EKONOMI Indonesia masih menghadapi berbagai kesulitan, tetapi perlu ada kepercayaan kalangan luas bahwa keadaannya tidaklah buruk dan bukan tanpa harapan. Salah satu faktor penting, yang dapat dilihat sebagai modal, adalah perasaan masyarakat umum bahwa para pengelola ekonomi yang duduk dalam Kabinet Pembangunan V terdiri atas tenaga profesional yang cakap. Namun, faktor-faktor yang mengancam tetap ada. Ketenangan berusaha belum pulih, dan masyarakat masih mudah dipengaruhi oleh berbagai berita yang semakin mengganggu ketenangan bekerja dan berusaha. Jika diperhatikan secara lebih saksama, persoalannya mungkin lebih mendalam dari sekadar perasaan ketidakpastian. Perkembangan harga minyak memang sulit dipastikan, dan pengaruh perubahan harga minyak terhadap ekonomi Indonesia memang tidak kecil. Tetapi tampaknya kita hanya akan membuang-buang waktu kalau kita terus-menerus hanya memperhatikan perkembangan naikturunnya harga minyak dari hari ke hari dan menentukan tingkah dan tindakan berdasarkan sorotan sempit dan yang berjangka pendek itu. Soalnya, perkembangan harga minyak berada di luar jangkauan kita untuk mempengaruhinya. Perasaan terkungkung, terperangkap, ataupun terpenjara dalam keadaan itu sangat tidak membantu perkembangan ekonomi Indonesia. Perasaan serba terjebak ini kiranya menerangkan mengapa orientasi di masyarakat menjadi demikian jangka pendek dan mengapa sikap, pandangan, dan tingkah laku para pelaku ekonomi termasuk konsumen umumnya dan para ibu rumah tangga - begitu mudah tergoyahkan. Bila konstatasi ini benar, preposisi pertama untuk Kabinet Pembangunan V adalah mencari jalan agar perasaan serba terjebak itu dapat dienyahkan. Di pihak pemerintah sendiri, kecenderungan seperti ini akan membuahkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang reaktif dan sikap-sikap yang rutin. Sebagai akibatnya, ekonomi Indonesia bahkan akan mengalami suatu involusi karena alat-alat kebijaksanaan yang diandalkan semakin lama semakin menjadi tidak. Pertanyaan yang patut diajukan adalah sejauh mana perasaan serba terjebak itu dapat dihilangkan dengan menyuntikkan suatu visi (vision) atau suatu perangsang dalam pemikiran di masyarakat. Apakah ini berbahaya karena menciptakan angan-angan yang sulit dicapai ataukah sebaliknya hanya akan menjadi candu yang meninabobokan masyarakat? Tetapi tentunya kita tidak dapat terus-menerus cuma berdebat. Kendala-kendala obyektif yang dihadapi ekonomi Indonesia sepera tercermin dalam neraca pembayaran dan anggaran pemerintah (APBN) - perlu sepenuhnya disadari tetapi tidak diterima sebagai harga mati. Sebenarnya, pemerintah juga tidak tinggal diam selama ini. Tindakan deregulasi dan debirokratisasi telah diambil sebagai langkah awal yang memungkinkan kita keluar dari dilema keadaan terjebak - yang telah membawa kita ke pada jalur pertumbuhan ekonomi yang rendah seperti sekarang ini. Deregulasi dan debirokratisasi cuma alat, untuk memerangi inefisiensi, korupsi, dan sikap manja, tetapi tujuannya adalah restrukturisasi ekonomi. Kabinet Pembangunan V diperkirakan akan melanjutkan usaha-usaha deregulasi dan debirokratisasi yang memang masih jauh dari tuntas. Restrukturisasi ekonomi itu pada akhirnya tidak semata-mata bisa diserahkan kepada proses deregulasi dan debirokratisasi itu sendiri sebab keadaan yang ingin dicapai bukanlah - dan tidak bisa - suatu lingkungan tanpa regulasi dan birokrasi sama sekali. Oleh karena itu, restrukturisasi itu perlu mengacu kepada sesuatu. Pertanyaan yang menarik untuk diajukan di sini adalah apakah merumuskan suatu tujuan jangka panjang yang cukup kongkret merupakan suatu kemewahan. Bila tidak, apakah pantas jika kita berniat menjadi suatu negara industri baru (newly industrializing country - NIC) dalam 15 sampai 20 tahun mendatang? Status NIC itu bisa dianggap tercapai jika pendapatan per kepala mencapai 3 kali yang sekarang, jika saham sektor manufaktur dalam PDB (produk domestik bruto) mencapai sedikitnya 25 persen, dan Jika saham sektor manufaktur dalam penyerapan tenaga kerja juga mencapai sedikitnya 25 persen. Untuk mencapai status itu kita dapat menetapkan apa yang perlu diupayakan: ekonomi (PDB) harus dapat tumbuh 8 sampai 10 persen per tahun, sektor manufaktur harus tumbuh 12 sampai 15 persen per tahun, dan sektor manufaktur harus dapat menyerap sekitar 20 juta tambahan tenaga kerja selama 15 sampai 20 tahun mendatang ini. Tantangan yang terakhir ini sangat besar jika dilihat bahwa pada saat sekarang ini sektor manufaktur baru menyerap 5 juta orang - itu pun sebagian terbesar diserap oleh sektor industri informal. Yang jelas adalah bahwa tantangan ini tidak akan berkurang walaupun tujuan yang hendak dicapai tidak seambisius yang digambarkan di atas. Menghadapi tantangan ini untuk saat sekarang ini ada tiga masalah pokok yang harus dapat dijawab, sedikitnya dipertimbangkan secara mendalam. Pertama, menentukan bagaimana tempat bagi ekonomi Indonesia dalam proses globalisasi produksi yang sedang berlangsung dengan pesat, agar kita bisa memperoleh bagian yang wajar dalam produksi dunia. Dalam hubungan itu, apakah industri Indonesia bersedia menjadi subkontraktor dari pusat-pusat produksi duma, dan Jlka demlkian bagaimana kita mempersiapkan diri agar menjadi subkontraktor yang sukses? Apakah "jalur lunak" ala Taiwan lebih tepat dari "jalur keras" yang ditempuh oleh Korea Selatan dalam industrialisasinya? Kedua, menetapkan hubungan dengan dan peranan yang diberikan kepada Jepang sebagai mitra ekonomi utama. Kini Jepang merupakan kreditor terpenting, dan merupakan salah satu pusat produksi dunia yang utama yang sedang mengalami perubahan. Dalam kaitan ini, sejauh mana kita bersedia menarik lebih banyak modal swasta Jepang dan "berintegrasi" dengan industri Jepang? Ketiga, menentukan pola hubungan antara pemerintah dan dunia usaha yang ingin dikembangkan. Gagasan "Indonesia Incorporated" yang dilontarkan Menteri Perdagangan Arifin Siregar pada esensinya melihat pentingnya diciptakan suatu "kerukunan nasional yang tangguh" untuk mampu menghadapi dunia yang kejam ini. Pola Jepang tidak perlu merupakan model yang terbaik, tetapi faktor kerja sama antara dunia usaha dan pemerintah ini sudah menjadi demikian penting artinya, bahkan dapat dianggap merupakan faktor keunggulan komparatif yang sangat menentukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini