Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Replika istana itu dikerjakan sekitar 1.300 pekerja, termasuk seniman patung dan lukis Thailand yang bekerja siang-malam. Dibutuhkan sekitar 7.000 lembar kayu lapis, 4.000 meter persegi marmer, dan 5 juta buah paku. Dan para pekerja itu menghabiskan sebanyak 45 ribu botol air mineral.
Untuk membangun istana raja Siam, sutradara Andy Tennant dan timnya mengunjungi istana yang sesungguhnya selama beberapa kali untuk mendapatkan detail yang lengkap. Pembangunan istana ini juga diawasi ahli dari Thailand untuk menjamin akurasi kebudayaan dan tradisi Thai yang sesungguhnya. Mereka juga mendirikan sebuah rumah di sekitar istana, yang menjadi tempat tinggal Anna selama mengajar di sana. Properti lainnya yang juga kolosal adalah pembangunan dermaga untuk melabuhkan perahu naga Kerajaan Siam yang megah.
Selain membangun "istana Siam" di Malaysia, Tennant juga mengimpor aktor Hong Kong terkemuka, Chow Yun-Fat, untuk memerankan Raja Mongkut. Tidak seperti dalam beberapa film sebelumnya, Replacement Killers atau The Corruptor, ketika ia selalu menjadi aktor laga yang tangguh, Chow Yun-Fat kini melakukan sebuah transformasi. Kini dia memasuki sebuah karakter baru, seorang raja yang menginginkan pembaruan di dalam negerinya: ilmu pengetahuan. Untuk memerankan Raja Mongkut, Chow Yun-Fat bukan memperlihatkan sebuah sikap jantan secara fisik, melainkan dengan sikap elegance yang memesona. "Dalam film laga saya harus menggenggam senjata, sedangkan dalam film ini saya dikelilingi para selir. Jadi, saya lebih memilih film ini," kata Chow sambil tergelak.
Kegembiraan Chow boleh jadi mewakili suasana hati seluruh awak tim. Maklumlah, jauh hari sebelum syuting ini berlangsung, mereka kerap mendapatkan berbagai hambatan. Salah satu hambatan awal yang mereka hadapi adalah ketika mereka tidak mendapat izin untuk melakukan syuting di Thailand, tempat yang menjadi setting cerita. Dewan Film Thailand tidak memberikan restu bagi mereka untuk melakukan pengambilan gambar di sana. Film The King and I karya Water Lang dengan Yul Brynner sebagai Raja Mongkut dan Deborah Kerr sebagai Anna Leonowens, yang dibuat pada 1956, agaknya masih meninggalkan trauma buat mereka. Film itu dianggap melecehkan Raja Mongkut, yang dihormati segenap rakyat Thailand.
Upaya negosiasi sebetulnya memang sudah dilakukan. Pihak studio 20th Century Fox sudah bersedia merombak naskah, dengan tujuan pihak kerajaan mau luluh hati. Namun, keputusan itu tidak bisa ditawar lagi. Syuting tetap tidak boleh dilakukan di Thailand. Dewan Film tidak menyukai adegan dalam naskah itu, antara lain adegan saat Louis, anak Anna Leonowens, menirukan gaya bicara dan berjalan sang raja. Adegan lain yang disetrip spidol merah adalah komentar yang meluncur mengenai jumlah istri dan selir raja. Secara umum, Dewan Film mengeluhkan penokohan Anna sebagai orang yang jauh lebih perkasa dibandingkan dengan raja dalam banyak hal.
Seorang anggota Dewan Film mengkhawatirkan munculnya krisis politik jika mereka memberikan lampu hijau untuk membuat film di sana. "Mereka tidak berubah terhadap setiap orang yang berteriak tentang sang raja," kata Jodie Foster, pemeran Anna Leonowens.
Film Anna and the King memang bukanlah sebuah proses ulang dari film musikal The King and I, yang juga dibuat berdasar pada catatan harian Leonowens. Film yang dibuat oleh Walter Lang itu memang jauh lebih menekankan stereotip orang Timur dan superioritas Barat. Mungkin, dalam beberapa hal, film Anna and the King bisa dikatakan lebih simpatik dibandingkan dengan pemenang Oscar 1956 itu. Namun, syuting di sana tetap dilarang. Andy Tennant, sang sutradara, terpaksa putar otak mencari lokasi lainnya. Pertimbangannya: tempat itu harus memiliki karakteristik yang sama dengan Thailand. Tak cuma perihal iklim tropis, lokasi itu juga harus memiliki tumbuhan dan satwa yang mirip dengan Thailand. Setelah mengembara di berbagai tempat, antara lain mengunjungi Bali dan Kalimantan, akhirnya Tenant memutuskan untuk berlabuh di Malaysia.
Maka, terjadilah "impor" istana Siam itu. Pembangunan istana Siam ini merupakan pos biaya yang paling besar dari keseluruhan anggaran sekitar US$ 70 juta. Properti lainnya yang tak kalah dahsyat adalah kostum pemain, yang menghabiskan sekitar 15 kilometer kain sutra Thailand. Pos yang besar lainnya adalah honor pemain. Misalnya, aktris Jodie Foster diganjar US$ 15 juta untuk memerankan Anna Leonowens. Inilah jumlah honor aktris termahal di Hollywood, yang hanya bisa ditandingi Julia Roberts.
Jodie Foster sebetulnya merupakan pemain pengganti dari dua aktris yang menolak bermain dalam film itu, yaitu Kate Winslett, yang melejit dalam film Sense and Sensibility dan Titanic, dan Gwyneth Paltrow, aktris yang baru saja memenangi Piala Oscar untuk peran Viola de Lesseps dalam film Shakespeare in Love. Foster merasa tertantang untuk memerankan seorang yang dianggap tidak biasa oleh kebanyakan orang pada saat itu. "Kedua orang itu (Raja dan Anna) merupakan orang yang berbeda di tengah masyarakat yang konvensional saat itu," tutur Foster.
Pemain lainnya yang menolak kesempatan untuk berperan dalam film ini adalah aktris Indonesia Ayu Azhari. Sesungguhnya, Ayu Azhari, yang bernama asli Khadijah ini, mengaku ditawari agennya di Amerika Serikat untuk melakukan audisi peran Tuptim, salah satu selir sang raja yang akhirnya dihukum penggal. "Calonnya bukan hanya saya. Mungkin juga ada dari Burma, mungkin dari Malaysia, bahkan dari Indonesia, selain saya mungkin ada," kata Ayu, merendah.
Belum lagi pasti mendapatkan peran itu, Ayu langsung menolaknya. Sebab, bagi Ayu, ia hanya akan mendapat peran pelengkap. "Mengutip kata Pak Teguh Karya, lebih bagus jadi kepala semut daripada buntut gajah," katanya. Ia memilih menjadi bintang utama, sekalipun dalam film kelas B Hollywood macam Without Mercy, yang pernah dibintanginya.
Jalan cerita ini pula yang kemudian memunculkan sejumlah kemarahan bagi pihak-pihak yang dekat dengan Kerajaan Thailand. Di mata mereka, film ini menyimpang dari fakta sehingga sulit membedakan antara fakta dan fiksi. Kalaupun film ini dianggap karya fiksi, toh, Anna and the King melibatkan nama-nama dan tempat yang ada dalam literatur sejarah Thailand, sementara sebagai film sejarah, terlalu banyak hal-hal yang tidak masuk akal yang dipertontonkan dalam film ini. Hal-hal yang dipertanyakanyang disajikan dalam film itumisalnya adalah betapa dekatnya hubungan sang Raja dengan Anna. Bahkan, tersirat keduanya saling jatuh cinta. Anna juga digambarkan memiliki akses yang luas dibandingkan dengan istri raja sendiri. Padahal, dalam kenyataannya, dia hanya beberapa kali bertatap muka dengan raja. Selain itu, untuk diterima menjadi guru kerajaan, Leonowens harus menemui sang raja selama 60 kali. Namun, dalam film itu, ia langsung diterima sang raja.
Yang tak kalah konyol adalah adegan ketika Anna ditugasi untuk mempersiapkan pertemuan Raja Mongkut dengan delegasi Inggris. Di sana diperlihatkan sang Raja dan punggawa lainnya tengah belajar memakai sendok. Padahal, dalam literatur sejarah, sebelum merekrut Anna, pada 1855 sang Raja telah beberapa kali mengadakan pertemuan dengan bangsa Inggris, sedangkan Anna sendiri datang ke Bangkok pada 1862.
Dengan pertimbangan itu, Dewan Film Thailand memutuskan untuk melarang pemutaran film itu di Thailand. Menurut Reuters, setelah bersidang selama empat jam, 19 anggota badan sensor mengambil keputusan pelarangan tersebut. "Pelarangan ini (dibuat) berdasarkan undang-undang sensor tahun 1930, yang melarang pembuatan film yang melukiskan monarki Thailand dengan cara yang tidak hormat," kata Kepala Badan Sensor, Mayor Jenderal Polisi Prakat Sataman.
Ditambahkannya, mereka mencatat lebih dari 30 poin yang dianggap melukai monarki dan tidak bisa diterima oleh rakyat Thailand. Di Negeri Gajah Putih itu, penghinaan terhadap keluarga kerajaan dianggap sebagai kejahatan serius dan diancam hukuman penjara cukup lama. Adegan-adegan yang dianggap tidak sesuai misalnya penggambaran Mongkut ketika menunggang gajah, yang seperti seorang koboi.
Penduduk Thailand dilarang menonton film ini di mana pun dengan media apa pun. Mereka juga memerintahkan kepolisian untuk menahan orang-orang yang menjual atau memiliki kopi film itu di Thailand. Siapa saja yang melanggar ketentuan itu akan dijatuhi hukuman penjara satu tahun atau denda 10.000 baht. Beberapa pekan silam, polisi menahan seorang pria dan wanita di kawasan Pratunam yang menyimpan 400 keping VCD film itu.
Namun, dari kalangan Istana sendiri, Pangeran Chatri, seorang kemenakan Raja Bhumibol, merasa tidak terganggu dengan film itu. "Tidak ada orang Thailand yang berpikir bahwa itu merupakan kisah nyata," katanya.
Raja Bhumibol sekali waktu pernah menyebutkan penampilan Yul Brynner sebagai Mongkut dalam The King and I sebagai sebuah karakter yang simpatik. Sementara itu, suatu ketika, juru bicara sang ratu mengatakan Ratu Sirikit amat menyenangi penampilan Yul Brynner di Broadway pada 1985. "Dia amat menyenangi pertunjukan itu."
Namun, terlepas dari sikap pihak kerajaan, film ini memang mengundang kontroversi. Dalam sebuah industri, hal itu boleh jadi sengaja dilakukan demi melonjaknya popularitas. Namun, menurut eksekutif produser Jon Jashni, Anna and the King sebenarnya merupakan pencerminan kepongahan Barat. "Film ini berkisah tentang arogansi Barat bertemu dengan Timur," katanya. Cuma, tampaknya, mereka harus mengingat bahwa sejarah dibentuk oleh mereka yang berkuasa sehingga upaya penafsiran sejarah dalam bentuk visual semegah apa pun pasti akan berbenturan dengan "pencatat sejarah".
Irfan Budiman dan Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo