SEJUMLAH karya Mardian, sebagian besar bertahun 1977 dan
beberapa lainnya terhitung lama (tahun 50-an) dipajang di Baiai
Budaya 26-31 Oktober. Ada sesuatu yang terasa lain dengan
pameran-pameran yang dua tiga tahun belakangan ini terasa
meningkat frekwensinya.
Mardian menyuguhkan karya supidol atau potlot konte atau pena
dan tinta cina pada kertas. Ada juga cat air pada kertas dan
akrilik pada kanvas, tapi hanya kira-kia empat atau lima buah.
Dalam soal ukuran, ia menarik karyanya kecil-kecil, bahkan ada
yang seperempat kartu pos. Memarlg bukan soal ukuran lukisan,
kalau kita hendak bicara tentang mutu. Namun pada Mardian hal
itu menarik karena ruang pameran Balai Budaya tiba-tiba terasa
lebih akrab. Karya-karya itu mengundang untuk diamati secara
cermat, karena ukurannya yang mini.
Konon Mardian terjun ke dalam seni lukis abstrak atau
non-figuratif setelah menyaksikan pameran iukisan Salim, itu
pelukis Indonesia yang bermukim di Paris. Pameran Salim ia
saksikan tahun 1956. Anehnya, dalam pameran Mardian kali ini,
karya-karya yang mempunyai jejak (meski remang-remang) Salim
justru karya-karya tahun pertengahan tujuh puluhan. Karya
nonfiguratifnya sebelum itu justru lebih bisa dikatakan
non-figuratif linier, yang lebih kurang mengingatkan akan karya
Hans Hartung.
Tidak terlalu penting bagi saya untuk menjejaki sepuh mana
Hatung mempengaruhi Mardian. Soalnya, sebagaimana kebanyakan
pelukis Indonesia, pengaruh Barat dalam karya hanyalah pengaruh
permukaan. hanya sedikit mengetahui laar belakang karya dan
pelukis yang menarik hatinya -- dan lebih banyak "belajar" dari
reproduksi! Itu bisa berarti positif, karena tidak menelan
bulat-bulat karya orang lain, tapi hanya kulit.
Namun bisa juga berarti negatif sebab tak tahu pasti kenapa
orang lain berkarya demikian. Dan karena karya orang lain yang
"mempengaruhi" pelukis kita biasanya karya tahun 50-an ke atas,
bisa dipastikan negatifnya lebih banyak. Soalra, sejarah seni
rupa Barat setelah tahun 50-an lebih menekankan pentingnya
konsep daripada karya itu sendiri sehingga hanya 'meniru'
bentuknya bisa membingungkan untuk pekerjaan selanjutnya.
Mitologi Jawa
Karya Mardian yang garis-garis, atau blok-blok warna dengan
supidol, emang menenteramkan dilihat. Tak ada kesan bergolak,
tak ada kesan mau aneh, lahir begitu saja, mulus dan memang tak
memberi apa-apa yang berbekas pada kita -- selain itu dibuat
oleh tangan yang sedikit-banyak telah mengenal estetika. Santai,
mungkin predikat yang tepat.
Itu mengingatkan saya akan lukisan tradisi Jepang dan Tiongkok
ketika telah terpengaruh Zen Budhisme: lukisan yang lahir begitu
saja, nyaris sembarangan, namun terasa berbobot. Nah, bobot
inilah yang kurang pada Mardian. Barangkali karena landasan
"kesantaian"nya belum ada. Ia melukis begitu karena memang tak
tahu mau mengerjakan yang bagaimana. Itu kesan saya.
Ada beberapa karya yang menarik: gambar kepala manusia
bercambang yang matanya menyorot ayam jantan hingga mati. Gambar
puteri duyung. Gambar garis-garis dan di sela-sela ada tulisan
seperti tulisan di tembok-tembok pinggirjalan. Karya-karya
tersebut bertahun 50-an. Ada suatu cerita agaknya yang hendak
digambarkan, dan cerita itu mungkin berasal dari dunia, yah,
katakanlah dunia kebatinan Jawa. Mungkin bau klenik. Tapi, cara
mewujudkannya dalam gambar menarik.
Nah itu mungkin satu landasan yang baik bagi Mardian (50 tahun)
untuk karya-karyanya, jika ia setuju. Ia nampak lebih punya
kontrol menyuguhkan gambar demikian dari pada Sukimo misalnya,
yang kesan dibuat-buatnya lebih kuat terasa. Kalau mitologi
Yunani pernah menjadi tema pelukis Eropa, mungkin cerita rakyat
kita bisa menjadi tema lukisan yang menarik. Tentu saja
bentuknya musti dicari lagi agar klop.
BB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini