Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dari Antigone yang Cair

Teater Populer mementaskan Antigone di Gedung Kesenian Jakarta. Sebuah tragedi politik keluarga yang berlangsung terus-menerus.

25 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKU tidak akan kembali ke tempat tidur, Inang!” Antigone menghardik dayang-dayangnya. Pada malam buta itu Antigone berkeliaran di luar istana. Ia hendak mengambil jenazah kakaknya yang terancam dirobek burung gagak dan serigala.

Muncul di panggung bayang-bayang seseorang tergantung dengan dominasi warna merah. Inilah kisah tragedi anak-anak Oedipus yang dimainkan Teater Populer dengan menggunakan naskah tafsiran Jean Anouilh.

Antigone aslinya adalah bagian ketiga dari trilogi Oedipus karya Sophocles. Setelah Oedipus tewas, Creon, saudaranya, naik takhta menjadi Raja Thebes. Untuk mempertahankan mahkota, ia mengadu domba dua anak laki Oedipus—Polyneces dan Eteocles—agar saling membunuh. Ia melarang siapa pun menguburkan jenazah Polyneces.

Sejak awal, naskah ini ingin menunjukkan bagaimana Antigone menegakkan martabat keluarga. Namun Niat mengambil mayat itu dicegah oleh Ismene, sang adik. Sebab, apabila diketahui sang paman, mereka pasti dibunuh. Argumentasi dan tarik-ulur keduanya berbobot, dramatik.

Tapi ini oleh Ria Probo (Antigone) dan Marcella Zalianty (Ismene) dilakonkan agak ampang. ”Dialog terlalu encer, tak terlihat kepahlawanan Antigone,” komentar dramawan Jose Rizal Manua. Malah yang mengemuka adalah persaingan percintaan antara Antigone dan Ismene. Diperlihatkan Haemon, tunangan Antigone yang juga putra Creon, mengejar-ngejar Ismene.

Awal pertunjukan Teater Populer ini sesungguhnya menggetarkan. Panggung memperlihatkan Creon dan seluruh serdadunya, sementara di kanan-kiri Eteocles dan Polyneces mematung dengan panah-panah tertancap di tubuhnya.

Tapi entah mengapa Slamet Rahardjo selaku sutradara (dan pemain) lalu membiarkan di sana-sini banyak adegan bodor lolos. Terutama saat tiga serdadu melaporkan kepada Creon tentang pencurian mayat. ”An, An...,” mereka berulang-ulang mau menyebut nama Antigone, tapi kemudian dipelesetkan: Anjing....

Creon sendiri dimainkan oleh Hendro Susanto dengan irama intonasi yang kurang sugestif. Pada hari pertama kadang suaranya melengking keras, kadang lemah. Tak tampak dialah tiran yang perkasa. ”Pada hari kedua malah sering suaranya tidak keluar, ” kata budayawan Mudji Sutrisno.

Akting Slamet seperti biasa, rileks. Kalem. Slamet memerankan semacam narator-dalang yang keluar-masukpanggung mengomentari cerita. Peran ”dalang” ini pada naskah asli Sophocles tidak ada. Peran dalang ini untuk mengganti kor.

Para sejarawan menulis, untuk menggugah ribuan penonton, dalam drama-drama Sophocles selalu menonjol unsur kor. Paduan suara ini melambangkan suara hati nurani masyarakat atau suara gaib dewata. Antigone disebut-sebut adalah karya Sophocles yang paling banyak variasi kornya.

Pilihan mengganti kor dengan dalang juga terjadi ketika Actors Unlimited, kelompok teater dari Bandung, mementaskan naskah ini. Ketika itu aktor gaek Muhammad Sunjaya, seperti Slamet, sering muncul di tengah-tengah adegan mengomentari konflik. Tapi Sunjaya minim kata.

Sementara Slamet, mungkin untuk membuat penonton memahami cerita, sering terasa terlalu ”didaktik”. ”Tragedi kok diomong-omongkan,” komentar Jose Rizal. Maksudnya, saat muncul selaku narator, Slamet kerap mendeskripsikan kembali adegan dengan berkata seperti: ”... Inilah tiran yang pandai bicara...,” atau mengingatkan penonton: ”Ini tragedi, bukan melodrama....”

Toh, menyaksikan Teater Populer tetap ”ada sesuatu”. Adegan-adegan yang lancar dan artistik, terutama bayang-bayang jenazah yang filmis itu, misalnya, menunjukkan senioritasnya. Penonton yang melimpah ruah meyakinkan kita, nama Teater Populer masih tetap sebuah magnet. Atau memang karena Anang Hermansyah, musisi, suami Krisdayanti, turut menangani sektor promosi, sehingga mampu menggaet banyak kalangan komunitas menengah Jakarta.

Akhirnya Antigone ditangkap Creon. Di panggung muncul bayang-bayang Haemon berlutut memeluk jazad Antigone. Drama politik menjadi seperti sebuah drama percintaan.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus