KISAHNYA dimulai ketika Dr. M.H.F. Hoofsteed berbincang-bincang
mengenai penyebab komersialisasi jabatan dan usaha mengatasinya.
Mahasiswa tingkat lima jurusan akuntansi Institut llmu Keuangan
Bandung sangat interesan. Debat pun hiruk-pikuk.
Syahdan, di meja pak doktor tertumpuk segala macam koran dan
majalah, yang dianggap paling bagus memperjelas praktek
komersialisasi jabatan. Di dalamnya terkandung berbagai
tanggapan, kesaksian, wawancara dan pendapat-pendapat dari yang
sudah merasakan nikmatnya komersialisasi jabatan mau pun yang
belum.
Calon-calon akuntan yang 90 orang itu kini membayangkan betapa
kenyang pihak-pihak yang mengurus Krakatau Steel, yang menurut
Der Spiegel, sepertiga dari harga kontraknya adalah uang
pelicin. Mereka membayangkan pula tindakan Pemerintah untuk
membuktikan bahwa yang sepertiga itu adalah hanya isyu.
Perihal kambing hitam komersialisasi jabatan, rupanya
macam-macam. Ada yang bilang karena kekuasaan, ada pula karena
pengaruh lingkungan, gaji yang tidak memadai, kebiasaan, dan
puluhan alasan lain. Tapi ada juga yang menuding: pembangunan
yang meningkat mempunyai andil besar dalam menumbuhkan
komersialisasi jabatan.
Ketika pak doktor bertanya bagaimana usaha mengatasinya, para
mahasiswa menyadari juga bahwa masalah ini nantinya akan
termasuk tugas mereka. Beberapa usul, dari yang cengeng sampai
yang berbobot bermunculan. "Tetapkan batas gaji minimum", ujar
seorang mahasiswa. "Tanaka dan sang Pangeran yang bergaji besar
toh justru mengkomersilkan jabatannya", sanggah yang lain.
"Bagaimana kalau dibentuk Badan Penggerak Penindakan
Penyalahgunaan Jabatan? Anggota-anggotanya dipilih dari mereka
yang sudah MPP, tapi yang jujur dan disegani", usul sebuah
suara. Ada lagi yang bilang: "Perlancar mutasi pejabat".
Sementara itu ada yang mengalihkan perhatian kepada para kyai,
pastor dan pendeta, agar ikut berpartisipasi memperbaiki mental
pegawai. Secara kontinyu memberikan ceramah agama di tiap
instansi pemerintah maupun swasta.
Soalnya memang seperti lingkaran setan. Mau membentuk badan yang
terdiri dari orang-orang jujur sebagai penindak, wah sukar.
Siapa yang jujur? Jangan-jangan yang dianggap jujur juga akan
mengkomersilkan kejujurannya. Perkara melarang swasta memberikan
uang pelicin, ah, rasanya seperti tidak mungkin. Masalahnya
sudah jelas: mereka tidak mau mati.
Ada lagi usul: "Tindak tegas si pelaku setelah ada bukti". Lha
bukankah bukti-buktinya yang sukar didapat? Mereka kan
orang-orang licin. Lalu bagaimana? "Gampang", tulis Mahbub
Djunaidi, "DPR harus merasuk ke mana-mana, selidik pejabat dan
tanya swasta gerangan apakah bentuk hubungan antar keduanya,
ongkos palsu dan dana gelap apakah yang biasa mampir kian
kemari. Bukankah DPR punya hak?
Kalau saran Mahbub dijalankan, rakyat harus berdoa agar
wakil-wakilnya tidak mengkomersilkan pula haknya. Lagi pula
pihak swasta mana yang sukarela membeberkan tingkah-pola si
pejabat? "Buka suara sama dengan menjerat leher", ujar seorang
mahasiswa. Kesimpulan: obat penyembuh belum diperoleh.
Kalau memang penyakit itu tidak dapat diobati lagi, mengapa
tidak dimanfaatkan saja? Biarkan mereka menumpuk kekayaan,
menjadi pengusaha mendirikan pabrik-pabrik. Pemerintah tinggal
pungut pajak dan penganggur pun memperoleh kesempatan kerja.
Yang penting jangan sampai uang mereka terhambur ke luar negeri
secara tidak produktif. Si pelaku dimanfaatkan ibarat pelawak
yang dapat memanfaatkan keunikan tubuh.
Bahwa penyakit itu diidap oleh hampir seluruh bangsa, tidak
perlu diulangi. Hanya, wabah tersebut rasanya belum terdengar di
RRC. Soalnya Mao Tsetung almarhum mengamalkan pola hidup
sederhana yang ketat. Dan RRC memang negara aneh, sumbangan
bencana alam saja ditolak. Kelewatan.
A. KADIR RAHMAN
Jl. Teuwi Gajah No. 15A, Cimindi, Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini