Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Malaikat dari Lembah Yordania

Ahmad Ijazi Hasbullah, penulis yang lahir di Rengat, Riau. Buku kumpulan sajaknya, Bahtera, memenangi Anugerah Sagang 2015. 

7 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Malaikat dari lembah Yordania

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malaikat dari Lembah Yordania
Ahmad Ijazi Hasbullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI lantai atap The Sephardic House Hotel, pusat Kota Tua, Letnan Asher Theophilus duduk bersandar di sebuah reclining chair, sambil menatap layar ponsel Android-nya dengan sorot mata yang menyala. Foto seorang ibu muda yang sedang memeluk putra kecilnya di antara puing-puing reruntuhan gedung Tepi Barat melintas di laman Instagram-nya. Caption yang menyertainya sangat memilukan. Meski foto itu viral, ia sangat membencinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinar terik matahari di langit Yerusalem Timur masih mencakarkan panasnya yang membakar. Mata Letnan Asher Theophilus yang menyala perlahan-lahan meredup, lalu mengatup dengan sempurna. Bersamaan dengan sengal yang meletup-letup di dadanya, kristal bening kepiluan meluncur deras dari kedua sudut matanya yang dipejamkan. 

"Carissa Maggie...." Letnan Asher Theophilus membisikkan nama mendiang istrinya itu dengan lirih. Hari ini adalah tanggal ulang tahunnya. Perayaan semegah apa pun tak akan ada artinya lagi. Sebab, Carissa Maggie telah pergi, jauh, meninggalkannya, ke pangkuan Sang Pemilik Keabadian.

Mata Letnan Asher Theophilus menerawang jauh, sembari mengembuskan asap cerutu dari mulutnya yang mengepul. Masih segar dalam ingatannya—menjelang Ramadan empat tahun yang lalu—Carissa Maggie yang beragama Nasrani menziarahi makam ayah kandungnya di Mount Zion Cemetery, Yerusalem Timur. Situasi perang masih mencekam kala itu. Tetapi sang istri tetap nekat membawa serta Dave Elhanan, putra semata wayang, bersamanya.

"Aku tidak akan mengizinkan!" Keras suara Letnan Asher Theophilus terdengar mengentak dari dalam ponsel Carissa Maggie kala itu. Jadwal pengawalan pasukan di pangkalan militer Israel sangat padat dan telah habis menyita seluruh waktunya untuk membersamai keluarga terkasih. "Tunggu aku kembali. Kita akan berangkat sama-sama."

"Apakah aku tidak salah mendengar? Ini sudah tahun ketiga ayahku tutup usia. Tetapi kau tak pernah sudi sekali pun menemani kami menziarahi makamnya." Carissa Maggie menutup ponselnya dengan hati terbakar. Taksi yang ia kendarai melaju dengan kencang, meninggalkan pusat Kota Tua menuju Mount Zion Cemetery yang sangat ia rindukan.

Selama Carissa Maggie ziarah, gelisah di benak Letnan Asher Theophilus memuncak setinggi gunung. Ia ingin menyusul, tetapi tugasnya tak dapat digantikan perwira lain. Lengah sedikit saja, milisi Hamas akan menghujani pasukannya dengan dentuman roket, dan pangkalan militer Israel menjadi ladang perburuan baru yang dapat ditaklukkan dengan sangat mudah.

Ingin rasanya ia berlari, melarungkan tubuhnya dengan jemari yang melekat di Tembok Ratapan. Berdoa dengan khusyuk bagi keselamatan istrinya. Tetapi kabar buruk begitu cepat menyambanginya. Kala itu, di suatu petang yang kelabu, Carissa Maggie yang begitu ia cintai dikabarkan tewas tertembak peluru milisi Hamas dalam perjalanan pulang ke pusat Kota Tua. Sedangkan Dave Elhanan selamat, meski harus menderita trauma psikologis akut hingga bertahun-tahun lamanya. 

Dari keterangan saksi mata di tempat kejadian, serdadu Israel mengantongi nama Omair Zaigham sebagai pelaku utama penembakan. Di permakaman Carissa Maggie yang masih basah, Letnan Asher Theophilus melangitkan sumpah. Ia akan mempertaruhkan nyawanya demi mencari keberadaan Omair Zaigham yang sampai detik ini masih belum diketahui rimbanya. 

Letnan Asher Theophilus mengarahkan bidikan teropongnya ke kompleks Al-Aqsa yang berjarak sekitar 500 meter dari tempat ia duduk bersantai saat ini. Sejak fajar tergelincir, jemaat muslim terus berdatangan memasuki area suci Al-Aqsa. Pintu Singa terpantau sebagai gerbang pelintasan paling diminati pengunjung setelah harus melewati serangkaian pemeriksaan ketat oleh polisi yang berjaga-jaga di setiap gerbang masuk.

Di pelataran Masjid Al-Qibli, tampak seorang kakek tua berwajah teduh dan matanya buta. Ia duduk bersandar di sebuah kursi roda dengan wajah tertegun dilamun penantian. Dari arah pintu selatan masjid, seorang lelaki dewasa mengenakan sweater abu-abu lengan panjang dengan padanan celana corduroy cokelat tua datang menghampirinya.

"Menantuku, apakah situasi di kompleks suci ini masih aman dari intaian peluru serdadu Israel?" tanya Tuan Immanuel, kakek tua berwajah teduh itu, dengan raut muka penuh kecemasan. "Tahun-tahun sebelumnya, kericuhan di tempat ini kerap terjadi dan menelan banyak korban jiwa."

"Semua agama mengagungkan kompleks suci ini, Ayah. Tak perlu khawatir. Menjelang Ramadan, pasukan Israel dan Hamas telah menyepakati gencatan senjata. Hanya pelaku makar yang berani mengotori tempat suci ini dengan kegaduhan, desing tembakan, dan pertumpahan darah," sahut Omair Zaigham, sambil menyuapi sang mertua dengan kurma basah dan sebotol susu hangat sebagai menu sarapan pagi ini.

"Yang aku khawatirkan keselamatanmu, Omair. Tentara Israel akan terus melacak keberadaanmu sebagai buronan di setiap tempat. Lambat laun, penyamaranmu akan segera terbongkar, Omair." Tuan Immanuel merapikan jubah hitam yang dikenakannya, lalu mulai memutar kursi roda dengan kedua tangannya yang ringkih.

Setengah berlari Omair Zaigham mengejar, memutar posisi kursi roda Tuan Immanuel yang salah arah. "Seluruh keluargaku telah tewas sebagai syuhada. Tak ada lagi yang tersisa. Hanya kau seorang yang kumiliki saat ini." Suara Omair Zaigham bergetar, mengandung gemuruh perih, sekaligus getir. 

Tuan Immanuel bergeming. Bola matanya bergerak-gerak pasrah. Ia tahu, kemuliaan hati menantunya itu memenuhi langit dan bumi. Di Lembah Yordania, Tepi Barat, Omair Zaigham tidak hanya berkebun kurma mejoul, tetapi juga menjadi seorang pengasuh sekaligus ayah bagi ratusan anak yatim piatu yang kehilangan tempat tinggal dan orang tua.

Omair Zaigham merapikan letak kippah 1) di kepala Tuan Immanuel yang telah ditumbuhi uban sepenuhnya. "Selama napas masih mendetakkan jantungku, aku akan terus membentang pundak demi menjadi pelindung yang setia bagi Ayah. Serdadu Israel yang terus memburu setiap jengkal langkahku, bahkan dentuman ribuan halilintar sekalipun, tak akan membuat langkahku goyah dari sisimu, Ayah." 

Omair Zaigham meneguhkan langkahnya dengan kokoh, sembari membasahi bibir dengan lantunan zikir, demi mengantar Tuan Immanuel menuju Tembok Ratapan. Angin kering di pusat Kota Tua terus berembus menabur gelisah. Dan, Gerbang Mughrabi semakin hampir ditempuh. Degup jantung Omair Zaigham berdetak semakin hebat. 

Polisi penjaga pintu gerbang sigap melakukan pemeriksaan. Ada aroma mencurigakan yang tercium saat mereka menatap wajah Omair Zaigham yang pias.

Tuan Immanuel menelan ludah, membayangkan menantunya itu disergap ketakutan yang teramat mencekam. Saat mereka lolos, kilatan kamera ponsel seperti tengah mengambil gambar. Layar CCTV diperbesar, lalu foto-foto hasil analisis dan kecocokan dengan sangat cepat disebar.

Letnan Asher Theophilus masih membidikkan teropongnya demi mengawasi khidmatnya peribadatan jemaat di Tembok Ratapan. Tiba-tiba ponselnya bergetar, berdentuman, menampung setiap pesan yang berjejalan masuk. Gegas ia memeriksa. Foto-foto Omair Zaigham yang disandingkan dengan pria yang dicurigai itu bertaburan memenuhi ponselnya. Astaga! Benar-benar mirip!

Bola mata Letnan Asher Theophilus bergerak-gerak tak percaya. Giginya bergemeletuk, menahan muntahan amarah dendam yang bergejolak membakar jantungnya. "Pria itu benar-benar Omair Zaigham!" teriaknya, seperti hendak menelan ponselnya bulat-bulat. "Ringkus ia segera, sebelum bayangannya lenyap ditelan kerumunan jemaat yang khusyuk berdoa."

Titah Letnan Asher Theophilus itu seperti seekor kijang gemuk yang dilemparkan ke dalam kolam penangkaran buaya lapar. Seperti menerkam, serdadu Israel bergerak cepat, mengepung setiap sudut Tembok Suci.

Omair Zaigham gelagapan, berusaha menelan guncangan di benaknya agar tak mempengaruhi kekhusyukan Tuan Immanuel berdoa di Tembok Ratapan. Ia melangkah mundur dari kerumunan jemaat saat dua serdadu Israel mendekap kedua lengannya erat.

"Lepaskan aku!" Omair Zaigham berontak, berusaha melipatgandakan kekuatannya agar bisa melerai lengannya yang terkunci. Tetapi kedua serdadu Israel itu lebih cepat mengalungkan borgol di kedua lengannya.

"Jangan melakukan perlawanan jika kau merasa hasrat hidupmu jauh lebih besar dari kesalahan yang selama ini pernah engkau lakukan. Tembok Ratapan ini rumah suci, bukan tempat untuk menyuburkan dosa-dosamu!" Seorang serdadu Israel mencengkeram rahang Omair Zaigham kuat-kuat, seperti ingin melumat. 

Di atas kursi rodanya, Tuan Immanuel masih khusyuk berdoa. Satu jam, dua jam, berlalu begitu cepat, mencukupkan khidmat yang akhirnya harus ia tinggalkan di Tembok Ratapan. Tetapi Omair Zaigham tak kunjung menyambanginya. Cebis resah mulai menghantuinya.

Sementara itu, di ketinggian The Sephardic House Hotel, Letnan Asher Theophilus terkekeh, melambungkan kemenangannya. Omair Zaigham telah berhasil diringkus dan meringkuk di bangsal penyekapan sebagai pesakitan. Sungguh, dendamnya akan segera terbalaskan.

Namun, saat kembali, Letnan Asher Theophilus tak mendapati Dave Elhanan di apartemennya. Hanya sebaris pesan yang putranya itu kirimkan di ponselnya untuk memastikan bahwa kondisinya baik-baik saja. Hari ini, ia tengah menikmati kebebasannya, setelah sekian lama dikuasai belitan trauma masa lalu dengan mengunjungi Tembok Suci.

Dengan mengendarai sepeda motor cruiser-nya, Letnan Asher Theophilus melesat cepat menyusuri Jalan Batei Mahase menuju kompleks Al-Aqsa. Suasana sepi Tembok Suci membuat ia terpana. 

"Dave Elhanan...." Lidah Letnan Asher Theophilus mendadak kelu saat melihat putra semata wayangnya itu tiba-tiba memeluk Tuan Immanuel dengan penuh kasih. Ada sedu dan mata basah yang diperlihatkan keduanya saat Letnan Asher Theophilus melangkah mendekat.

"Ayah?" Dave Elhanan menoleh. 

"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" Terlihat gelagat ketidaksukaan Letnan Asher Theophilus saat menarik paksa lengan putranya itu agar menjauhi Tuan Immanuel. 

"Ayah, saat kembali dari Mount Zion Cemetery empat tahun yang lalu, kakek ini telah mempertaruhkan seluruh hidupnya demi menyelamatkan nyawaku dari kepungan serdadu Israel yang tiba-tiba menyerang," tutur Dave Elhanan hampir berteriak.

"Apa maksudmu?" Letnan Asher Theophilus membelalakkan matanya. "Di Tembok Suci ini, Omair Zaigham yang buron sengaja mengelabui jemaat dengan bersembunyi di balik punggung kakek ini, padahal ia seorang muslim. Kau harus tahu, Omair Zaigham adalah milisi Hamas yang telah membunuh ibu kandungmu dengan sangat keji!"

Dave Elhanan menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Kau keliru, Ayah. Seharusnya kau menyesal karena tak sempat menyertai kami saat ziarah ke Mount Zion Cemetery waktu itu. Bukan malah memenjarakan Tuan Omair Zaigham yang telah berusaha menyelamatkan hidup kami."

Angin sore mulai mengusik, seperti hendak menguak tabir kepedihan masa lalu yang dipenuhi luka. Dave Elhanan mengembuskan napas kuat-kuat, berusaha membuang sisa-sisa trauma yang selama ini membuat ia sulit berbicara. Tetapi, hari ini, ia tak ingin memendamnya lagi. Ia harus mengungkap kebenaran yang sesungguhnya.

Letnan Asher Theophilus membuka telinganya lebar-lebar. Saat kenangan ziarah ke Mount Zion Cemetery diurai, kerinduannya pada Carissa Maggie kembali melambung. Tetapi Dave Elhanan tak peduli. Ia terus saja bercerita. 

"Saat melepas rindu di Mount Zion Cemetery, ibu membisikkan bahwa di Jalan Ma’ale Ha-Shalom sedang terjadi kericuhan. Suara kegaduhan, teriakan, dan lemparan batu beradu dengan desing tembakan peluru dan gas air mata," terang Dave Elhanan mengenang. "Tetapi ibu tetap menguatkanku, meski taksi yang kami tunggu saat akan kembali ke pusat Kota Tua tak kunjung menghampiri."

Hanya mobil pick-up Tuan Immanuel yang waktu itu berani melintas, membawa tandan kurma basah dari perkebunan Lembah Yordania, Tepi Barat. Omair Zaigham yang waktu itu duduk di samping Tuan Immanuel turun, mengisyaratkan kepada Carissa Maggie dan Dave Elhanan untuk masuk ke mobilnya.

Kurang dari 200 meter mencapai kompleks Al-Aqsa, tembakan tentara Israel kian bertubi-tubi. Omair Zaigham dan beberapa milisi Hamas yang duduk di belakang pick-up melompat, mengokang laras panjang, demi melindungi laju kendaraan yang dikendalikan Tuan Immanuel.

Dari arah berlawanan, serdadu Israel terus mengepung. Dave Elhanan yang ketakutan melompat dari dalam mobil. Diikuti oleh Tuan Immanuel yang menggunakan punggungnya untuk melindungi Dave Elhanan.

Pukulan dan tendangan dari serdadu Israel semakin beringas, melumat sekujur tubuh Tuan Immanuel tanpa kenal ampun. Tetapi ia tetap teguh memeluk Dave Elhanan, dengan erat. Karena itulah kakinya akhirnya lumpuh dan matanya menjadi buta. Sedangkan Carissa Maggie yang berlari ke tepi Jalan Suq El Qatanin terkena tembakan peluru serdadu Israel yang kesumat, tepat di jantungnya.

"Sudah, jangan diteruskan lagi!" bentak Letnan Asher Theophilus menutup telinganya.

"Ayah, sadarlah," bisik Dave Elhanan lirih. "Pangkat perwira yang melekat di pundakmu sedikit pun tak membuatku bangga jika jejak yang kau tinggalkan hanya untuk mengajarkanku memupuk kebencian yang besar pada rakyat Palestina, padahal hati mereka dipenuhi cinta."

Letnan Asher Theophilus tergugu. Meratapi dendam di hatinya yang tersalah. Pilu. Teramat pilu. 

Sementara itu, di bangsal penyekapan penjara Nitzan, Omair Zaigham tak henti-hentinya memandangi foto kenangannya bersama istrinya yang mualaf sedang tertawa lepas menggendong putra tercinta. Lalu, ia beralih memandangi sebuah foto seorang ibu muda yang sedang memeluk putra kecilnya di antara puing-puing reruntuhan gedung Tepi Barat. Mereka adalah istri dan anaknya, yang telah gugur menjadi syuhada.

"Betapa menyedihkannya hidupmu," bisik seorang serdadu Israel menyeringai, sembari menenteng sebotol minuman beralkohol. "Semua orang-orang yang kau cintai telah pergi meninggalkanmu." Ia terkekeh, menumpahkan minuman beralkohol ke wajah Omair Zaigham dengan keji.

***

SEORANG sipir berpapasan dengan seorang serdadu Israel yang melewati koridor ruang tahanan Nitzan dengan langkah tergesa. Ia menyalakan senternya. Baru saja terjadi korsleting listrik sehingga penerangan di dalam ruang tahanan itu menjadi padam.  

Di sebuah bangsal penyekapan, sang sipir dibuat terperanjat bukan kepalang saat menemukan sosok serdadu yang tewas mengenaskan, dengan hanya mengenakan pakaian dalam. Sementara seragam militernya telah dilucuti. Sang sipir menelan ludah. Memutar kembali memori otaknya saat ia berpapasan dengan seorang serdadu yang melewati koridor dengan langkah tergesa. Astaga! Omair Zaigham berhasil melarikan diri dengan menyamar sebagai seorang serdadu Israel?

Bersamaan dengan itu, derap kaki para pejuang Palestina yang ditawan berhamburan memenuhi koridor. Puluhan, belasan, atau bahkan mungkin ratusan tawanan. Kunci-kunci bangsal penyekapan berceceran di lantai, semuanya telah dirusak. Pasti Omair Zaigham pelakunya!

Senja telah memerahkan ufuk barat, membakar langkah Omair Zaigham yang terus berlari menyelamatkan diri. Ratusan tawanan perang yang lepas berhamburan menuju pintu gerbang tahanan. Omair Zaigham merogoh saku bajunya, menggenggam erat sehelai foto orang-orang terkasih sebagai peredam rindu serta penguat hatinya. Di Lembah Yordania, Tepi Barat, anak-anak asuhnya pasti sudah sangat menantikan kedatangannya dengan penuh rasa cinta dan kerinduan.

"Lihat, Tuan Omair Zaigham berhasil lolos dari penyekapan tentara Israel, Ayah," seru Dave Elhanan menurunkan teropongnya, lalu mendekatkannya ke hidung Letnan Asher Theophilus yang sedang berkonsentrasi mengendalikan helikopter pengintai, di sampingnya. "Cerdas sekali, penyamarannya sebagai serdadu Israel sungguh sempurna!"

Letnan Asher Theophilus tertegun, lalu menoleh, memandang wajah Tuan Immanuel lekat-lekat. "Dengan cara apa pun, aku berjanji akan mempertemukanmu dengan Omair Zaigham. Lalu, aku akan mengantarkan kalian kembali ke Lembah Yordania, Tepi Barat. Semoga Tuhan merestuinya," Letnan Asher Theophilus berbisik dengan wajah penuh binar. Senyumnya terkembang sempurna.


Keterangan:
1) Kippah: topi kecil umat Yahudi saat beribadah

Ahmad Ijazi Hasbullah, penulis yang lahir di Rengat, Riau. Pernah menjadi nomine lomba menulis prosa Kemenpora 2011 dan puisi Tulis Nusantara Kemenparekraf 2013. Buku kumpulan sajaknya, Bahtera, memenangi penghargaan Anugerah Sagang 2015.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus