BINTANG KEJORA Skenano: Asrul Sani, diilhami karya S. Nash Pemain: Rini S. Bono, Mang Udel, Ikranagara, El Manik Sutradara: Chaerul Umam MEMILIKI perawan tua, bagi sebuah keluarga di sebuah dusun di Jawa, memang masih jadi persoalan. Maka, Dahlia (Rini S. Bono) oleh ayah (Mang Udel) dan dua saudara lelakinya "ditawar-tawarkan". Umpamanya, ia dikirimkan ke kota, ke rumah salah satu famili ayahnya, agar, siapa tahu, ketemu jodoh. Tapi Dahlia pulang, masih dengan gaya jalannya yang perkasa. Dan yang membuat ayah dan kedua saudaranya prihatin, perawan tua itu masih sendiri juga. Setelah Kejarlah Daku Kau Kutangkap, sekali lagi seorang penulis skenario dan seorang sutradara bekerja sama menyuguhkan sebuah film komedi yang baik. Asrul Sani dan Chaerul Umam, dalam sejarah perfilman Indonesia setelah masa Usmar Ismail, boleh dicatat sebagai penyuguh film lucu yang bukan slapstick - bersama Nya' Abbas Akub. Dan Chaerul, atau Mamang panggilan akrabnya tampaknya memang cocok buat film-film kocak. Ia, misalnya bisa mengubah Rini S. Bono menjadi iain. Bintang cantik itu dalam Bintang Kejora benar-benar tampil sebagai perawan desa yang telat menikah, yang mencari kompensasi sebagai penyelenggara rumah tangga yang perkasa. Dahlia-lah yang mencari kayu bakar sekaligus memikulnya pulang, yang memasak, yang tak ragu mengangkat kopor dan meletakkannya di pundaknya lalu, dengan ringan, membawanya pergi. Dan jalannya itu, yah, sama sekali tak mengesankan sebagai perempuan: seluruh tubuhnya ikut bergerak beserta langkah kakinya. Lalu ada Mang Udel, seorang ayah yang siang malam mencari akal agar gadis tuanya menemukan pasangan. Dan bila perintahnya tak dituruti oleh anak-anaknya, bapak ini segera ngambek. Ia ingin mati saja, dan menurutlah anak-anak itu. Anak kedua si bapak adalah Sobrat (Ikranagara), yang tak pernah tampak tersenyum. Ia berperan menjadi kasir keluarga, yang sangat disiplin dalam mengeluarkan uang. Karena keketatannya itulah, katanya, keluarga ini tidak jatuh miskin. Lalu anak ketiga, Sopyan, yang lagi mabuk kepayang dengan Ling-ling, anak tetangga. Sialnya, ia tak mungkin melamar Ling-ling, bila Dahlia belum menikah, karena begitulah amanat bapak mereka. Sementara itu, datang ancaman dari Ling-ling, bila tak cepat dilamar, ia akan menjadi bintang film, dan tak ada jaminan baginya lagi untuk tetap setia. Ditambah dengan seorang pengelana bernama Bintang Kejora (El Manik) yang kadang menjadi pengamen, kadang jual obat, kisah pun berlangsung di sebuah dusun yang lagi dilanda kemarau. Film ini dibuka dengan tangkas. Penggambaran siapa Bintang Kejora sangat menarik. Satu saat ia digambarkan jual obat, lalu menjadi pengamen. Tampangnya Jagoan, tapi ternyata hatinya kecut. Ia tak berani melawan ketika sopir truk yang dilemparinya dengan batu minta ganti rugi, padahal truk itu cacat pun tidak. Maka, sampailah si Bintang dengan sepeda motornya ke dusun Dahlia. Awalnya mau mengamen, entah bagaimana meluncur begitu saja dari mulutnya, bahwa ia sebenarnya bisa mendatangkan hujan di dusun kemarau itu. Dan ayah Dahlia sangat berminat, meski perjanjiannya sungguh muskil. Hujan bisa datang bila keluarga itu melakukan hal-hal ini: menarik ekor sapi hingga sapi itu berjalan mundur, Sopyan harus memukul gendang terus-menerus di halaman, dan Dahlia diminta menanam bunga di dalam rumah. Bayangkan hati si Sobrat, bila untuk uang Rp 250 yang digunakan Sopyan membeli es diributkan, kini ia harus membayar si Pawang Hujan Rp 25.000 - dan itu baru uang muka. Sebagian besar adegan berkisar sekitar rumah. Memang profil keluarga inilah yang jadi pokok cerita. Tapi lain dari Kejarlah Daku, yang dengan kaya melukiskan suka duka pasangan muda secara karikatural. Bintang Kejora terasa tak begitu mendalami masalahnya. Dahlia, yang menanggung usia, tak begitu meyakinkan. Dialog-dialog dalam keluarga ini - ketika Dahlia pulang dari kota, ketika adegan menunggu makan bersama seorang undangan - memang tersaji dengan bagus. Cuma bagaimana sebenarnya hati Dahlia menghadapi itu semua, terasa kurang jelas. Boleh jadi Rini S. Bono kurang tuntas bermain. Tapi bisa pula karena skenano memang menjanjikan yang pas-pasan saja. Yang kemudian berkesan sampai film habis justru Sobrat, yang memang diperankan sepenuh hati oleh Ikranagara. Permainan Sobrat-lah, terutama, yang membuat film ini enak ditonton. Kurang jelas seberapa jauh adaptasi telah dilakukan Asrul Sani terhadap naskah sandiwara Richard Nash, (The Rainmaker) pengarang Amerika itu. Saduran sandiwara ini sendiri di Indonesia cukup dikenal. Awal 1960-an Wahyu Sihombing pernah mementaskannya, dan beberapa grup teater remaja juga pernah membawakan Pawang Hujan. Hollywood pun pernah memfilmkannya, 1956. Dan dalam The Rainmaker itu Katherine Hepburn, pemeran utama wanita, masuk nominasi (meski tak sampai menang) Oscar. Yang jelas, di tangan Chaerul Umam, skenario Asrul memang jadi hiburan segar, beberapa adegannya cukup mengesankan. Jual jamunya si pengelana itu, misalnya, atau adegan Sobrat dan Sopyan membujuk penyuluh pertanian untuk makan ke rumah dan berkenalan dengan kakak mereka. Memang, dalam beberapa hal, dialog-dialog masih terasa sebagai dialog panggung. Tapi, di luar itu, silakan ketawa. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini