Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menatap Berburu Rusa membuat kita paham mengapa kritikus dan perupa Sudjojono pernah menyebut Raden Saleh sebagai contoh pelukis yang berdiri sendiri pada zaman kegelapan. Tahun 1930-an, Sudjojono gusar terhadap corak lukisan para pelukis Belanda yang menetap sementara waktu di berbagai belahan Indonesia untuk mengeksplorasi panorama tropis. Kata-kata pelukis Mooi Indie atau Hindia Molek adalah ejekan untuk mereka. Almarhum kritikus Kusnadi menyebut reaksi Sudjojono terhadap para pelukis itu melahirkan idealisme seni rupa modern Indonesia.
Respons para perupa Asia Tenggara menyerap atau menolak gagasan para pelukis asing yang tinggal di negaranya saat kolonialisme berlangsung menimbulkan pencarian terhadap pembentukan seni rupa modern di negaranya masing-masing. Setidaknya itulah yang tertangkap pada pameran besar yang bermaksud memperbandingkan seni rupa Filipina, Thailand, Malaysia-Singapura, Vietnam, Indonesia pada awal abad ke-20 ini. Pameran ini sendiri hanya menampilkan karya 70 pelukis. Tentunya itu tidak cukup memberikan gambaran utuh. Namun, dari pameran berdasarkan koleksi berbagai museum dan kolektor yang diseleksi secara cermat ini, sebuah pertanyaan dapat timbul: adakah jalan sejarah seni rupa modern Asia Tenggara menempuh jalur yang sama?
Misalnya, dari pameran itu kita mendapat gambaran bahwa pembentukan seni rupa modern di Filipina ternyata sangat dipengaruhi gereja. Bentuk-bentuk folklor Katolik banyak menjadi bahasa ungkap perupa. Banyak tema penyaliban Kristus digarap para pelukis seperti karya Galo B. Compo dan Vincente S. untuk memetaforakan kepedihan kolonisasi Spanyol. Di sisi lain ada sekumpulan perupa Filipina yang menggarap gaya seperti Mooi Indie. Mereka bergabung dalam Amorsolo school. Sama seperti lukisan Abdullah Suriobroto atau Basuki Abdullah, alam pedesaan bagi visi mereka mencerminkan nilai dan kebajikan ideal.
Thailand, yang tidak banyak mengalami kerasnya penjajahan, lain lagi. Awal seni rupa modern di Thailand, anehnya, berhubungan dengan Italia. Brosur pameran ini menyebutkan kerajaan mengirim pelukis-pelukisnya ke Italia. Semenjak akhir 1940-an, misalnya, di bawah pengaruh kuat pelukis kelahiran Italia, Silpa Bhirarsti, para pelukis Thailand melakukan revivalisme elemen-elemen rupa tradisional.
Akan halnya di Vietnam, tahun 1930-an para pelukis Prancis banyak berjasa. Mereka banyak memberikan dorongan pada para pelukis Vietnam agar berani menggali identitas kultural sendiri, bukan hanya dari segi obyek lukisan tapi juga dari teknik. Lukisan Mai Trung Thu dan Nguyen GiaTri yang menggunakan teknik lukisan sutra yang dipernis adalah contohnya.
Pameran ini juga menganggap penting lukisan potret. Dari potret diri, keluarga, dan istana, dapat dilacak upaya pencarian sebuah identitas. Bila Basuki Abdulah atau Lee Man Fong adalah pelukis istana era Sukarno, di Thailand pelukis Phra Soralaklikit (1916) melukis Raja Chulalongkon. Adapun potret diri lukisan Affandi, Saya di Bawah Lampu (1944) dan Mati di Tanganku (1945), mendapat kehormatan ditampilkan. Affandi pada masa itu memang banyak menggarap lukisan diri dan keluarganya.
Simpati perupa terhadap pergerakan juga diperbandingkan. Pada titik ini Sudjojono dan Hendra Gunawan dari Indonesia tampak paling kuat. Ideologi seni mereka memang realisme sosial. Tapi kita juga melihat lukisan Lim Yew Kuan dari Malaysia, The Night Arrest (1954), yang menceritakan kakak laki-lakinyaaktivis gerakan bawah tanah ditangkap dan dieksekusi Jepang. The Last Minutes (1948), karya perupa wanita Vietnam To Nguc Van, menggambarkan seseorang karena pembunuhan politik. Atau Espana karya Juan Luna dari Filipina tentang prajurit Romawi dan gladiator tangkapannya yang memetaforakan relasi Spanyol-Filipina.
Yang menarik, pameran ini seolah menegaskan bahwa munculnya lukian abstrak adalah ukuran kemodernan. Tahun 1950-an, ketika pelukis Indonesia memburu visi abstrak geometris, di Thailand dan Filipina pun terjadi fenomena serupa. Sebuah perbandingan cantik tentang studi anatomi dalam abstrak disuguhkan pelukis Artudoluz dari Filipina dengan karyanya Grand Finale, Popo Iskandar dari Indonesia dengan lukisannya Two Cubist Nude, dan Chalood Ninsamor dari Thailand dengan Sleeping Lady. Akhirnya, pameran ini ibarat sebuah pintu untuk melihat awal seni rupa modern Asean secara lebih komprehensif.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo