Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kepercayaan: bukan sunan kalijaga

Sunan kalijaga yang dikatakan bicara lewat tien wartiningsih hanyalah khayalan. dawuhnya tidak tulen menurut ratio dan ajaran agama, orang yang sudah meninggal tidak mungkin dapat bicara lagi. (kom)

27 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO 23 Oktober 1976 melaporkan tentang Pangrukti Aji, yang nama aslinya Tien Wartiningsih. Tapi soal bakunya: (I) Benarkah Sunan Kalijaga yang jelas sudah wafat itu, kini masih cakap "bicara" laksana orang hidup? Mengapa justru "lewat" Tien Wartiningsih pula? (2) Benarkah "dawuh" itu asli tulen dari Sunan Kalijaga? (3) Benarkah orang sakit bisa sembuh dengan obat do'a-do'a dari "dawuh" Sunan Kalijaga? Menurut a.b.c. dogma, kesembuhan orang sakit hanya dengan do'a tanpa sesuatu obat materiil apa pun, adalah kesembuhan kurnia dari Rahmaniyah (kemahapemurahan) Tuhan, karena doa dari sang Mursyid (orang yang terjamin kesucian pekerti lahit batinnya), entah Sunan Kalijaga, entah lain-lainnya, sebagai tanda Karomah (kekeramatan) sang pendoa. Menurut Teori llmu Ruhi (ilmu tentang roh) dari Al Quran, sebagai yang antara lain diuraikan dalam kitab Al-Mustasyfa (klinik lahir-batin) karya Al-Ghazali, adalah kesembuhan kurnia dari Rahimiyah (kemahapengasihan) Tuhan karena kekuatan kepercayaan pribadi pasien kepada pribadi sang pendoa, sebagai pembawa kurnia kesembuhan. Jadi tegasnya, kalau kepercayaan pribadi si pasien kepada sang pendoa sama sekali tidak ada, biar 1001 kali doa niscaya pasti sia-sia belaka. Pasien yang tanpa kepercayaan kepada sang pendoa sebagai pembawa kurnia kesembuhan sendirinya tak akan beroleh kurnia kesembuhan. Pada umumnya kesembuhan yang bisa diperoleh dari doa hanyalah jenis penyakit yang berkaitan dengan halihwal krida fungsionil jaringan syaraf. Seperti antara lain penyakit-penyakit gugup, gelisah, ketakutan, lemah ingatan lemah kepercayaan kepada diri sendiri, kurang percaya pada keberuntungan diri sendiri. Kepercayaan pasien kepada sang pendoa menjadi faktor yang terpenting. Tapi Ibnu Tufail, filsuf dan dokter yang kesohor menyatakan dalam kitab karya filsafi-alamiahnya Haiyun hin Yaqodlon (yang hidup tak membuta) yang orang Barat secara keliru menyebutnya Hay bin Jakzan -- bahwa kepercayaan pasien kepada dokter dengan resep obatnya pun menjadi faktor penting dalam usaha menuntut kesembuhan dari jenis penyakit non-syarafiyah. Ibnu Tufail menuliskan pula beberapa contoh yang meskipun serba filsafi-alami-romantis, namun sukar dibantah kebenarannya. Contoh-contoh itu semuanya mengenai usaha penyembuhan fisik dari macam-macam penyakit dengan macam-macam obat nabati dan jamadi (mineral) yang Haiyun bin Yaqodlon ketahui dari pengamatannya sejak kecil hingga dewasa atas kebiasaan macam-macam hewan, kawan hidupnya di pulau terpencil sejak bayi, dalam usaha penyembuhan fisik dari macam-macam penyakit yang terbiasa berhasil baik. Haiyun bin Yaqodlon percaya penuh kepada kebenaran pengetahuannya, hasil pengamatannya. Baik kebenaran pengetahuan tentang macam-macam hewan yang diamatinya maupun macammacam obat nabati dan jamadi dan kebiasaan tiap golongan hewan mempergunakan tiap macam dan jenis obat yang terbiasa dengan hasil baik. Eloknya dalam jaman modern hampir akhir abad ke-20 ini, bahan-bahan kimiawi nabati dan jamadi, gagasan Ibnu Tufail itu, peranannya dalam ilmu teori dan praktek pengobatan modern pun, nyatanya bukan tidak amat penting. Tien Wartiningsih, sudah pernah tahun 1970-1972 buka berulang kali praktek pengobatan di Yogyakarta, antara lain di kampung Numbakanyar. Pengalaman 3 orang terkemuka sekitar urusan pengobatan oleh Puteri Sakti di Numbakanyar, boleh dicatat di sini scbagai bukti tentang kebenaran teori llmu Ruhi dari Al-Quran dalam kitah Al-Mustasyfa karya Al-Ghazali. Mereka adalah seorang Guru Besar, seorang ex Menteri Keuangan Rl dan seorang ex Menteri Kabinet 100 Menteri yang pertama tinggal di Jakarta kedua lainnya di Yogyakarta. Yang pertama menderita penyakit sukar buang air kecil, yang kedua penyakit asma, yang ketiga berpenyakit sama dengan yang pertama. Sudah berobat kesana kemari, tradisionil maupun pada dokter-dokter spesialis, tapi belum juga berhasil baik hingga menjadi kisruh pikiran dan perasaan masing-masing. Sampai akhirnya mendadak dengar banyak cerita tentang "kesaktian" Putri Sakti. Dengan penuh kepercayaan beroleh kesembuhan, mereka mendaftarkan diri sebagai pasien. Tapi baru akan mendapat giliran bulan depan pada kesempatan Putri Sakti membuka praktek lagi di Yogyakarta, yang belum ditentukan tempatnya. Saking ngebetnya mau lekas sembuh, mereka bertiga bersepakat menjalankan "politik suap" terhadap si pendaftar. Saking senangnya bahwa harapan dan kepercayaannya tidak akan meleset dan mungkin sekali akhirnya akan beroleh kesembuhan -- meski belum 'menghadap' Putri Sakti -- mendadak sang Guru Besar normal kembali seperti sedia kala. Puang air kecilnya lancar tanpa kesukaran. Demikian pun halnya dengan sang ex Menteri Kabinet 100 Menteri, kontan napas-bernapasnya normal kembali seperti semula, longgar, lega. Tapi apa lacur? Setelah lima hari lima malam mereka sembuh, dan sepulang kembali dari Numbakanyar, mendadak sang Guru Besar dan ex Menteri Kabinet 100 Menteri kembali lagi penyakitnya. Apa sebab? Sebab, ketika di Numbakanyar sang Guru Besar merasa kurang dihargai pribadinya oleh Putri Sakti, hingga turunlah pula penghargaannya pada puteri itu dan sendirinya menjadi hilang pula kepercayaannya kepada sang dukun.Adapun,ex Menteri Kabinet 100 Menteri di Hotel Garuda dijemput saudaranya, dokter spesialis dari Jakarta yang merasa kesal mengapa ex Menteri sampai berobat secara takhayulan. Maka kepercayaannya akan berhasil baik berobat pada Putri Sakti pun luntur. Jadi benarlah, kepercayaan pribadi itu peranannya penting sekali dalam hal ikhwal pribadi. Ketiga orang terkemuka itu kontan pulih kembali kesehatannya ketika mendengar kepastian berhasilnya "politik suap". Jadi sama sekali bukan karena "berkah kesaktian" Putri Sakti, melainkan karena kekuatan harapan dan kepercayaan pribadi masing-masing akan kesembuhan penyakitnya. Fungsi Putri Sakti dalam hal ini hanya sebagai sandaran harapan dan kepercayaan saja. Menurut a.b.c. ajaran Islam maupun pengetahuan modern, tidak mungkin orang yang sudah wafat --lama sekali ataupun baru saja -- akan masih bisa bicara memberi "dawuh" ini-itu. Biar pun orang itu Kangjeng Sunan Kalijaga atau Kangjeng Nabi 'Isa a.s. atau pula pula Kangjeng Nabi Muhammad s.a.w. Kalau orang sudah wafat masih bisa bicara memberi "dawuh", pastilah Kangjeng Nabi Muhammad s.a.w. atau Kangjeng Nabi 'Isa a.s. yang akan mendapat prioritas. Sebab, baik kedudukan kenabian maupun "dawuh"nya, masing-masing lebih tinggi dan lebih penting sekali dari kedudukan dan "dawuh" Sunan Kalijaga. Padahal, kedua Nabi tersebut, sejak wafat hingga kini sama sekali tidak pernah memberi "dawuh". Bahwa Tien Wartiningsih berani bilang, kini Sunan Kalijaga terbiasa "bicara" lewat dia, memberi "dawuh" ihi itu, hal itu sama sekali bukan pribadi bukan pribadi Sunan Kalijaga, melainkan khayal, isi "museum batin" Tien Wartiningsih sendiri, lewat mulutnya, tentu sambil tutup-mata-kepala, merem, laksana tidur. Menurut publikasi pers, sejak masih gadis Jeng Tien gemar ulah kebatinan. Dia mempelajari spiritisme, hipnotisme dan sebagainya. Sebagai anak daerah Pantai Utara -- daerah pengaruh magis Sunan Kalijaga -- layaklah dia mengenal riwayat keagungan dan kesaktian Sunan Kalijaga. Konon, apalagi, dia masih ada hubungan darah dengan Wali Agung Tanah Jawa itu, secara langsung atau pun menyamping. Maka layak pula segala sesuatu yang berkaitan dengan keagungan dan kesaktian Sunan Kalijaga, memenuhi khayalnya memenuhi "museum batin"nya. Sampai dia menjadi seolah-olah "kranjingan" Sunan Kalijaga. Syahwat & ghodob pribadi leng Tien membakar keinsaniyahannya, hingga timbul keinginan sampai berkemauan untuk jadi "penyambung lidah" Sunan Kalijaga. Benarkah segala macam "dawuh" lewat Jeng. Tien itu asli dari Sunan Kalijaga? Kalau sempat dengar sendiri apa dan bagaimana bunyi kalimat dan maksud "dawuh" Sunan Kalijaga dikala "diterima" Jeng Tien sambil berlagak tidur, barulah kami dapat menjawab dengan pasti. Bacalah buku kami Sunan Kalijaga, terbitan IAIN "Sunan Kalidjaga", Yogyakarta. Atas permintaan seorang wisatawan dari Chicago, Edward S. Churd, seorang Muslim Sufi Amerika buku itu kini diterjemahkan dalam bahasa Inggeris. Ki Moesa'l Machfoeld Karangwaru Kidul 2, Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus