Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Api yang Membakar Tusan

Sengketa adat meledak lagi di Bali. Ini soal tuntutan hak dan kewajiban yang setara.

2 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malam belum pekat benar di Desa Tusan, Kabupaten Klungkung, Bali, Selasa dua pekan lalu. Masyarakat baru saja melewatkan Hari Raya Nyepi. Di kamarnya, Ida Bagus Gde Pratama sudah tertidur lelap. Besok, siswa kelas satu Sekolah Dasar 3 Tusan itu akan kembali ke sekolah setelah libur empat hari. Kedua orang tuanya, Ida Bagus Suwamba dan Jro Made Suryani, asyik bercengkerama di ruang tamu.

Tiba-tiba saja kesenyapan malam terbelah oleh suara gaduh lemparan batu. Genting dan kaca rumah mereka pecah berhamburan. Samar-samar Suwamba melihat puluhan orang berpakaian hitam-hitam melempari rumahnya dari luar tembok. Teriakan mereka membahana: ”Bakar! Hancurkan, habiskan!” Suryani menyambar Pratama, menggendongnya ke pintu belakang, dan meloncat ke semak-semak menyembunyikan diri. Dari kegelapan mereka melihat seluruh prosesi itu ketika orang-orang merobohkan merajan (pura keluarga), menghancurkan rumahnya, menuangkan bensin, dan membakar semua.

Situasi baru tenang menjelang fajar, saat polisi dari Polres Klungkung mengevakuasi para korban. Para perusuh ternyata menghanguskan 14 rumah dan merusak harta benda lainnya, namun tidak ada orang yang luka atau tewas dalam kejadian malam itu. Sebanyak 102 orang diungsikan di Gedung Dalmas Polres Klungkung.

Selentingan akan adanya penyerangan sehari setelah Nyepi itu sudah beredar beberapa hari sebelumnya. Itu sebabnya, Ida Bagus Ngurah Gde, salah satu korban, melaporkannya ke Polres Klungkung. ”Tapi polisi tidak bereaksi apa-apa,” katanya.

Serangan itu adalah buntut kasus sejak tahun 2000, ketika sekelompok kecil warga dari golongan brahmana menolak kewajiban adat di sejumlah pura desa. Alasannya, mereka diminta ngayah (gotong-royong kerja fisik) di enam pura yang ada di desa adat itu. Padahal, menurut Suwamba, wangsa (golongan) mereka hanya bisa ngayah di pura kayangan jagat (pura umum) dan pura kayangan tiga (pura desa). ”Kami hanya melaksanakan tradisi yang sudah berabad-abad,” ujarnya.

Mayoritas masyarakat desa adat tak bisa menerima itu. Karena ngotot tak mau ngayah, kelompok ini dikeluarkan dari desa adat. Mereka dilarang menggunakan fasilitas desa seperti kuburan dan pasar. Akibatnya, jika ada yang meninggal, jenazahnya dibakar di tempat lain, seperti di krematorium Taman Mumbul, Nusa Dua, Denpasar. Merasa diperlakukan tidak adil, kelompok berjumlah 44 kepala keluarga ini minta izin membuat banjar adat (semacam rukun tetangga) tersendiri kepada Desa Adat Tusan, tetapi tidak dikabulkan.

Pakar hukum adat dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, Wayan P. Windia, menilai, meskipun mereka berdamai, tetap sulit menyelesaikan masalah itu. Tuntutan sekelompok kecil untuk mendapat perlakuan khusus dalam hal swadharma (kewajiban adat) harus dituntaskan dulu. Apalagi warga desa yang lain sudah tidak melihat keistimewaan wangsa ini. Kelompok itu, misalnya, masih menyebut dirinya golongan brahmana, padahal yang disebut brahmana itu hanya para pendeta. Menurut Windia, ”Masyarakat Bali masih bisa menerima perlakuan khusus hanya untuk para pendeta.”

Windia berharap pemerintah daerah bersama Majelis Desa Pekraman bersikap tegas, karena kasus ini adalah sisa-sisa peninggalan kasta masa lalu yang kini ditinggalkan sebagian penduduk Bali. ”Kalau perlakuan setara bisa memecahkan masalah, pemerintah daerah harus mengatakannya,” kata Windia. Karena ketidaktegasan pemerintah itulah, kejadian serupa pernah menimpa warga brahmana di Tampaksiring, Gianyar, tahun lalu.

Dua pekan setelah kejadian, polisi me-nangkap 12 tersangka, semuanya warga Tusan. Wajah mereka dikenali oleh para korban di balik kobaran api malam itu. Para tersangka dijerat Pasal 187 KUHP subsider 170 tentang pembakaran dan melakukan kekerasan di muka umum secara bersama-sama, dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.

Pekan ini, setelah berdamai dengan warga, para brahmana Tusan akan meninggalkan Polres dan membangun kembali rumah mereka. Namun Kasat Reskrim Polres Klungkung AKP Ketut Suartha menyatakan sulit melepaskan tersangka dari kasus pidana, meskipun mereka sudah berdamai. Permintaan warga Tusan agar polisi membebaskan para tersangka pun sampai pekan lalu bak menggantang asap.

I G.G. Maha Adi, Rofiqi Hasan (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus