Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Yang Lenyap dan yang Bertahan

2 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya arsitektur Art Deco di Indonesia menjadi cap di berbagai kota. Tapi, seperti nasib gedung-gedung bioskop bergaya Art Deco di Jakarta, bangunan dengan ciri garis-garis geometris yang tegas, hapus dari peta. Rumah milik Departemen Sosial di Jalan Ciumbeuleuit dan Gedung Singer di Jalan Asia Afrika, Bandung; serta bioskop Murni di Jalan Gadjah Mada, Semarang, adalah sedikit dari berbagai contoh itu.

Untungnya, masih cukup banyak bangunan dengan gaya arsitektur yang dibawa para arsitek Belanda setelah Perang Dunia I ini tetap bertahan hingga kini. Bandung, misalnya, adalah tempat dengan bangunan Art Deco terbanyak di Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda dulu memang ingin menjadikan Bandung sebagai ibu kota Hindia Belanda setelah Perang Dunia I.

Sekelompok arsitek yang tergabung dalam Persatuan Arsitek Hindia Belanda (NIAK) merancang berbagai bangunan di Kota Kembang sesuai dengan gaya termutakhir masa itu, yaitu Art Deco, dan menggabungkan dengan unsur lokal. Maka jadilah bangunan seperti Gedung Sate, yang kaya dengan garis-garis tegas, dipercantik elemen dekoratif candi Hindu Jawa pada bagian depan gedung.

Hotel Majapahit Surabaya, yang mulai dibangun pada 1910, juga yang bernasib baik. Hingga kini bangunan di Jalan Tunjungan itu tetap menjadi hotel bintang lima dan salah satu hotel favorit di Surabaya. Ada juga House of Sampoerna—cikal bakal perusahaan rokok Sampoerna—di kawasan Surabaya lama, dekat Jembatan Merah, dan Gedung Wismilak di pojok Jalan Darmo.

Menurut Josef Prijotomo, arsitek dan dosen arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, kunci melestarikan bangunan cagar budaya cuma satu kata: kemauan. Jika pemerintah dan pemilik punya kemauan untuk menjaga, bangunan tersebut pasti bertahan.

Kemauan itulah yang ditunjukkan Widayat Basuki Dharmowiyono, pemilik Rumah Kopi, tempat produksi kopi merek Mirama, Semarang. Rumah di Jalan Wotgandul Barat, Kompleks Pecinan, yang aslinya dibangun sekitar 1850 itu mendapat sentuhan Art Deco pada 1930. ”Saya bertekad tak akan mengubah bangunan ini,” kata Widayat, yang mendapat penghargaan dari Pemerintah Kota Semarang pada 2005 karena upayanya itu.

Dwi Wiyana, Sunudyantoro (Surabaya), Sohirin (Semarang), Ahmad Fikri (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus