Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Kap atau Kon, Mal atau Mol

6 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nirwan Dewanto

Di restoran itu saya hendak memesan makanan, ketika mata saya tertumbuk pada sebuah papan putih di belakang kasir. Bacalah:

BROCOLLY-OUT OF ORDER

Saya mengerti. Tapi saya tak berlagak seperti guru bahasa Inggris. Anggaplah salah-tulis di situ bagian dari humor. Tetaplah saya mengerti apa maksudnya: sayur kegemaran saya, brokoli, atau broccoli, sudah habis. Dan out of order itu bukan berarti rusak (begitu arti kamusnya), namun tak bisa dipesan lagi.

Menginggris tampaknya sebuah kemestian. Maklumat itu keliru, namun setiap pengunjung restoran paham, dan tak merasa rugi pula.

Seusai makan sekenanya, saya beranjak ke gerai es krim tak jauh dari situ. "Teh hijau," kata saya.

"Oh, grin ti, Pak," kata bujang pelayan itu, dengan logat Jawa. (Jelas, dia sedang mengucapkan kata-kata Inggris.)

"Ya."

"Kap atau kon?" tanyanya lagi.

"Contong," kata saya.

Dia tak mengerti maksud saya. Lalu saya menunjuk apa yang saya mau.

"Oh, kon," katanya sambil tersenyum.

Ketika saya melenggang sambil menyeruput es krim, telepon seluler saya bergetar. Pada layar saya baca pesan mahapendek: gw otw home, seems u r so bz, 2nite gw ktm nyokap, c u besok.

Mungkin anda sudah tahu, inilah yang mestinya tertulis lengkap: gu(w)e on the way home, seems you are so busy, tonight gu(w)e ketemu nyokap, see you besok.

Itulah yang terjadi pada suatu hari dalam hidup saya di sebuah mal-atau mol? Ya, bagaimana harus menulis kata itu? Dalam bahasa Inggris, mall. Shopping mall. Sopir saya mengatakan soping mol. (Bagaimana kita mengindonesiakan kata Inggris-menurut ejaan atau ucapannya?) Hampir semua plakat berbahasa Inggris. Juga di jalan-jalan. Biarpun tak sedikit yang nekad. Setahun lalu, di mal yang lain, di sebuah gerai pameran perkakas kayu, saya baca SPECIAL OVER. Tentu maksudnya special offer.

Menginggris itu keren. Banyak yang percaya, pasar menghendakinya. Ini zaman globalisasi. Tepatnya, Anglo-globalisme. Bicaralah seperti pembawa acara di MTV. Inggris gado-gado. Keliru tak mengapa, asalkan pemirsa paham maksudmu.

Sebab bahasa Indonesia, konon, tak bisa mengutarakan kenyataan baru. Bahasa yang kuna, pun kampungan.

Pernah saya coba membaca sebuah novel remaja, teen lit, dan inilah yang ada di halaman pembuka, "To my Lord Allah swt. Thank God all about the precious gift inside of me. Its hard to believe that I have some guts!! Buat Mr. Right di rumah alias McAfee, yang udah ngerelain penulis ngabisin tinta komputernya buat nge-print novel ini, thanks Dad, I Luv y!!..."

Maka saya seperti hidup di planet lain.

Namun teman-teman saya di lingkungan kesenian dan pemikiran tak ketinggalan. Untuk contoh ekstrem, saya kutip sepenggal ulasan teater dari sebuah koran utama bertiras besar, "Jika diskursivitas cenderung pada narsisisme pikiran, maka narasi empatis dalam kritik akan mencairkan kemampatan dan koersivitas opini, dengan cara terus mengayuhkan seluruh muatan nalar dalam tulisan ke wilayah ayunan leksikalnya, untuk menunjukkan kekenyalan dan keleluasaan imajinatif tulisan..."

Penulisnya pasti takut kelihatan bodoh. Ia mengira, semakin banyak jargon-meski jargon yang meleset-makin berbobotlah tulisannya. Atau ia tak mahir berbahasa Indonesia-juga Inggris.

Begitu banyak penulis, seakan tak percaya akan keampuhan bahasa Indonesia, mencantumkan padanan Inggris dalam tanda kurung untuk frase yang digunakannya. Saya petik, misalnya, dari sebuah artikel tentang lingkungan belum lama ini: "keakuan diri (selfishness)", "etika terhadap lingkungan (environmental ethics)", "ketidakacuhan fatalistik (fatalistic indifference)".

Diam-diam pula, dalam bahasa kita tersebarlah beberapa kata yang seakan-akan dipungut bahasa Inggris. Apa itu kasuistik, koneksitas, personafikasi, estetikasi, pipanisasi, puitisitas, konsumtivisme, kritisisme, dan rutinitas, misalnya? Itu benar-benar bikinan orang kita. Kalaupun terlihat serupa dengan Inggrisnya-dalam hal kasuistik dengan casuistic, misalnya-maka artinya sudah berbeda sama sekali.

Bahasa (dan) bangsa kita mendunia dengan menginggris? Meski dengan semu belaka?

SAVE OUR NATION, kata sebuah judul acara di satu televisi swasta kita.

Mungkin untuk menyelamatkan bangsa, kita pun harus menggunakan bahasa Inggris. Namun para pembicara dalam acara itu tetap saja berbahasa Indonesia. Dan memetik sejumlah kata Inggris anyway.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus