Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Litani Tubuh Hijau

Perupa Budi Kustarto memamerkan lukisan dan patung. Ada beraneka gesture, ada obyek-obyek sureal yang menggantikan keutuhan raga.

28 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tubuh lelaki bugar, atletis yang kini diidolakan. Lihatlah litani aikon-aikon kontemporer: (iklan) celana jins dan deodoran. Macho, percaya diri, seksi, wangi. Citra tubuh lelaki muncul dalam sejumlah lukisan dan patung Budi Kustarto, 33 tahun. Pameran tunggalnya yang pertama ini berlangsung di Nadi Gallery, Jakarta, 9-21 Maret 2005. Inilah potret diri perupa (laki-laki) kontemporer melalui idiom tubuhnya sendiri.

Seakan memang cuma ada dua perkara pada lukisan Budi: latar kosong dan tubuh laki-laki macho?entah kenapa?semuanya hijau. Bisa bugil atau dibalut celana jins sensual-ketat, citra semacam itu tampak segar dan mengejutkan. Kita boleh menduga-duga perihal warna hijau: alam, kesuburan, tumbuh, organik, agamis, kalau bukan politis. Sejumlah sosok itu dilukiskan tegak lurus, berselonjor, berayun, jungkir balik, menggigit jempol, terbentur, sempoyongan. Seakan sosok cuma ingin bergulat terhadap batas-batas formal segi empat kanvas yang semuanya kosong. Namun oleh puitika gubahan semacam itu, segi empat kanvas lukisan Budi terguncang, bergerak, berbobot. Bidang kosong dan jalur-jalur warna tipis pada kanvasnya mengandung ungkapan makna yang terbuka. Entah apa.

Budi Kustarto sejatinya pematung. Perupa ini lulusan Jurusan Seni Patung ISI, Yogya (1993-2003). Lukisannya menunjukkan pengaruh kuat ihwal presentasi trimatra dalam ruang aktual karya patung. Dalam lukisan, citra demikian terkesan beroleh idealisasi. Gagasan presentasi karya trimatra menjadi komposisi gestural yang diperhitungkan dalam lukisan Budi. Melalui kepekaan semacam itu, Budi mendorong kita ke pikiran dan ihwal ungkapan yang dianggap hakiki dalam seni visual (citra minimalis rancangan poster kontemporer, pembekuan momen bermakna dalam patung, fiksi atau puisi bidang kosong lukisan).

Katakanlah, lukisan tubuhnya adalah vitalisme?atau simbolisme?yang terukur. Tubuh bergerak dalam keseimbangan unsur-unsur geometri, bahkan simetri. Perhatikan, misalnya, sosok kempal lelaki jongkok (Tegangan, 2004) atau mengapung laksana capung, hampir membentuk huruf X (Meregangkan, 2004). "Aku melukiskan gestur-gestur tubuhku sendiri seperti dalam mematung," kata Budi.

Penjelajahan gestur semacam itu mengingatkan karya-karya fotografi kontemporer seniman Amerika, Robert Mapplethorpe (1946-1989). Foto-foto hitam putih Mapplethorpe yang terkenal antara lain menampilkan berbagai pose tubuh laki-laki kulit hitam yang atletis dan bugil. Gaya mengobyekkan atau mendisiplinkan tubuh semacam itu di sana-sini terasa pada sejumlah lukisan Budi.

Seraya menyadari logos medium yang berbeda antara lukisan dan patung, Budi membuat cetakan tubuhnya sendiri dalam ukuran satu banding satu. Namun, berbeda dengan citra keutuhan yang ditampilkan pada lukisan, Budi memotong-motong beberapa bagian cetakan tubuhnya. Tubuh tidak bugil atau dibalut jins ketat seperti dalam lukisan, tapi bercawat. Bentuk rinci dan idealisasi menghilang. Cetakan satu banding satu melahirkan citra penyusutan pada tubuh. Budi agaknya menyadari ihwal itu: ruang aktual tak tunduk oleh hukum mimesis. Tematika karya trimatranya berkembang di luar ragawidya pada lukisan.

Ia menceraikan kepala?keemasan atau keperakan?dari tubuh hijau karya trimatranya. Raga bukan lagi subyek yang mandiri dengan bahasa nonverbal yang maknawi, tetapi sekumpulan obyek yang dapat dicerai-beraikan. Lihatlah misalnya Kekerasan (2003-05). Potongan torso rebah menyangga buku, bagian pinggul sampai kaki bersitumpu di atas buku itu, sedangkan kepala jauh terpisah dari keduanya.

Keutuhan di dalam lukisan berakhir di dalam patungnya. Atau sebaliknya? Vitalitas dan keutuhan raga digantikan oleh obyek-obyek sureal yang ganjil, bahkan citra kematian. Keindahan sudah berakhir. Pameran ini cukup menarik dan menjanjikan perkembangan lanjut yang patut ditunggu.

Hendro Wiyanto, Kurator

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus