10 tahun lalu, desa Nginggil, Kecamatan Menden, Kabupaten Blora,
merupakan desa yang 'hidup'. Sebab desa di perbatasan
Jateng-Jatim di tepi Bengawan Solo itu ramai dikunjungi orang
dari kawasan Jateng dan Jatim, untuk berdukun -- kepada siapa
lagi kalau bukan kepada Mbah Suro (TEMPO, 23 Oktober). Namun
nasib menentukan lain atas dukun mashur yang kemudian ternyata
punya hubungan dengan PKI/Gestapu itu. Di bulan Maret 1967, ABRI
yang mencium praktek-praktek tak beres itu, menghancurkannya.
Tentu saja banyak korban jatuh. Yang menurut Ngasiman, Kepala
Desa Nginggil, "lebih 100 mayat terpendam di sekitar Baledesa".
Sejak itu berakhirlah 'kejayaan' desa yang berjarak sekitar 45
Km dari kota Blora itu.
Dan sejak itu pula desa tersebut sepi seperti sediakala. Sebab
meski cuma berjarak 45 Km dari kota, Nginggil tak bisa ditembus
kendaraan roda 2 sekalipun, apalagi di musim hujan, karena harus
melewati Bengawan Solo. Nginggil bukan merupakan desa terjauh
dari kota, karena dari Kecamatan Menden masih ada desa Megeri
yang harus ditempuh jalan kaki sejauh 24 Km. Untunglah Nginggil
bertetangga dengan desa Ngelo Kabupaten Banjarnegara, hingga
sedikit banvak penduduk kedua desa itu bisa saling berhubungan.
Penduduk desa Nginggil yang tak punya pasar itu, melakukan jual
beli mereka di pasar Menden yang mesti ditempuh dengan jalan
kaki sejauh 7 Km. Dan keadaan ini oleh Ny. Ngasiman, isteri
kepala desa dimanfaatkan untuk membuka warung yang menjual
kebutuhan sehari-hari, meski alasannya, "daripada duduk
menganggur".
Lagipula penduduk desa Nginggil tak punya banyak keinginan.
Rumah-rumah mereka sudah beratap genting semua berpagar secara
seragam pula. Juga tiap rumah bergapura sesuai dengan keinginan
Bupati Blora. Dan luas desa yang 39 Ha dengan penghuni 67 kepala
keluarga, tampaknya tak begitu memusingkan Ngasiman, kepala desa
yang pensiunan Peltu Polri dari Komres 945 Blora dan menjabat
kedudukannya sejak 3 hari setelah pasukan pedepokan Nginggil
dihancurkan dan Mbah Suro ditangkap. Ngasiman dibantu Carik,
Kebayan dan Modin. Semua pejabat desa ini tak banyak rewel meski
mereka cuma bergaji Rp 2000 untuk kepala desa, carik Rp 1500 dan
lainnya Rp 1000. Tanpa tanah bengkok. Dan Ngasiman pun cukup
puas dengan sarana Balai desa yang dibangun dengan Rp 800 ribu:
dari subsidi desa Rp 300.000 tambah swadaya masyarakat Rp
500.000. Ditambah sebuah Lumbung Desa dan langgar. Langgar ini
adalah bangunan bekas peninggalan Mbah Suro yang disempurnakan
dengan tambahan biaya Rp 150.000. Juga jalan-jalan desa yang
ada, semuanya warisan Mbah Suro. Belum lagi beberapa bangunan
yang masih berdiri. Hingga dengan polos sang kepala desa berucap
kepada M. Mulyono, pembant TEMPO: "Sedikit banyak Mbah Sur ikut
merintis membangun desa Nginggil. Pendeknya Kepala Desa Ngasimar
tak begitu sibuk. Hanya satu hal saja yang sedikit mengganjal
fikiran Ngasiman. Yaitu ketiadaan SD di desanya. Hingga anak
desa yang bersekolah harus menempuh jalan kaki sejauh 2 Km ke
desa Ngrawoh. Tapi ini pun tampaknya bukan salah Ngasiman. Sebab
katanya "dulu memang ada SD sampai kelas3". Tapi oleh Kantor
P dan K setempat ditiadakan, karena kurang murid".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini