Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah tuanya tampak gembira tapi matanya berkaca-kaca ketika patung itu resmi ia serahkan kepada Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Sebelumnya, perguruan tinggi seni ini menganugerahkan penghargaan Empu Ageng Seni kepada laki-laki itu, seniman patung Edhi Sunarso. Kegembiraan Edhi pada Kamis dua pekan lalu itu makin lengkap ketika ia akhirnya, pada saat yang sama, bisa menggelar pameran tunggal pertama, pada usia 77 tahun, dengan memamerkan 45 karya patung individual di Jogja Gallery.
Sosok yang tergambar pada patung itulah soalnya. Patung berjudul Potret Wajah Terakhir Putra Fajar itu menghasilkan siluet potret diri Bung Karno, presiden pertama republik ini, yang mengakhiri pengabdiannya lewat sakit dan menjadi tahanan rumah. Potret diri Bung Karno terbentuk dari campuran garis-garis tegas abstrak geometris dengan garis-garis representasional dari bahan tembaga dengan teknik las kenteng. Ada rantai dan gembok, simbol pemenjaraan dirinya. Hasilnya: citraan sosok Soekarno yang keras hati tapi punya perasaan halus. โTokoh yang dekat dengan kesenian dan sangat menghargai seni,โ tulis Edhi dalam kaยญtalog pameran.
Rasa haru Edhi tidak mengadaada. Soekarnolah yang menyebabkan Edhi berkutat dalam proyek pembangunan banyak patung monumen dan diorama sejarah sepanjang kariernya sebagai seniman patung. Keterlibatannya pertama kali dengan proyek patung moยญnumen dan diorama sejarah adalah berkat kecerdikan Bung Karno dalam mengobarkan rasa patriotisme dan naยญsionalisme dalam diri Edhi, yang pernah bergerilya pada masa revolusi. Pada usia belasan tahun, Edhi pernah menjadi komandan pasukan sabotase, bergerilya dari lima kantong gerilya di Jawa Barat; ia pernah tertangkap Belanda dan dibui selama tiga tahun.
Sebagai bekas gerilyawan, tantangan Bung Karno, tugas menggarap proyek patung Selamat Datang pada 1958, membuat Edhi tak tahan. Patung setinggi sembilan meter itu dari perunggu, dirancang untuk mempercantik Jakarta yang akan menyambut kedatangan 144 delegasi olahraga negara yang baru lepas dari cengkeraman kolonialisme dikenal dengan sebutan The New Emerging Forces.
Kala itu Soekarno menantang naยญsionalisme Edhi: apakah harus mendatangkan seniman asing untuk menggarap patung itu? Tantangan ini membuat Edhi melupakan kenyataan bahwa ia belum pernah membuat patung setinggi itu. โJangankan sembilan meter, sembilan sentimeter pun (saya) belum pernah membuat patung dari perunggu,โ ujar Edhi. Lima tahun sebelumnya, ia memang pernah membuat monumen Tugu Muda di Semarang bersama Sanggar Pelukis Rakyat, tapi dari bahan batu. Saat itu juga belum ada bengkel yang punya pengalaman mengecor perunggu. Toh, patung Selamat Datang selesai juga, meski tingginya berkurang menjadi enam meter.
Dalih nasionalisme pula yang digunakan Bung Karno untuk memaksa Edhi menerima tawarannya membuat diorama di Monumen Nasional. โSaya bukan saja tidak pernah membuat diorama, tapi bahkan saya tidak pernah melihat seperti apa itu diorama,โ katanya. Bung Karno tak peduli. Edhi akhirnya setuju. Ia pulang ke Yogya berbekal empat jilid buku yang disusun 23 sejarawan senior.
Kisah selanjutnya adalah sejarah patung monumen di Indonesia yang meยญngukuhkan Edhi sebagai salah seorang pelopor seni patung modern Indonesia. Ia mengerjakan 11 patung monumen sejak 1953 hingga 2000 dan sembilan diorama sejarah. Dari monumen Tugu Muda di Semarang hingga monumen pahlawan Ida Bagus Japa di Bali; dari diorama sejarah di Monumen Nasional Jakarta pada 1963 hingga diorama sejarah Museum Tugu Pahlawan 10 November di Surabaya pada 2003.
Reputasinya sebagai pematung moยญnumen bukannya tak berisiko. Pernah suatu ketika ia dikenal sebagai pematung proyek atau seniman patung pesanan. Toh, ia tak peduli. โSaya membuat patung monumen sebagai pengยญabdian,โ katanya. Sebagian besar hiยญdupnya, selain sebagai dosen ยญpatung di Sekolah Tinggi Seni Rupa ASRI Yogyakarta (kini ISI Yogyakarta), ia habiskan untuk menggarap patung monumen dan diorama sejarah. โSaya sebagai seniman terkadang merasa jeยญnuh dengan pekerjaan diorama ini. Bukan hanya waktu pengerjaannya sangat lama, kebebasan berekspresinya pun ikut terkungkung,โ ujar Edhi. Tak aneh, sebagai seniman patung, karya patung individualnya sedikit jumlahnya, sebagaimana yang dipamerkan di Jogja Gallery itu.
Sebagai pembuat patung monumen dan diorama sejarah, Edhi harus taat dengan narasi untuk menggalang rasa nasionalisme. Secara visual pun ia harus menggunakan citraan realis. Pada patung monumen, ia menampilkan figur ekspresif, sangat maskulin, dan punya karakter gerak. Misalnya karya patung Pembebasan Irian Barat, berupa sosok pria dengan tubuh berotot, tangan mengepal, dan mulut terbuka seperti sedang berteriak. Pada karya patung Dirgantara di Jakarta, sosok laki-laki dengan kaki kukuh menopang tubuh melengkung bak siap melesat ke udara. Kemampuan membuat patung realis ia peroleh dari gurunya, pelukis Hendra Gunawan, yang juga membuat patung pada masa itu, hingga mempelajari anatomi dari dosen Universitas Gadjah Mada.
Tapi, pada karya individualnya, Edhi bergerak lebih dinamis. Ia menggarap patung dari citraan realis ke bentuk deformatif (pemiuhan) hingga abstrak. Perubahan itu tampak sejak ia belajar di Departemen Seni Rupa Universitas Visva Bharati, Shantiniketan, India, pada 1955. Kecenderungan baru itu berlanjut setelah ia kembali ke Indonesia dua tahun kemudian. Pada sejumlah karyanya, ia memanfaatkan keindahan serat kayu sonokeling untuk mengolah bentuk, volume, dan ruang, yang menghasilkan abstraksi bentuk figur atau torso wanita.
Pada beberapa karya, Edhi bahkan nyaris meninggalkan bentuk figur manusia. Hanya kesan gerak dan beberapa bagian yang secara samar mengisyaratkan bagian tubuh manusia. Misalnya pada karya Torso#1 (1958), berupa torso perempuan yang menunjukkan bagian pinggul ke bawah melebar, sedangkan tubuh bagian atas meliuk langsing dengan dua buah dada hanya berupa gundukan kecil. Pada karya ini, gerak tubuh wanita yang gemulai diolah lewat penyederhanaan bentuk sehingga menampilkan sensualitas yang lembut. โInilah yang menjadi ciri khas karyanya,โ ujar Anusapati, kurator pameran.
Merebaknya modernisme lewat gaya abstrak (nonrepresentasional) pada 1970-an tak banyak berpengaruh pada karya patung Edhi. Hanya beberapa karyanya yang betul-betul bercorak abstrak, misalnya Keseimbangan, berupa dua pilar melengkung secara hoยญrizontal dengan dua bentuk bulat pada ujung yang berbeda. Sebaliknya, abstraksi bentuk figurlah yang paling menonjol pada karya individual Edhi, yang kemudian berpengaruh pada karya banyak seniman patung yang ia didik di Sekolah Tinggi Seni Rupa ASRI.
Berbeda dengan pematung lain yang kebanyakan hidup dari karya ยญpatung individual, Edhi hidup sepenuhnya dari proyek patung. Selama itu, ia hanya bisa mengikuti pameran patung bersama. Edhi baru bisa menggelar pameran tunggal saat perannya surut dengan usia yang menua, ketika rezim politik berganti, saat gelora nasionalisยญme bukan lagi merupakan proyek politik yang seksi. Tapi satu hal yang tak dapat disangkal, dialah perintis patung moยญnumen di negeri ini, dengan mengยญubah kemustahilan teknis menjadi keniscayaan.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo