang jazzy, itu juga bisa, kenapa tidak," katanya.

Sebuah festival sejatinya menawarkan petualangan. Kita dihadapkan pada bazar dengan beragam menu yang menantang untuk dicicipi. Dan dalam festival jazz kita dihadapkan pada aneka sajian, mulai dari yang "berbau etnik", "perih", atau yang "funky". "Nyesel juga enggak nonton," keluh Gito Rollies, yang dulu dikenal sebagai James Brown-nya Indonesia—dan ketika menyanyikan lagu It's a Man's World ia berimprovisasi. … You see man made the cars to take us over the road, lalu menirukan suara klakson... tet-tet-tet. "Musik Afro-Amerika memberontak ketertindasan dengan cara sendiri. Tidak seperti rock yang frontal langsung ke pemerintah, tapi lebih diri sendiri dan ke Tuhan," kata Gito.

James Brown memang suatu kali ditanya: Apakah soul itu? Ia menjawab, "Soul adalah bila kita merasa di mana-mana Tuhan selalu mengawasi kita. Juga bila kita resah, marah, menjerit." Dan semoga Tuhan malam itu bahagia menyaksikan Brown yang baru operasi kanker prostat dan tetap feel good. Dan betapa publik Jakarta be-gitu hangat menyambutnya.

Living in Jakarta... hit me... I walk in and out… Living in Jakarta, yeah….

Seno Joko Suyono, Evieta Fadjar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus