Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Jeritkanlah kemerdekaan

Pemain : denzel washington, kevin kline sutradara : richard attenborough sinematografi: ronnie taylor resensi oleh : goenawan mohammad.

6 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CRY FREEDOM Sutradara: Richard Attenborough Skenario: John Briley Sinematografi: Ronnie Taylor Aktor : Denzel Washington, Kevin Kline, Penelope Wilton TRAKTOR dan pasukan mengobrak-abrik, anak-anak miskin lari takut atau mati, penindasan jalan kencang, tapi ada orang-orang yang mencoba membangunkan harap. Seorang pahlawan ditangkap, disiksa, dan jadi martir. Seorang sahabat mencoba membelanya, dan mengisahkan perjuangan sang pahlawan ke seluruh dunia, untuk menggugah .... Cry Freedom adalah sebuah film dengan pesan besar. Kadang-kadang kita menolak untuk menerima sebuah propaganda. Kadang-kadang kita menerimanya. Kita menerimanya bila kita sedang tak terlalu cerewet. Dan kita bisa tak cerewet karena merasakan apa yang di sajikan di sana mengungkapkan suatu perasaan yang jujur yang mendesak-desak, terutama dari hati mereka yang memihak kepada yang disewenang-wenangi. Film ini adalah propaganda yang bisa kita terima dengan senang hati. Attenborough, dengan Cry Freedom, tidak seperti ketika ia membuat Gandhi, yang disiapkannya bertahun-tahun. Film ini bukan sebuah film sejarah bukan sebuah kisah masa lalu yang tersimpan, dan digali karena masih berarti. Film ini adalah teriakan masa kini, ketika orang-orang hitam melawan, menggeliat dari bawah sepatu bot orang Afrikaneer yang menginjak-injak mereka di Afrika Selatan. Film ini bukan saja aktuil. Ia satu urgensi. Dengan demikian, ia tak bisa dikatakan persis sebuah kesaksian. Attenborough menyelingi arus cerita dengan klak-klik kamera serta gambar-gambar henti. Tapi warna jurnalistik yang hendak dikesankannya, dengan kata lain realisme yang hendak digarisbawahinya, toh tak bisa mendongkel sosok keseluruhan film ini: sebuah film dengan pesan besar tentang perjuangan mau tak mau cenderung melenceng dari fakta-fakta. Demikianlah film tentang Steven Biko, pejuang hitam yang mati di penjara Afrika Selatan itu, mengabaikan kenyataan bahwa Biko lain dari Nelson Mandela. Mandela, yang kini masih dipenjarakan, adalah suara perlawanan nonrasial terhadap apartheid. Biko bicara tentang "kesadaran kulit hitam". Tapi dalam Cry Freedom, perbedaan itu diabaikan: Biko bukan saja nampak memasang poster Mandela, ia hampir tampil sebagai satu-satunya alternatif bagi orang hitam di Afrika Selatan. Itu sudah tentu hanya buat menyederhanakan soal. Juga sebuah simplifikasi bila Cry Freedom menampilkan pasukan Afrika Selatan yang menembaki anak-anak di Soweto adalah mereka yang berkulit putih (dalam kenyataannya, pemerintah Afrika Selatan, dengan sinisme yang pintar, berhasil menampakkan mudahnya orang hitam jadi budak mereka untuk membasmi orang hitam lain). Tapi kenapa kita harus cerewet dengan kenyataan itu? Lagi pula, buat sebuah film seperti halnya buat sebuah mitologi, apakah yang disebut "kenyataan" -- kalau bukan kemampuan untuk meyakinkan? Bagi saya, yang seperti banyak penonton Indonesia tak tahu banyak tentang apa yang terjadi di Afrika Selatan, detail faktual boleh dianggap tak penting amat. Kita tahu samar-samar bahwa di sana orang putih yang umumnya berasal dari Belanda itu menindas orang kulit berwarna. Dan Attenborough menggarisbawahi -- dengan suara keras serta gemuruh, dengan jerit dan bunyi cambuk -- hal itu. Seorang penulis kritik dalam Film Comment menghantam film ini sebagai film yang sekadar "mengelus-elus sentimentalitas orang putih" dan bukannya "mengilhami rasa amarah". Bagi publik Amerika, mungkin begitu. Ketimpangan film ini adalah bahwa dia tak dipotong bagian 90 menit terakhir. Ceritanya mencekam kita sampai dengan sebuah adegan yang sangat menggugah: pemakaman Biko yang diiringi nyanyi syahdu dan tekad baru. Sayang, setelah itu, cerita disambung dengan sejenis melodrama keluarga: kisah wartawan Donald Woods, orang putih teman Biko, yang mencoba melarikan diri ke Inggris dari tahanan pemerintah Afrika Selatan. Meskipun nampaknya Attenborough menyadari ini (dan mengimbuhkan adegan kilas balik di sana-sini tentang Biko dan derita hitam), akhirnya tetap sayang: film ini akhirnya terasa jadi lembek dalam tragedi, dan hanya kuat dalam rasa duka. Padahal, buat latar Steven Biko dan kaumnya, dua hal itu berbeda. Seorang tokoh dalam satu novel Nadime Gordimer pernah mengatakan bahwa "duka itu sesuatu yang membusuk, bagian dari mereka yang mati sedang tragedi adalah sebuah tanda bahwa perjuangan harus terus". Gordimer, novelis wanita Afrika Selatan itu, bertahun-tahun mengenal apa yang disebutnya the necessary life of protest di tengah kebusukan negerinya. Attenborough mungkin lupa mendengarkan dia. Tapi bagi seorang lain yang hidup di Dunia Ketiga, Cry Freedom toh bisa berbicara efektif tentang soal yang lebih mendasar ketimbang sekadar orang putih dan orang hitam. Film ini secara dramatis mengungkapkan brutalnya kesewenang-wenangan, busuknya teror alat-alat negara kepada orang yang lemah, dan rapuhnya kemerdekaan untuk memprotes. Di situ, tak putih, tak hitam, bisa jadi laknat, juga warna cokelat. Maka, seruan Cry Freedom bisa juga punya gema kemari. Dan menggetarkan. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus