TEMPO 23 Oktober 1976 melaporkan tentang Pangrukti Aji, yang
nama aslinya Tien Wartiningsih. Tapi soal bakunya: (I) Benarkah
Sunan Kalijaga yang jelas sudah wafat itu, kini masih cakap
"bicara" laksana orang hidup? Mengapa justru "lewat" Tien
Wartiningsih pula? (2) Benarkah "dawuh" itu asli tulen dari
Sunan Kalijaga? (3) Benarkah orang sakit bisa sembuh dengan obat
do'a-do'a dari "dawuh" Sunan Kalijaga?
Menurut a.b.c. dogma, kesembuhan orang sakit hanya dengan do'a
tanpa sesuatu obat materiil apa pun, adalah kesembuhan kurnia
dari Rahmaniyah (kemahapemurahan) Tuhan, karena doa dari sang
Mursyid (orang yang terjamin kesucian pekerti lahit batinnya),
entah Sunan Kalijaga, entah lain-lainnya, sebagai tanda Karomah
(kekeramatan) sang pendoa. Menurut Teori llmu Ruhi (ilmu tentang
roh) dari Al Quran, sebagai yang antara lain diuraikan dalam
kitab Al-Mustasyfa (klinik lahir-batin) karya Al-Ghazali, adalah
kesembuhan kurnia dari Rahimiyah (kemahapengasihan) Tuhan karena
kekuatan kepercayaan pribadi pasien kepada pribadi sang pendoa,
sebagai pembawa kurnia kesembuhan. Jadi tegasnya, kalau
kepercayaan pribadi si pasien kepada sang pendoa sama sekali
tidak ada, biar 1001 kali doa niscaya pasti sia-sia belaka.
Pasien yang tanpa kepercayaan kepada sang pendoa sebagai pembawa
kurnia kesembuhan sendirinya tak akan beroleh kurnia kesembuhan.
Pada umumnya kesembuhan yang bisa diperoleh dari doa hanyalah
jenis penyakit yang berkaitan dengan halihwal krida fungsionil
jaringan syaraf. Seperti antara lain penyakit-penyakit gugup,
gelisah, ketakutan, lemah ingatan lemah kepercayaan kepada diri
sendiri, kurang percaya pada keberuntungan diri sendiri.
Kepercayaan pasien kepada sang pendoa menjadi faktor yang
terpenting.
Tapi Ibnu Tufail, filsuf dan dokter yang kesohor menyatakan
dalam kitab karya filsafi-alamiahnya Haiyun hin Yaqodlon (yang
hidup tak membuta) yang orang Barat secara keliru menyebutnya
Hay bin Jakzan -- bahwa kepercayaan pasien kepada dokter dengan
resep obatnya pun menjadi faktor penting dalam usaha menuntut
kesembuhan dari jenis penyakit non-syarafiyah. Ibnu Tufail
menuliskan pula beberapa contoh yang meskipun serba
filsafi-alami-romantis, namun sukar dibantah kebenarannya.
Contoh-contoh itu semuanya mengenai usaha penyembuhan fisik dari
macam-macam penyakit dengan macam-macam obat nabati dan jamadi
(mineral) yang Haiyun bin Yaqodlon ketahui dari pengamatannya
sejak kecil hingga dewasa atas kebiasaan macam-macam hewan,
kawan hidupnya di pulau terpencil sejak bayi, dalam usaha
penyembuhan fisik dari macam-macam penyakit yang terbiasa
berhasil baik.
Haiyun bin Yaqodlon percaya penuh kepada kebenaran
pengetahuannya, hasil pengamatannya. Baik kebenaran pengetahuan
tentang macam-macam hewan yang diamatinya maupun macammacam obat
nabati dan jamadi dan kebiasaan tiap golongan hewan
mempergunakan tiap macam dan jenis obat yang terbiasa dengan
hasil baik.
Eloknya dalam jaman modern hampir akhir abad ke-20 ini,
bahan-bahan kimiawi nabati dan jamadi, gagasan Ibnu Tufail itu,
peranannya dalam ilmu teori dan praktek pengobatan modern pun,
nyatanya bukan tidak amat penting.
Tien Wartiningsih, sudah pernah tahun 1970-1972 buka berulang
kali praktek pengobatan di Yogyakarta, antara lain di kampung
Numbakanyar. Pengalaman 3 orang terkemuka sekitar urusan
pengobatan oleh Puteri Sakti di Numbakanyar, boleh dicatat di
sini scbagai bukti tentang kebenaran teori llmu Ruhi dari
Al-Quran dalam kitah Al-Mustasyfa karya Al-Ghazali.
Mereka adalah seorang Guru Besar, seorang ex Menteri Keuangan Rl
dan seorang ex Menteri Kabinet 100 Menteri yang pertama tinggal
di Jakarta kedua lainnya di Yogyakarta. Yang pertama menderita
penyakit sukar buang air kecil, yang kedua penyakit asma, yang
ketiga berpenyakit sama dengan yang pertama. Sudah berobat
kesana kemari, tradisionil maupun pada dokter-dokter spesialis,
tapi belum juga berhasil baik hingga menjadi kisruh pikiran dan
perasaan masing-masing. Sampai akhirnya mendadak dengar banyak
cerita tentang "kesaktian" Putri Sakti.
Dengan penuh kepercayaan beroleh kesembuhan, mereka mendaftarkan
diri sebagai pasien. Tapi baru akan mendapat giliran bulan depan
pada kesempatan Putri Sakti membuka praktek lagi di Yogyakarta,
yang belum ditentukan tempatnya. Saking ngebetnya mau lekas
sembuh, mereka bertiga bersepakat menjalankan "politik suap"
terhadap si pendaftar.
Saking senangnya bahwa harapan dan kepercayaannya tidak akan
meleset dan mungkin sekali akhirnya akan beroleh kesembuhan --
meski belum 'menghadap' Putri Sakti -- mendadak sang Guru Besar
normal kembali seperti sedia kala. Puang air kecilnya lancar
tanpa kesukaran. Demikian pun halnya dengan sang ex Menteri
Kabinet 100 Menteri, kontan napas-bernapasnya normal kembali
seperti semula, longgar, lega. Tapi apa lacur? Setelah lima hari
lima malam mereka sembuh, dan sepulang kembali dari Numbakanyar,
mendadak sang Guru Besar dan ex Menteri Kabinet 100 Menteri
kembali lagi penyakitnya.
Apa sebab? Sebab, ketika di Numbakanyar sang Guru Besar merasa
kurang dihargai pribadinya oleh Putri Sakti, hingga turunlah
pula penghargaannya pada puteri itu dan sendirinya menjadi
hilang pula kepercayaannya kepada sang dukun.Adapun,ex Menteri
Kabinet 100 Menteri di Hotel Garuda dijemput saudaranya, dokter
spesialis dari Jakarta yang merasa kesal mengapa ex Menteri
sampai berobat secara takhayulan. Maka kepercayaannya akan
berhasil baik berobat pada Putri Sakti pun luntur.
Jadi benarlah, kepercayaan pribadi itu peranannya penting sekali
dalam hal ikhwal pribadi. Ketiga orang terkemuka itu kontan
pulih kembali kesehatannya ketika mendengar kepastian
berhasilnya "politik suap". Jadi sama sekali bukan karena
"berkah kesaktian" Putri Sakti, melainkan karena kekuatan
harapan dan kepercayaan pribadi masing-masing akan kesembuhan
penyakitnya. Fungsi Putri Sakti dalam hal ini hanya sebagai
sandaran harapan dan kepercayaan saja.
Menurut a.b.c. ajaran Islam maupun pengetahuan modern, tidak
mungkin orang yang sudah wafat --lama sekali ataupun baru saja
-- akan masih bisa bicara memberi "dawuh" ini-itu. Biar pun
orang itu Kangjeng Sunan Kalijaga atau Kangjeng Nabi 'Isa a.s.
atau pula pula Kangjeng Nabi Muhammad s.a.w. Kalau orang sudah
wafat masih bisa bicara memberi "dawuh", pastilah Kangjeng Nabi
Muhammad s.a.w. atau Kangjeng Nabi 'Isa a.s. yang akan mendapat
prioritas. Sebab, baik kedudukan kenabian maupun "dawuh"nya,
masing-masing lebih tinggi dan lebih penting sekali dari
kedudukan dan "dawuh" Sunan Kalijaga. Padahal, kedua Nabi
tersebut, sejak wafat hingga kini sama sekali tidak pernah
memberi "dawuh".
Bahwa Tien Wartiningsih berani bilang, kini Sunan Kalijaga
terbiasa "bicara" lewat dia, memberi "dawuh" ihi
itu, hal itu sama sekali bukan pribadi bukan pribadi Sunan
Kalijaga, melainkan khayal, isi "museum batin" Tien Wartiningsih
sendiri, lewat mulutnya, tentu sambil tutup-mata-kepala, merem,
laksana tidur.
Menurut publikasi pers, sejak masih gadis Jeng Tien gemar ulah
kebatinan. Dia mempelajari spiritisme, hipnotisme dan
sebagainya. Sebagai anak daerah Pantai Utara -- daerah pengaruh
magis Sunan Kalijaga -- layaklah dia mengenal riwayat keagungan
dan kesaktian Sunan Kalijaga. Konon, apalagi, dia masih ada
hubungan darah dengan Wali Agung Tanah Jawa itu, secara langsung
atau pun menyamping. Maka layak pula segala sesuatu yang
berkaitan dengan keagungan dan kesaktian Sunan Kalijaga,
memenuhi khayalnya memenuhi "museum batin"nya. Sampai dia
menjadi seolah-olah "kranjingan" Sunan Kalijaga. Syahwat &
ghodob pribadi leng Tien membakar keinsaniyahannya, hingga
timbul keinginan sampai berkemauan untuk jadi "penyambung lidah"
Sunan Kalijaga.
Benarkah segala macam "dawuh" lewat Jeng. Tien itu asli dari
Sunan Kalijaga? Kalau sempat dengar sendiri apa dan bagaimana
bunyi kalimat dan maksud "dawuh" Sunan Kalijaga dikala
"diterima" Jeng Tien sambil berlagak tidur, barulah kami dapat
menjawab dengan pasti. Bacalah buku kami Sunan Kalijaga,
terbitan IAIN "Sunan Kalidjaga", Yogyakarta. Atas permintaan
seorang wisatawan dari Chicago, Edward S. Churd, seorang Muslim
Sufi Amerika buku itu kini diterjemahkan dalam bahasa Inggeris.
Ki Moesa'l Machfoeld
Karangwaru Kidul 2, Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini