Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ibu-ibu adalah para wanita yang ...

Banyak wanita wonogiri, baik secara de jure atau de facto, berperan sebagai kepala rumah tangga.mereka pergi ke kota meninggalkan keluarga untuk mencari nafkah. umumnya menjadi penjual jamu.

17 Januari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BILA Anda melihat wanita penjual jamu, yang (dengan botol-botol jamu berjejal di punggung dan ember kecil di tangan) dengan tabah menyeberang jalan di sebuah kota, tidak mustahil dia berasal dari Desa Jaten, Wonogiri, Jawa Tengah. Bukan tak mungkin dia merantau sendirian - anak dan suaminya tinggal di kampung. Mungkin pula dia membawa anaknya yang bungsu, yang masih menyusu. Mungkin pula dia merantau dengan suaminya yang berjualan bakso di kota yang sama. Mereka berangkat ke kota didorong motif ekonomi - bukan karena tarikan kota yang gemerlapan. Wonogiri memang tidak mampu memberikan lapangan kerja, dan tanah begitu sempit. Begitulah sebagian besar waktu mereka dihabiskan di kota kemudian pulang untuk sementara ke desa. Dengan demikian kebutuhan keluarga dapat dipenuhi, anak-anak dapat disekolahkan dibelikan alat-alat pelajaran, pakaian seragam, dan barang-barang yang diperlukan. Segi-segi itulah yang, antara lain, dibahas dalam disertasi Carol Hetler, Female Headed Households in a Circular Migration Village in Central Java (1986), Australian National University, Canberra. Penelitian dilakukan di Desa Jaten, Wonogiri, 1984. Titik beratnya: seluk-beluk wanita yang menjadi kepala rumah tangga. Ternyata, jumlah wanita demikian tidak sedikit di daerah penelitian. Juga tidak sedikit di tingkat provinsi, di tingkat nasional, dan tingkat internasional - dan cukup beragam dari tempat ke tempat. Di DesaJaten, persentase wanita yang menjadi kepala rumah tangga (KRT) adalah 14%, di Jawa Tengah 18,3% (1971), di Daerah Istimewa Yogyakarta 20,5%, di Jawa Barat 17,4%, dan di Jawa Timur 20,4%. Untuk seluruh Indonesia: 18,3% (sensus 1971) dan 22,7% (sensus 1980). Mereka menjadi KRT secara de jure disebabkan suami meninggal dan, sebagian kecil, karena bercerai. Carol Hetler melangkah setapak lagi dengan menambahkan kategori wanita KRT secara de facto - akibat migrasi jangka pendek suami atau istri. Kalau suami bekerja berbulan-bulan di kota, istri menjadi kepala rumah tangga de facto di desa. Kalau wanita yang bekerja di kota, meninggalkan anak dan suami di desa, dia sendiri de facto menjadi KRT di kota. Tambahan dari konsep baru ini membuat jumlah wanita KRT membengkak. Kalau tadinya di Desa Jaten terdapat 125 wanita KRT secara de jure, kini ditambahkan 271 wanita KRT de facto. Dengan demikian, lebih dari 40% wanita di sini menjadi kepala rumah tangga. Sensus rumah tangga dalam studi ini menunjukkan: dari 750 rumah tangga, 470 tidak merantau. Selebihnya (37,3%) punya anggota yang pergi. Yang terbanyak: suami-istri sama-sama merantau (126 kasus), urutan kedua: istri yang pergi (110 kasus), dan urutan ketiga: suami yang pergi (44 kasus). Suami-istri yang sama-sama pergi menuju kota yang sama. Pada rumah tangga yang wanitanya menjadi KRT secara de jure (96 kasus), hampir seperempat pergi merantau. Jumlah wanita yang merantau ke kota ini hampir sama banyaknya dengan jumlah laki-laki. Biasanya wanita memang menjadi penjual jamu, dan laki-laki penjual bakso. Pendapatan laki-laki umumnya lebih tinggi dari pendapatan wanita, tetapi pengeluaran laki-laki juga lebih besar - karena merokok. Pendapatan penjual jamu jelas lebih tinggi dari pendapatan mereka yang menjadi pembantu rumah tangga di kota, tetapi lebih rendah dari penghasilan pelacur. Dapat ditambahkan, desa ini dan sekitarnya punya tradisi yang tua dalam membuat jamu, dan di masa lampau menghasilkan ramuan untuk Keraton Mangkunegaran di Solo. Mereka merantau untuk jangka pendek 2-3 bulan. Kembali ke desa selama 1-4 minggu, lalu balik lagi ke kota. Cukup banyak yang sudah melakukannya selama 5-10 tahun terakhir, malah ada yang sudah lebih dari 15 tahun. Sasaran mereka: Jakarta, kota-kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Timor, malah sampai ke Ambon. Umumnya wanita-wanita itu sudah bekerja membantu orangtua sebagai petani atau pedagang kecil sebelum kawin. Bila dia sudah menjadi penjual jamu sewaktu gadis, pekerjaan itu dilanjutkannva sesudah kawin. Kelahiran anak tidak menghentikannya. Pekerjaan itu hanya dia tinggalkan untuk sementara, ketika anaknya masuk sekolah dasar. Sesudah anak mencapai umur 10 sampai 12 tahun, dia kembali menjadi penjual jamu dan pergi merantau. Sebaliknya, ibu-ibu, yang tidak pernah merantau sebelumnya, pada usia 30-an mulai merantau - terutama untuk mengongkosi anak di sekolah menengah atau pendidikan yang lebih tinggi. Cara hidup demikian jelas bertentangan dengan nilai-nilai ideal kaum menengah atas - yang mengharapkan seorang ibu tinggal di rumah, mengurus suami, anak, dan urusan rumah tangga. Tetapi mereka merasa tidak punya pilihan lain. Dengan bekerja keras, sebagian dari mereka berharap anak-anak akan tidak mengikuti nasib mereka dan, melalui pendidikan menengah atas atau perguruan tinggi, dapat menjadi pegawai negeri. Dengan rezeki yang dipungut di kota, ada yang membantu orangtua di desa, ada pula yang bahkan bisa mendirikan rumah. Malah ada yang sanggup membeli TV, sepeda motor, atau tanah. Meninggalkan rumah seperti ini jelas pengorbanan besar -- baik bagi orangtua maupun anak. Dalam studi Dr. Carol Hetler ini terdapat 25 rumah tangga yang hanya terdiri dari bocah-bocah, yang tertua tak lebih dari 14 tahun. Mereka mengurus diri sendiri, dan senantiasa berharap ibu dan bapak pulang menjenguk. Ada juga anak-anak yang turut merantau membantu orangtua, segera setelah tamat sekolah dasar. Sebagian lagi, yang punya aspirasi lebih tinggi, lebih suka meneruskan sekolah mereka, dan pasrah terhadap cara orangtua mengongkosi pendidikan mereka. Sementara itu, keadaan pedesaan bertambah maju. Busung lapar (HO) sudah hilang dari Wonogiri. Meleset kalau idealisme merek, diukur dengan semboyan lama: mangan ora mangan kumpul. Diam-diam, tanpa pidato dan gunting pita, mereka menampilkan gaya hidup yang sudah lain: kumpul ora kumpul angger mangan. Kumpul tak kumpul pokoknya makan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus