Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Komersialisasi Jabatan: Ibarat ...

Cara pemberantasan kebiasaan mengkomersilkan jabatan belum ditemukan. sulit diatasi karena berkaitan dengan struktur, sistem dan situasi serta administrasi negara yang sedang membangun. (kom)

27 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KISAHNYA dimulai ketika Dr. M.H.F. Hoofsteed berbincang-bincang mengenai penyebab komersialisasi jabatan dan usaha mengatasinya. Mahasiswa tingkat lima jurusan akuntansi Institut llmu Keuangan Bandung sangat interesan. Debat pun hiruk-pikuk. Syahdan, di meja pak doktor tertumpuk segala macam koran dan majalah, yang dianggap paling bagus memperjelas praktek komersialisasi jabatan. Di dalamnya terkandung berbagai tanggapan, kesaksian, wawancara dan pendapat-pendapat dari yang sudah merasakan nikmatnya komersialisasi jabatan mau pun yang belum. Calon-calon akuntan yang 90 orang itu kini membayangkan betapa kenyang pihak-pihak yang mengurus Krakatau Steel, yang menurut Der Spiegel, sepertiga dari harga kontraknya adalah uang pelicin. Mereka membayangkan pula tindakan Pemerintah untuk membuktikan bahwa yang sepertiga itu adalah hanya isyu. Perihal kambing hitam komersialisasi jabatan, rupanya macam-macam. Ada yang bilang karena kekuasaan, ada pula karena pengaruh lingkungan, gaji yang tidak memadai, kebiasaan, dan puluhan alasan lain. Tapi ada juga yang menuding: pembangunan yang meningkat mempunyai andil besar dalam menumbuhkan komersialisasi jabatan. Ketika pak doktor bertanya bagaimana usaha mengatasinya, para mahasiswa menyadari juga bahwa masalah ini nantinya akan termasuk tugas mereka. Beberapa usul, dari yang cengeng sampai yang berbobot bermunculan. "Tetapkan batas gaji minimum", ujar seorang mahasiswa. "Tanaka dan sang Pangeran yang bergaji besar toh justru mengkomersilkan jabatannya", sanggah yang lain. "Bagaimana kalau dibentuk Badan Penggerak Penindakan Penyalahgunaan Jabatan? Anggota-anggotanya dipilih dari mereka yang sudah MPP, tapi yang jujur dan disegani", usul sebuah suara. Ada lagi yang bilang: "Perlancar mutasi pejabat". Sementara itu ada yang mengalihkan perhatian kepada para kyai, pastor dan pendeta, agar ikut berpartisipasi memperbaiki mental pegawai. Secara kontinyu memberikan ceramah agama di tiap instansi pemerintah maupun swasta. Soalnya memang seperti lingkaran setan. Mau membentuk badan yang terdiri dari orang-orang jujur sebagai penindak, wah sukar. Siapa yang jujur? Jangan-jangan yang dianggap jujur juga akan mengkomersilkan kejujurannya. Perkara melarang swasta memberikan uang pelicin, ah, rasanya seperti tidak mungkin. Masalahnya sudah jelas: mereka tidak mau mati. Ada lagi usul: "Tindak tegas si pelaku setelah ada bukti". Lha bukankah bukti-buktinya yang sukar didapat? Mereka kan orang-orang licin. Lalu bagaimana? "Gampang", tulis Mahbub Djunaidi, "DPR harus merasuk ke mana-mana, selidik pejabat dan tanya swasta gerangan apakah bentuk hubungan antar keduanya, ongkos palsu dan dana gelap apakah yang biasa mampir kian kemari. Bukankah DPR punya hak? Kalau saran Mahbub dijalankan, rakyat harus berdoa agar wakil-wakilnya tidak mengkomersilkan pula haknya. Lagi pula pihak swasta mana yang sukarela membeberkan tingkah-pola si pejabat? "Buka suara sama dengan menjerat leher", ujar seorang mahasiswa. Kesimpulan: obat penyembuh belum diperoleh. Kalau memang penyakit itu tidak dapat diobati lagi, mengapa tidak dimanfaatkan saja? Biarkan mereka menumpuk kekayaan, menjadi pengusaha mendirikan pabrik-pabrik. Pemerintah tinggal pungut pajak dan penganggur pun memperoleh kesempatan kerja. Yang penting jangan sampai uang mereka terhambur ke luar negeri secara tidak produktif. Si pelaku dimanfaatkan ibarat pelawak yang dapat memanfaatkan keunikan tubuh. Bahwa penyakit itu diidap oleh hampir seluruh bangsa, tidak perlu diulangi. Hanya, wabah tersebut rasanya belum terdengar di RRC. Soalnya Mao Tsetung almarhum mengamalkan pola hidup sederhana yang ketat. Dan RRC memang negara aneh, sumbangan bencana alam saja ditolak. Kelewatan. A. KADIR RAHMAN Jl. Teuwi Gajah No. 15A, Cimindi, Bandung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus