Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Megaria,Bukan Sekadar Kenangan

Bioskop Megaria akan dijual. Dikhawatirkan gedung bergaya Art Deco terakhir di Jakarta ini akan dihancurkan.

2 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA masa gemilangnya, inilah gedung yang menjadi bagian dari gaya hidup kaum urban Jakarta: bioskop Megaria. Kelas menengah atas Jakarta menonton film legendaris War and Peace karya Leo Tolstoy, atau yang klasik, Gone with the Wind, di Metropole—nama asli Megaria. Aksi si blondie Marilyn Monroe atau Robert Mitchum yang gagah juga bisa dinikmati di gedung bioskop bergaya Art Deco dengan kapasitas 1.500 tempat duduk itu.

Jika ingin bertemu selebriti seperti Citra Dewi, Rima Melati, para menteri, atau politisi, Metropolelah tempatnya. Para mahasiswa yang ingin bergaya juga nonton di sana. ”Dan yang paling membanggakan adalah membawa pasangan nonton film di kelas loge,” kata Suditomo, yang pada pertengahan 1950-an adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Loge adalah kelas satu, dengan harga karcis saat matinee show—pertunjukan murah Sabtu siang—Rp 4 per orang atau setara dengan Rp 15 ribu pada zaman sekarang.

Kenangan Suditomo, mantan pegawai Sekretariat Negara, dan juga banyak orang lainnya, terancam musnah. Pemilik Megaria—yang menurut Ensiklopedia Jakarta bernama Mister Weskin—tengah menawarkan tanah seluas 11.623 meter persegi yang terletak di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat itu. Menurut iklan di situs http://indorealestates.com, kompleks Megaria akan dijual sekitar Rp 150 miliar.

Banyak kalangan yang mengkhawatirkan penjualan ini akan membuat Megaria diratakan dengan tanah. ”Orang sudah keluar duit miliaran, pasti berpikir mengembalikan uang yang sudah keluar dari kantong. Salah satu caranya, ya, membongkar dan merobohkan,” kata Bambang Eryudhawan, Ketua Kehormatan Ikatan Arsitek Indonesia DKI Jakarta.

Padahal Megaria kini menjadi satu-satunya bangunan besar bergaya Art Deco yang masih tertinggal di Jakarta.

Bangunan Art Deco lain di Jakarta yang umumnya gedung bioskop, seperti di Menteng, Roxy, dan Mayestik, sudah lenyap dari peta Jakarta. Sedangkan Art Deco di Jalan Gunung Sahari sudah tidak utuh lagi, terpangkas jalan raya. Meskipun Megaria temasuk bangunan yang dilindungi dan tidak boleh diubah menurut Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 Tahun 1993 tentang Bangunan Cagar Budaya DKI, masa depannya tetap mengkhawatirkan. ”Kalau Megaria dibongkar juga, salah satu perjalanan kebudayaan Kota Jakarta tidak ada jejaknya,” kata Yudha.

Tidak hanya ”kebudayaan Jakarta” yang hilang, tapi juga signatur ”kebudayaan dunia” di Jakarta. Karena gaya arsitektur Art Deco—dari kata Art Decorative—adalah bagian dari perkembangan arsitektur dunia yang menurut sebagian pengamat dianggap sebagai perkembangan dari Art Nouveau. Jika Art Nouveau ditandai dengan banyaknya ornamen dekoratif, seperti kaca mozaik, gambar serta ukiran, pada Art Deco unsur kerumitan jauh berkurang, dan menjadi lebih simpel.

Art Deco di Amerika Serikat dan Eropa sendiri berkembang setelah Perang Dunia I. Ciri-ciri modern pada zamannya kentara sekali, misalnya dengan menggunakan bahan bangunan stainless steel, kayu berlapis, permukaan yang dipernis, atau kaca-kaca dekoratif. Sedangkan bangunannya bisa memiliki gabungan gaya kubisme, futuristik, geometris, memiliki kurva lebar, serta bermenara. Gedung Chrysler di New York adalah salah satu contoh mahakarya Art Deco dunia.

Sedangkan Megaria yang dibangun pada 1949, meskipun tidak semegah Paramount Theater di berbagai kota di AS, tetap sangat berharga. Sayang, menara Megaria tidak lagi gemerlap dengan lampu panjang vertikal. Tulisan Metropole dengan huruf berjajar ke bawah juga sudah tanggal. Namun tarikan garis-garis geometris, dan elemen lengkung aerodinamis di sisi kiri bangunan masih dominan.

Jakarta pasti akan sangat kehilangan jika gedung rancangan Lauw Goan Sing ini—sebelumnya banyak pihak menganggap perancangnya adalah Han Groenewegen—dibongkar. ”Lagipula mengganti sebuah tetenger kota harus hati-hati,” kata Soedarmaji Damais, pengamat kota yang khatam dengan sejarah kawasan Menteng.

Untuk itulah, menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, Aurora Tambunan, rencana penjualan Megaria harus terus diamati. Sebab, jual-beli seperti itu memang diizinkan. Tapi tentu saja bukan untuk dirobohkan. Bila perlu, dia akan membantu mencarikan pembeli yang peduli pada bangunan cagar budaya. ”Fungsi sebagai gedung bioskop boleh berubah, tapi secara fisik tak boleh diubah,” katanya. Benteng terakhir Art Deco mesti dipertahankan.

Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus