Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Lpkj menari "rakyat"

3 orang mahasiswa akademi tari lpkj meneliti tari rakyat sulawesi selatan, minang dan sunda yang dipergelarkan. terhidang kaku, kurang penjiwaan hanya pertunjukan tari gerak tanpa isi.

27 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Teater Arena TIM (10 s/d 12 Nopember) 3 anak didik Akademi Tari LPKJ mencoba menunjukkan bulunya. Mereka menampilkan hasil penyerapan mereka ke daerah-daerah, di mana mereka telah melakukan banyak pengamatan dan penelitian terhadap tarian-tarian rakyat. Wiwiek Sipala, kelahiran Kendari Sulawesi Tenggara yang dibesarkan di Ujung Pandang, mengetengahkan bentuk "Gandrang Bulo", sebuah tarian rakyat daerahnya sendiri sambil memberikan interpretasi baru. Deddy Luthan, berdarah Minang yang lahir di Jakarta, mengetengahkan karyanya yang bersumber pada "Indang" yang akarnya pada kesenian rakyat Sumatera Barat. Lalu Zailani Idris dari Kutai, menampilkan "Jentreng" yang diilhami oleh gerak-gerak tari Jawa Barat Tarawangsa, Bangreng, Benyang serta Pencak Silat. Sebagaimana umumnya akibat dari penelitian-penelitian analitis dari sebuah akademi, yang sempat menonjol dari tangan ketiga orang ini adalah usaha untuk menampilkan bentuk. Mereka menangkap gerak, beberapa komposisi fisik dari tariaN rakyat serta mengikutkan kostum yang dapat memberikan warna lokal. Dari tiga unsur itu, mereka mencoba mengadakan sedikit variasi, kombinasi, pelebaran ruang seluas lantai arena. Hasilnya adalah semacam comotan yang tidak sempat meraih roh tarian-tarian rakyat tersebut. Beberapa bagian wadagnya terhidang dengan kaku, sebagaimana sering kita jumpai pada pertunjukan kesenian rakyat yang disuguhkan pada turis. Rakyat "Gandrang Bulo" dari tangan Wiwiek Sipala mencoba memenuhi ruang dengan cara memecahkan penarinya menjadi beberapa kelompok yang terpencar. Satu kelompok melanjutkan suasana inti. Sementara itu dua kelompok lain memberikan suasana sampingan. Wiwiek memasukkan juga adegan-adegan perkelahian dan hampir sampai pada suasana dramatik. Sayang sekali perhatiannya pada ruang tidak diimbangi oleh ketelitian detail. Sehingga yang tercapai adalah usaha untuk "memenuhi ruang bukan usaha untuk menguasai" ruang. Tentu saja ruang yang penuh itu menjadi hampa dan kosong karena tak ada kegempalan pada isinya. Hal yang sebaliknya dilakukan oleh Dedy Luthan, yang mengumpulkan penarinya dalam garis diagonal di tengah arena. Anwar mencoba menampilkan beberapa gerakan-gerakan tangan secara massal dengan pukulan-pukulan gendang. Ia mulai dengan posisi dasar sebuah garis dan kemudian tinggal memberikan bunga-bunga kecil. Tapi karena tak ada kecermatan pada para penarinya sudut-sudut kecil yang hendak ditampilkannya tidak mencuat. Ini memerlukan kekompakan tentu saja, sehingga peralihan-peralihan posisi yang kecil-kecil bisa berlangsung rapih lalu memberikan pesona yang lembut. Apalagi kemudian muncul lagu dengan syair yang berisikan lirik yang rendah hati, mengucapkan maaf karena mereka masih dalam taraf mahasiswa. Hal yang seharusnya bisa menjadi lugu dan pasti mengharukan kalau benar-benar dilontarkan dari jiwa pertunjukan rakyat yang memang terus terang dan sederhana. "Jentreng" dari tangan Zailani Idris,ditopang oleh tembang dan gamelan Sunda yang pada mulanya memang memanggil suasana rakyat sana. Apalagi kelihatan sebuah obor yang mengingatkan pada tarian "Cak" Bali. Tapi tak lama kemudian mulai terasa bahwa yang lebih menonjol adalah tembang-tembang di belakangnya. Perhatian Zailani pada Jawa Barat sama dengan perhatian rekan-rekannya yang terdahulu, yakni hanya pada permukaan. Pada bagian-bagian selanjutnya suasana yang gemulai berubah menjadi kegelisahan untuk menampilkan sesuatu yang berbau kontemporer. Sebetulnya kalau saja Zailani memang ingin memperhatikan kehidupan sehari-hari dengan caranya sendiri, seharusnya ia lebih membebaskan dirinya. Karena kalau tidak demikian pengertian "rakyat" dan pengertian "tradisionil" akhirnya hanya akan menjadi "beban" bukannya kekayaan yang mendorong. Soalnya karena ketiga mereka waktu terjun ke daerah mungkin hanya menonton, tidak melibatkan diri secara rohaniah pada kesenian rakyat setempat. Dan ini separuhnya tentu saja kesalahan para pembimbing mereka tatkala menjadi pengamat ke pelosok-pelosok sana. Setelah masa jedah, muncul Farida Feisol dengan 6 buah nomor yang disatukannya dalam satu judul "Resume". Nomor terakhir yang bernama "Tenang Kembali" pada malam terakhir tidak dimainkan, barangkali karena beberapa pertimbangan yang "non-artistik" sifatnya, mengingat kondisi dan situasi. Nomor-nomor lain, semuanya bertolak dari balet, kecuali "Perkelahian" yang mengemukakan unsur silat. Farida mencoba memberikan puisi-puisi kecil kehidupan. Ia seorang yang perasa. Tapi penari-penari yang mendukung perasaan-perasaannya itu tidak mempunyai persipan fisik yang kelar, sehingga yang lebih menonjol adalah ketidak kompakan dan ketidak trampilan dalam bergerak. Nancy Hasan yang jangkung dan Sentot yang berotot, termasuk dua yang terbaik dari para penari malam itu, yang siap melaksanakan ide-ide Farida. Tak heranlah kalau nomor "Makan Siang" yang mereka bawakan berdua yang mengisahkan dua orang yang pernah mempunyai hubungan intim bertemu kembali dan mengalami saat-saat lampau yang indah merupakan nomor Farida yang terbaik malam itu. Dengan proporsi dua buah kursi, Nancy dan Sentot sempat memukau penonton dengan olah tubuh dan berbagai komposisi yang menarik. Sementara di belakang (meskipun dilaksanakan dengan kurang sip) Edi De Rounde dan Eny A. Yusuf berdialog satu sama lain, sehingga nomor itu merupakan gabungan dari gerak dan dialog lalu berhasil membangun suasana dramatik. Suasana dramatik juga berhasil ditampilkan oleh nomor "Kematian" di mana kelihatan beberapa orang berjubah hitam mengangkat seorang penari yang berpakaian putih. Akan tetapi "Makan Siang" tetap merupakan nomor yang lebih unik dan berhasil untuk dicatat. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus