AMBANG Sungai Barito yang dikeruk bulan Agustus 1975 silam,
sudah selesai dan diresmikan pemanfaatannya oleh Presiden
Soeharto tanggal 5 Nopember 1976 kemarin. Walau begitu tokh
omongan tak sedap masih terdengar juga -- sekurang-kurangnya
bersumber dari mereka yang sering mendengar janji. Soalnya,
"Jemaah haji kapal laut Kalsel tahun 1977 mendatang, boleh naik
langsung di Pelabuhan Trisakti Banjarmasin. Itu bila Ambang
Sungai Barito selesai dikeruk", begitu kata banyak pejabat di
daerah itu dua tahun lampau. Yaitu ketika pengerukan baru
dimulai. Sehingga "calon jema'ah haji di daerah ini tidak perlu
lagi repot-repot ke Surabaya sebelum meneruskan perjalan ke
Tanah Suci. Cukup dari sini". Begitu bunyi janji lagi.
Kini proyek yang menelan biaya US $ 12 juta itu sudah selesai,
tapi calon jema'ah haji tahun depan masih harus liwat Tanjung
Perak Surabaya. "Benarkah itu Pak Bardjo?" tanya TEMPO kepada
Gubernur Kalimantan Selatan. Nah, "itulah soalnya", sahut
gubernur Haji Subardjo. Diakuinya jema'ah Kalsel memang belum
bisa langsung turun atau naik di Pelabuhan Trisakti.
Bukan Soal Kenapa
Gubernur Subardjo memang membuka kartu prihal kehendak warganya
akan hal keberangkatan ke Jeddah langsung dari Trisakti itu.
Menurut gubernur semula memang terbias maksud untuk mengeruk
Ambang Barito sampai kedalaman tertentu sehingga kapal haji
dapat merapat. Namun ia menolak kalau dikatakan bahwa rencananya
tidak kesampaian. Sebab kedalaman yang dikeruk dan telah
diresmikan itu, baru mencapai kedalaman 6 meter. Padahal kapal
haji memerlukan kedalaman minimal 10 M baru bisa leluasa
memasuki pelabuhan Trisakti. Artinya, dengan kedalaman 10 M itu,
lumpur harus dihisap paling tidak 12.800.000 M3. Kenapa tidak
langsung dikeruk hingga mencapai kedalaman itu? "Bukan soal
kenapanya tidak", ujar Subardjo nyaris berbisik, tapi,"artinya
biaya kali dua. Biaya yang dua kali itulah yang belum ada. Namun
rencana tetap ada". Kata gubernur yang haji ini pula, rencana
itu baru bisa terwujud dengan tergantung pada pemanfaatan alur
Ambang Sungai Barito itu sendiri. "Pokoknya kita lihat dulu
manfaatnya", katanya.
Keyakinan akan bermanfaatnya alur yang sepanjang 14.300 Km
dengan lebar 100 M itu agaknya sudah jelas. Misalnya seperti
yang terlihat pada acara peresmian itu, kapal Korea yang
bertonase 6000 DWT bermuatan penuh 600 ribu M3 kayu gelondong,
dilepas. Juga seperti yang terbayang berdasarkan perhitungan
Mudjiman SH, Kedapel V Banjarmasin, "volume ekspor kayu yang
tadinya cuma 800.000 M3/tahun, akan melonjak 2.000.000 M3",
katanya. Tapi ini baru di sektor kayu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini