WARISAN INTELEKTUAL ISLAM INDONESIA Telaah atas Karya-Kaya Klasik Penyunting: Ahmad Rifa'i Hasan Penerbit: Mizan dan LSAF, Jakarta, 1987, 141 halaman PENELITIAN ulama di LIPI akhir Februari lalu menegaskan kekhawatiran tentang kemampuan dan etostelaah pelajar kita terhadap karya-karya klasik. "Minat belajar kitab kuning memang mulai menurun." kata Kiai Sukatuddin dari Pesantren Caringin, Cirebon. Syukurlah, kini tampaknya ada kesadaran baru untuk menggali berbagai "warisan" pemikiran ulama kita yang lampau. Niat untuk "meniru" para orientalis dalam menyelisik kitab-kitab klasik ini telah dimulai oleh Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) Jakarta. Hasilnya adalah buku ini. Bukan hanya kebetulan kalau ternyata kelima penguak - Didin Hafiduddin, Ahmad Daudy, Ajip Rosidi, Aliefya M. Santrie, dan Simuh - menemukan sesuatu: bahwa sejak abad ke-17 hingga awal abad ke-20 pikiran Ibn Arabi telah mendominasi. Itu bermula di Aceh. Pada awal abad ke-17, dua sufi Aceh. Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin Sumatrani, menulis kitab tasawuf dengan bahasa Melayu. Mereka mengacu pada tasawuf Wujudiyah (alias ajaran Kemanunggalan Kawula Gusti) dari Ibn Arabi. Sebagai mufti kerajaan, Syamsuddin mengangkat ajaran itu sebagai aliran resmi di Kerajaan. Tiba-tiba, tujuh tahun setelah Syamsuddin wafat, di Kerajaan Islam Aceh muncul Syekh Nuruddin al-Raniri: Tak jelas, adakah tokoh tarekat Rifa'iyyah kelahiran Gujarat India itu datang karena undangan. Selama tujuh bulan, diselang-selingi debat, dia menulis 30-an kitab. Di antaranya, al-Fah al-Mubin 'ala al-Mulhidin (Kemenangan Nyata atas Kaum Ateis). Dia berfatwa, ajaran Hamzah dan Syamsuddin itu sesat. Penikut ajaran itu boleh dibunuh. Puluhan orang pun dibunuh. Tapi ketika Iskandar II mangkat, al-Raniri kurang didukung kekuasaan. Sehingga, ketika Sayf al-Rijal, ulama pengikut Wujudiyah asli Aceh, kembali dari India, muncul polemik keagamaan. Ratu Safiatuddin memberi peluang. Al-Raniri tersudutkan. Dia pulang ke India dengan tergesa-gesa, sementara lawannya, Sayf al-Rijal, diberi penghargaan oleh Ratu. Tasawuf Ibn Arabi mendominasi kembali setelah rentang masa dua abad. Namun, bukan di Sumatera. Di Jawa, pada abad ke-19, Ronggowarsito (wafat 1873) menulis Wirid Hidayat Jati dan Syekh Haji Abdulmuhyi (wafat 1895) mengarang Aji Wiwitan Martabat Tujuh. Sesudah itu, di abad ke-20, Haji Hasan Mustapa (1930) menulis Aji Wiwitan Gelaran. Ronggowarsito, pujangga Istana Surakarta, memahami ajaran Wujudiyah (wihdat al-wujud) itu sebagai "manunggaling kawula-Gusti" dalam Wirid Hidayat Jati. Menurut Dr. Simuh, karya Islamisasi Ronggowarsito itu berfungsi menjembatani kebudayaan pesantren dan kejawen. Alirannya oleh berbagai penulis diklaim sebagai kebatinan. Haji Abdulmuhyi dan Haji Hasan Mustapa, di Jawa Barat, lebih tertarik pada ajaran "Martabat (Alam) Tujuh" - semula diajarkan pula oleh Ibn Arabi. Namun, tak mudah menyebut Abdulmuhyi, ulama dari Desa Karang Pamijahan, Tasikmalaya, itu telah berpaham Wujudiah. Alasannya, dia itu penganut tarekat Syattariyah,yang tokohnya menolak Wujudiyah. Martabat (Alam) Tujuh itu sebuah teori dalam tasawuf. Dia menerangkan "jalan asal meng-ada-nya" manusia, supaya kamil tanpa cacat. Tapi "jalan" itu memang berliku, penuh arus. Dari ahadiyat (keadaan zat yang esa) ke insan kamil. Yakni, manusia sempurna karena telah manunggal dengan Tuhan, tanpa menyangkal demarkasi antara Tuhan dan manusia. Begitu teoretis, memang, terutama bagi yang belum merasuki alam penghayatan eksoterik seperti para sufi. Karena itu, ajaran Wujudiyah - termasuk pula "manunggaling kawula-Gusti" dan Martabat (Alam) Tujuh -- senantiasa berbentur dengan dinding penghayatan eksoterik para ulama hukum. Tapi berkat Al-Ghazali yang sebagian besar ajarannya menjadi panutan umum kita, dinding itu dapat dipersempit. Lagi pula, kaum sufi di sini memang tahu diri. Syukurlah. Tapi memang, ajaran Ibn Arabi itu, setelah melewati perbagai tangan, senantiasa berubah wujud menjadi ajaran-ajaran sempalan. Di Jawa, misalnya, ajaran "manunggal" Ronggowarsito sebagian diserap menjadi aliran kebatinan dengan nama mandiri. Tapi jelas jejaknya ada di sini. Masalahnya, itukah jejak sebenarnya? Sebab, tak bisa ditutupi ada setumpuk kekhawatiran terhadap pikiran sufi dari Andalus itu, sehingga timbul sikap menyembunyikan bagian ajaran yang tak umum. Buktinya hingga kini baru ada sebuah dari lima ratus buku karya Ibn Arabi yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Sayang, buku itu sama sekali tak ada hubungan dengan ajaran dasar Ibn Arabi. Alasannya barangkali lebih karena dominasi pemikiran hukum. Atau klaim bahwa kita bukan sekadar pewaris dan penjejak. Ataukah karena paling-paling yang ada cuma sebuah hasrat? Misalnya, seperti, "Kita ingin agar warisan intelektual Islam dapat menjadi sumber daya untuk mendapatkan wawasan dan menjangkau masa depan," tulis penyunting buku ini. Mungkin itu janji. Padahal, ribuan kitab klasik karya ulama lampau masih tersebar di Nusantara. Itu yang mestinya kita ungkap. Tapi, soalnya, kapan kita akan menjamahnya. Ahmadie Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini