"SAYA ingin tidur di pangkuanmu," kata Maria Ulfah pada suaminya, Soebadio Sastrosatomo. Itu beberapa hari lalu. Tak pernah Ulfah mengungkapkan kemesraan secara verbal begitu. Apalagi itu di rumah sakit. "Bapak dan Ibu pacaran, ya," ucap seorang suster perawatnya Mendengar celotehan itu, Ultah malah tersenyum riang. Soebadio sendiri, yang selama istrinya dirawat di RSPAD itu selalu mendampingi, menjadi terenyuh. Suasana pada hari-hari terakhir di ruang ICU RSPAD Jakarta tersebut sangat terkesan. "Selama ini dia itu wanita yang rasional sekali," tutur Soebadio. Cerita Soebadio itu diungkap pada hari duka Jumat sore pekan kemarin. Maria Ulfah dirawat di unit perawatan intensif sejak 13 Maret lalu. Mulanya ia sesak napas - akibat bronkitis asmatis yang lama bersarang di tubuhnya. Kali ini lebih memberat. Kesadarannya naik-turun. Ia bekas Menteri Sosial dalam Kabinet Sjahrir, dan wanita pertama yang menduduki jabatan itu. Ketika Kabinet Pembangunan V diumumkan Presiden Soeharto, kondisinya membaik. Menurut Soebadio, istrinya itu memberikan penilaiannya. "Susunan pembantu Presiden kali ini baik," kata Ulfah. Sembari berbaring, waktu itu, dia berharap agar menteri wanitanya ditambah. "Sekarang masih kurang," ularnya, seperti kemudian dituturkan suaminya. Pukul 02.15 dinihari itu Maria Ulfah meninggalkan Soebadio, seorang anak angkat (Ir. Darmawan), dan empat cucu. Innalillahi Wa-inna-ilaihi rajiun. Melayat di rumahnya antara lain Menko Ekuin Radius Prawiro (dan Nyonya), Menko Kesra Soepardjo Rustam, Mensesneg Moerdiono, Brigjen. (Purn.) Alex Kawilarang, bekas Kapolri Hoegeng Iman Santosa dan l.etjen. (Purn.) Kemal Idris. Jalanan masih basah karena hujan. Di tengah hari Jumat itu jenazah diiring dari rumah duka di Jalan Guntur menuju Masjid Sunda Kelapa untuk disalatkan. Sebelum dimakamkan di TMP Kalibata jenazah dari masjid itu dibawa ke Gedung Kowani di Jalan Imam Bonjol. Di situ disemayamkan sejenak. Almarhumah selama empat periode berturut-turut ketua Kowani (1950-194). Ketika pemakaman di Kalibata, hadir Menteri Sosial Haryati Soebadio, Nyonya Rahmi Hatta, Mayjen. TNI Syaukat (sekretaris militer Presiden), dan beberapa perwira dan korps wanita AD, AL, AU, dan Polwan . Menjadi inspektur upacara di TMP Kalibata adalah Menteri Urusan Peranan Wanita Nyonya Sulasikin Murpratomo. Sedangkan upacara di Gedung Kowani yang menjadi inspekturnya Mensos Haryati Soebadio. Jadi, ada dua menteri, dan semuanya wanita, menjadi inspektur upacara. Maria Ulfah lahir 18 Agustus 1911 di Serang. Ia dari lingkungan keluarga menak yang menjadi pamong praja di bawah kekuasaan kolonial. Ayahnya, R.A.A. Mohammad Achmad, terakhir bupati Kuningan -- setelah sebelumnya sebagai patih di Batavia. Kendati begitu, Maria Ulfah mendapatkan ke bebasan untuk aktif dalam organisasi pergerakan. Malah ia wanita Indonesia pertama meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Leiden. Masih di SD Willemslaan (kini Jalan Perwira, Jakarta) ia sudah berjauhan dengan keluarga. Waktu itu ayahnya jadi bupati Kuningan. Ulfah dan adiknya, Iwanah (ibu sutradara Amy Priyono), diindekoskan pada keluarga Belanda. Ketika ia lulus dari sekolah menengah Koning Willem III School, pada saat yang sama ayahnya mempelajari masalah koperasi selama 10 bulan di Den Haag. Keluarganya boleh ikut. Maria Ulfah langsung mendaftrkan diri ke Fakultas Hukum Universitas leiden. Itu setelah ia meyakinkan ayahnya mengenai cita-citanya untuk membela kepentingan wanita. Sang ayah ingin dia belajar kedokteran. Gadis 18 tahun ini lalu menempati sebuah kamar sewaan, satu rumah dengan Siti Soendari (kelak istri pahlawan revolusi Hadinoto, bekas wali kota Semarang). Hanya pada akhir pekan ia ke Den Haag, berkumpul dengan kedua adik dan ayahnya. Sementara itu, ibunya (R.A. Hadidjah Djajadiningrat) sudah almarhumah dua tahun sebelumnya, ketika Maria Ulfah berusia 16 tahun. Lulus sebagai sarjana hukum pada usia 22 tahun. Ia langsung mudik, sempat sebagai tenaga honorer, dikontrak selama enam bulan di Kabupaten Cirebon. Di masa itu ia bertemu dengan Sutan Sjahrir, temannya ketika di Negeri Belanda. Pada 1934-1942, ia mengalar di Perguruan Muhammadiyah dan Perguruan Rakyat, Jakarta. Di tengah perjalanan kariernya sebagai pengajar, pada Februari 1938 ia menikah dengan R. Santoso Wirodihardjo, S.H. Desember 1948, Santoso, yang ketika itu pejabat eselon I Kementerian Pendidikan, tewas di dekat bandara Maguwo (kini Adisucipto). Ia dihantam peluru seorang sersan mayo Belanda yang mabuk. Maria Ulfah tak bersedih berkepanjangan. Bahkan tawaran pihak Belanda untuk memberi santunan ditolaknya. Perang dan akibatnya bukan suasana asing lagi baginya. Ketika sebagai Menteri Sosial (1946-1947) dalam kabinet Sjahrir, tugas pertamanya mengorganisasikan pemulangan interniran yang baru dibebaskan Jepang di Jawa Tengah. Amir Sjarifuddin menggantikan Sjahrir memimpim kabinet, 1947. Maria Ulfa menolak untuk tetap Menteri Sosial. Setelah dibujuk, hanya hersedia menguru (sekretaris) kantor Perdana Menteri. Hubungan dekatnya dengan Soebadio disambung dengan pernikahan. Itu Januari 1964, ketika Soebadio, 44 tahun, berstatus tahanan politik di penjara Madiun. Ia tokoh PSI dan sahabat Sjahrir. Pernikahan yang diizinkan Bung Karno itu membuat Maria Ulfah (saat itu 52 tahun) beralasan kuat untuk sering ke Madiun. "Saya pacaran dengan dia sejak zaman revolusi," tutur Soebadio. "Kalau tidak ditahan Bung Karno, saya pacaran abadi dengan dia." Mohamad Cholid, Sri Indrayati, dan Priyono B.S. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini