Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Masjid Nabawi di Meruyung

Sebuah masjid megah dengan kubah berlapis emas hadir di Desa Meruyung, Depok. Pendirinya ingin menghadirkan replika Masjid Nabawi di sini.

6 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masjid Kubah Emas yang terletak di Desa Meruyung akhirnya dibuka untuk umum pada hari raya Idul Fitri 1427 H, dua pekan lalu. Masjid di jalan raya Cinere-Parung Bingung, Depok, yang dibangun di atas tanah seluas 7.200 meter persegi itu sehari-hari masih dipagari seng dan dijaga. Namun, saat salat Id, 24 Oktober 2006 silam, publik yang selama ini hanya menangkap kilau lima kubah berlapis emas 24 karat dari kejauhan—satu besar, empat lebih kecil—dapat melangkah masuk. Mereka salat, menikmati panorama masjid, lantas beramai-ramai merekam interior dengan handphone.

Masjid itu memang mencolok. Mula-mula gapura kukuh berlapis marmer hitam dengan kerangka kubah di tengahnya—yang masih belum selesai dibangun—menyambut para anggota jemaah. Lalu, pandangan mata segera tertumbuk pada hamparan hijau, lebih luas dari lapangan bola: padang rumput, pohon-pohon anggrek, dan pepohonan mangga yang sedang berbuah ranum.

Dari jarak puluhan meter, tampaklah masjid itu: megah, berdinding cokelat dengan jajaran aksen lengkung khas masjid, dijaga enam minaret bercungkup emas. Jemaah masuk melalui pintu lebar pada dinding kanan-kiri masjid. Pada bagian belakang, ada semacam selasar berlantai marmer cokelat. Kolam berair mancur kecil itu memanjang, membelah selasar itu; beberapa pilar berderet-deret mengapit kolam.

Ruangan utama masjid terasa luas dan sejuk. Jarak antara lantai dan atap sekitar 20 meter, dan pendingin ruangan tersebar di dekat dinding. Ada 40 pilar marmer berjajar di ruang utamanya. Ornamen beraksen Timur Tengah dan kaligrafi dengan warna natural dan keemasan bertebaran pada dinding di sekitar mihrab (tempat imam memimpin salat) dan beberapa bagian lain.

Yang juga menarik perhatian adalah pemandangan tepat di tengah-tengah: lengkung interior kubah. Pada bagian dalam kubah berdiameter 16 meter, terdapat lukisan awan dengan dasar biru tua. Kabarnya, warna pada dasar di kubah itu bisa berubah-ubah sesuai dengan waktu pagi, siang, petang, dan malam. Dan tepat di pusat lengkungan kubah tergantung lampu kristal yang besar dan mewah.

Kesan mewah tak cuma pada titik itu. Marmer dan batu granit masjid ini didatangkan dari Turki dan Italia. Sedangkan lampu-lampu kristal untuk penerangan di dalam masjid juga buatan dan dikerjakan para ahli dari Italia dan Jerman.

Pemilik masjid itu adalah Hajah Dian Juriah Maimun Al-Rasyid, 58 tahun, yang tinggal hanya 500 meter dari masjid. Rumah tinggal itu tak kalah megahnya. Seluruh kompleks masjid seluas 54 hektare itu dimiliki Yayasan Dian Al-Mahri, milik Dian. Rencananya, di kawasan itu akan dibangun rumah sakit, sekolah mulai taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, dan aula untuk pengajian.

Menurut Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) DKI Jakarta, Bambang Eryudhawan, arsitektur masjid itu merupakan gabungan dari dua masjid di Madinah. Hal itu tampak dari keberadaan dua minaret besar berkubah emas tepat di atas bagian mihrab. Bahan-bahan yang digunakan pun sama dengan masjid di Madinah, karena pemiliknya memang ingin menghadirkan replika Masjid Nabawi di Meruyung.

Di Madinah sendiri, Masjid Nabawi kini memiliki 10 menara, 27 kubah, 59 pintu gerbang, 6.800 keran tempat wudu, 560 pipa keran air minum, dan 2.500 toilet. Tempat parkir dibangun di bawah tanah, menampung 4.096 mobil. Yang membangun adalah perusahaan kontraktor kerabat keluarga Kerajaan Arab Saudi, milik keluarga Bin Ladin—keluarga Usamah yang pentolan Al-Qaidah. Biaya pembangunannya US$ 16 miliar.

Arsitek Adhi Moersid mengakui Masjid Meruyung istimewa sekali. ”Semuanya serba blow up,” kata pemenang Penghargaan Aga Khan, penghargaan internasional untuk arsitektur masjid, pada 1986 itu. Maksudnya, masjid tersebut dibuat di atas skala umum, baik dalam luas, tinggi, maupun material bangunan yang dipakai. ”Sudah paripurna,” kata Adhi, melukiskan bahan serta penampilan fisik masjid.

Tapi, dari segi arsitektur, menurut perancang Masjid Said Naum—yang mendapat penghargaan itu—di kawasan Tanah Abang, Jakarta, itu masjid di Meruyung ini biasa saja. Arsitekturnya tidak membebaskan diri dari patokan klasik sebuah masjid: atap kubah dan limas kerucut. Padahal ukuran bagus-tidaknya karya arsitektur sangat ditentukan oleh orisinalitas si perancang. ”Untuk itulah pintu interpretasi dalam merancang masjid terbuka lebar,” kata Adhi, yang lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB). Dan contoh umum arsitektur masjid yang ”interpretatif” atau kontemporer adalah Masjid Salman di ITB, yang terkenal dengan atap datar dengan ujung berbentuk melengkung.

Interpretasi si arsitek tidak hanya digunakan untuk sosok fisik bangunan, tetapi juga dalam detail. ”Karena arsitek bertugas menciptakan stimuli agar masjid yang dibangun nantinya dapat membantu menciptakan suasana khusyuk bagi orang yang salat di dalamnya,” kata Adhi. Itulah yang disebut dengan menerjemahkan suasana transendental dalam rumah ibadah.

Kesan transendental itu sendiri bisa diperoleh dengan beberapa cara, seperti membubuhkan kaligrafi ayat-ayat suci Al-Quran atau nama-nama Allah di berbagai tempat di masjid. Teknik pencahayaan, pemilihan bahan din-ding dan atap yang bisa mendukung kualitas akustik yang bagus—sehingga suara sang imam bisa didengar tanpa banyak mengandalkan pengeras suara—juga mendukung kekhusyukan.

Tapi, pada akhirnya yang terpenting dalam membangun suasana transendental adalah ”rasa” yang tersimpan di dalam masjid. ”Ini sangat sulit dan subyektif ukurannya,” kata Adhi. ”Seberapa sepi atau ramai (oleh ornamen dan kemewahan bahan) sebuah masjid, hingga bisa menghasilkan touch, rasa, bagi yang beribadah di dalamnya,” tutur Adhi. Dia bercerita pernah salat di sebuah masjid yang tanpa orna-men, kecuali kaligrafi Allahu Akbar pada mihrab, tapi Adhi memperoleh suasana transenden yang luar biasa.

Rasa itulah yang menjadi esensi bangunan masjid. Sebab, pada akhirnya sebuah masjid haruslah benar-benar berfungsi sebagai tempat ibadah, yang tidak hanya ramai pada saat salat Jumat, tarawih, dan salat Id saja. Kemudian Adhi menunjukkan data bahwa di Jabodetabek ada sekitar 38.600 masjid. Tapi tingkat utilisasinya hanya kurang dari 15 persen. ”Perintah untuk kita adalah untuk memakmurkan masjid, tak peduli apakah masjid itu mewah atau sederhana,” katanya.

Nah, apakah Masjid Kubah Emas di Meruyung, yang akan dibuka untuk umum pada saat Idul Adha, Desember nanti, mampu menghadirkan ”rasa” bagi jemaah yang datang? Kita lihat saja nanti.

Ahmad Taufik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus